Rabu 27 Feb 2013 21:10 WIB
Resonansi

Menanti Pemimpin Berkarakter

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yudi Latif

Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas landasan yang goyah. Perubahan demi perubahan terus terjadi di atas kerapuhan basis moral kenegaraan. Politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran.

Praktik politik cenderung mengalami pengerdilan menjadi sekadar perjuangan kuasa demi kuasa; bukan politik sebagai perjuangan mewujudkan kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya, kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti ketakwaan, peri kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan mengalami kelumpuhan.

Misi besar reformasi untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme masih jauh dari harapan. Proses konsolidasi demokrasi terhambat oleh proses “demokratisasi” (perluasan dan pendalaman) korupsi. Praktik korupsi melanda seluruh lembaga dan instansi kenegaraan serta merembes ke segala lapisan dari pusat hingga daerah.

Seiring dengan laju korupsi, wajah negeri seperti tercermin dari warta media menampakkan buruk rupa: kemiskinan keteladanan, kehilangan keadilan dan perlindungan hukum, kesenjangan sosial, keretakan jalinan sosial, perluasan tindak kekerasan, kejahatan dan premanisme, gurita narkoba, kerusuhan di wilayah tambang dan perkebunan, serta kecelakaan transportasi dan kerawanan sarana publik.

Pada titik genting krisis multidimensi ini, para penyelenggara negara justru seperti kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab.  Kepemimpinan eksekutif, legislatif, dan yudikatif  lebih memedulikan “apa yang dapat diambil dari negara”, bukan “apa yang dapat diberikan pada negara”. Kepemimpinan negara hidup dalam penjara narsisme yang tercerabut dari suasana kebatinan rakyatnya.

Perhatian elite politik lebih tertuju pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan; lebih mengutamakan kenyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial. Situasi inilah yang melahirkan krisis kepemimpinan. Pemimpin ada kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyatnya.

Bung Karno mengatakan, “Mereka seharusnya belajar bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka….Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.” Untuk mengatasi krisis multidimensi tersebut, kita perlu kembali ke titik “normal” (berlakunya norma).

Dengan bantuan perspektif sosiologi dalam menjelaskan krisis sosial, prioritas terpenting dalam usaha pemulihan normalitas (keteraturan) itu adalah peran kepemimpinan dalam mengaktualisasikan kapasitas transformatif dari kekuasaan. Kepemimpinan yang dapat mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum.

Meskipun kepemimpinan merupakan faktor permanen yang selalu diperlukan setiap masyarakat dan segala zaman, masa krisis dan kekacauan memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar dibandingkan masa normal. Masa seperti ini, menurut Max Weber, membuka kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin karismatik dengan pesan pembebasan dan pemulihan tertib sosial.

Pemimpin karismatik dalam arti ini bukan sekadar pemimpin yang berwibawa, melainkan pemimpin yang dengan kewibawaannya mampu mengompensasikan kelumpuhan hukum dan institusi sosial sehingga situasi “anomali” (a-nomos, ketidateraturan) bisa ditransformasikan menjadi situasi “normal” (berlakunya norma, keteraturan) kembali.

Kepempinan memainkan peran kunci dalam reformasi tata kelola negara. Berkaca dari keberhasilan reformasi birokrasi di negara-negara Korea Selatan, Cina, dan Thailand, ditemukan tiga faktor kunci (critical success factors) dalam reformasi tata kelola negara, yaitu: (1) adanya kepemimpinan yang kuat; (2) adanya komitmen dan kesepahaman bersama yang kuat; dan (3) adanya agenda reformasi yang jelas, bertahap, dan terukur.

Dari ketiga faktor tersebut, faktor kepemimpinan merupakan kunci pembuka kotak pandora bagi perbaikan faktor-faktor lainnya. Para pendiri bangsa Indonesia menyadari benar pentingnya peran kepemimpinan dalam pengelolaan negara. Desain konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kepercayaan yang besar pada moral kenegarawanan penyelenggara negara, seperti tercermin dari pernyataan Prof Soepomo.

Dengan segala kerendahan hati, beliau menyadari bahwa rancangan konstitusi itu “jauh dari sempurna”. Meski demikian, segera ia katakan. “Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik. Sebaliknya, meskipun undang-undang dasar itu tidak sempurna, jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, undang-undang itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara. Jadi, yang paling penting ialah semangat.”

Dalam meluasnya ketidakpercayaan publik pada politik, diperlukan kepemimpinan moral yang dapat menambatkan kembali biduk-biduk yang oleng pada jangkar keyakinan. Tentang tipe kepemimpinan moral yang ideal, Khalifah Umar memberikan petunjuk, “Yang mampu memangku kepemimpinan ini adalah orang yang tegas tapi tak sewenang-wenang, lembut tapi tidak lemah, murah hati tapi tidak boros, hemat tapi tak kikir. Hanya orang seperti itulah yang mampu.”

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement