REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saya sudah lama mengagumi sosok ilmuwan yang satu ini. Lugu, pintar, dan humanis sejati. Selama ini, beliau hanya terlihat di layar kaca saat berbicara tentang gunung api, baik ketika gunung itu tenang maupun saat meletus.
Biasa berminggu-minggu meninggalkan keluarga demi tugas berat; mengamati kondisi gunung yang sedang bergolak dan memberi penjelasan kepada penduduk tentang radius bahaya di sekitar gunung api. Tidak selalu mudah meyakinkan penduduk agar mau mengungsi demi keselamatan diri dari bahaya yang sudah di depan mata.
Mbah Maridjan, penjaga gunung Merapi Sleman, adalah salah seorang korban keganasan abu panas karena tidak cepat mengungsi. Diselimuti abu panas, tubuh makhluk hidup akan mengering dalam tempo singkat.
Dengan tidak saya sangka sebelumnya, saat menghadiri ulang tahun dua windu Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Daerah Istimewa Yogyakarta, di Pendopo Kecamatan Depok, Sleman, 27 Februari 2013 malam, Dr Surono hadir di situ. Momen ini merupakan kesempatan baik bagi saya untuk berkenalan. Selama acara kami berdampingan, duduk bersama Bupati Sleman Sri Purnomo, Gusti Prabukusumo, Pastor Yatno, dan tokoh-tokoh lintas agama yang lain.
Dr Surono seorang rendah hati. Tak terlihat dalam penampilannya sebagai seorang sangat penting dalam kaitannya dengan vulkanologi yang sering memicu gempa dan membawa bencana di samping kesuburan tanah. Jabatan resminya adalah kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana. Menurut Dr Surono, tidak banyak anak bangsa yang tertarik untuk menjadi vulkonolog, di samping tugasnya berat, perhatian negara terhadap nasib mereka juga belum memadai.
Jika gunung api mengamuk, Anda amatilah wajah Surono di televisi saat memberi penjelasan tentang tingkat-tingkat bahaya akibat ledakan vulkanis. Mungkin karena tidak sempat istirahat selama berjam-jam, wajah itu terlihat sangat letih, tetapi tutur katanya tetap terjaga dan runtut. Dr Surono bukanlah tipe manusia yang mudah mengeluh. Filosofinya: Living harmony with vulcanoes (Hidup harmoni bersama gunung api). “Manusia,” tutur Surono dalam sambutannya di malam acara di atas, “tidak mungkin mengalahkan alam.” Oleh sebab itu, pilihannya adalah bersahabat dengan alam, termasuk dengan gunung api.
Peran strategis Surono akan semakin dirasakan jika mengingat letak kepulauan Indonesia yang dilingkari oleh gunung api lingkar pasifik dan lintas Asia. Maka, tidaklah mengherankan jika ada jurnal asing menurunkan headline-nya “Indonesia's Ring of Fire: Living with Volcanoes” (Cincin Api Indonesia: Hidup Bersama Gunung Api). Kecuali Kalimantan, hampir semua kawasan di nusantara dikelilingi oleh cincin api itu. Lebih dari 100 gunung api di Indonesia yang masih aktif, sebuah jumlah terbanyak di dunia. Kesulitan dengan penduduk di sekitar gunung api adalah tidak mau pindah ke tempat yang lebih aman. Alasannya, antara lain, karena tersedianya tanah yang subur untuk menopang kehidupan, berkat abu gunung api.
Kembali kepada pakar kita ini. Dr Surono, kelahiran Cilacap, 8 Juli 1955. Hidup bersama seorang istri, Sri Surahmani, dan dua putri yang telah dewasa. Pendidikannya adalah gabungan antara Jurusan Fisika ITB dan S2 (Prancis) plus S3 juga di Prancis di Universitas Savoei, Jurusan Geo-Fisika. Disertasinya mengenai Gunung Api Kelud di bawah judul: Etude de phenomenes physiques observes lors d'une intrusion magmatique: Cas du volcan Kelud et de la Caldaeira de Long Valley.
Semestinya negara memberi penghargaan yang layak kepada anak bangsa semisal Dr Surono ini dengan kepakaran langka dan sangat penting bagi keselamatan manusia, khususnya mereka yang tinggal di sekitar cincin api yang korbannya sejak abad-abad yang silam sudah berada dalam hitungan ratusan ribu jiwa. Selamat mengemban misi kemanusiaan Dr Surono, sahabat gunung api dan sahabat kita semua!