Kamis 22 Aug 2013 03:15 WIB
Resonansi

Merdeka, Bung!

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yudi Latif

Merdeka, Bung! Dua kata pekikan ritus jalanan ini bukan sekadar slogan kosong, tetapi jiwa dari perjuangan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Dari bahasa Kawi/Sanskerta maharddhika, kata 'merdeka' secara etimologis berarti 'rahib/biku' atau 'keramat, sangat bijaksana/alim'. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi), kata ini sering dinisbahkan kepada para "pandita" atau biku Buddha. Mengingat status para biku yang begitu tinggi dalam sistem stratifikasi sosial umat Buddha, kata merdeka mengandung arti 'seseorang/sesuatu yang memiliki kedudukan yang terhormat dan mulia'. Ditinjau dari sudut ini, pekik kemerdekaan merefleksikan cita-cita emansipatoris untuk membebaskan diri dari pelbagai bentuk ketidakadilan dalam distribusi kehormatan dan pemilikan. Orang-orang dari segala kelas dan kelompok sosial berbagi impian untuk diperlakukan sebagai warga kelas satu.

Di zaman revolusi kemerdekaan, cita-cita ini diberi aksentuasi dengan kejamakan pemakaian imbuhan 'bung'. Kata ini bisa berarti 'saudara', menyerupai kemunculan istilah citoyen dari Revolusi Prancis atau comrade dari Revolusi Rusia. Dalam deskripsi tebal, sapaan "bung" menyiratkan cita-cita persaudaraan dalam kesederajatan kewargaan (citizenship). Segregasi dan diskriminasi kolonial berdasar pengelompokan etnis dan agama harus diakhiri dengan memuliakan hak individu warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum.

Alhasil, proklamasi kemerdekaan merupakan titik kedatangan (point of arrival) dari cita-cita kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Suatu kedatangan baru yang masih harus diakrabi, dibina, dan diperjuangkan. Artinya, ideal-ideal itu tidak berada pada titik keberangkatan (point of departure), tidak pada titik kesiapan untuk diperoleh dan dinikmati seketika.

Pada kenyataannya, momen kedatangan ini tidak sepenuhnya momen kebaruan tanpa "dosa bawaan". Meski menunjukkan semangat persaudaraan yang kuat, Indonesia pascakolonial tidak memiliki dasar-dasar kesederajatan yang kokoh. Kolonialisme berlalu dengan kerangka mental serta hierarki pengetahuan dan sosial-ekonominya tersendiri.

Hal ini diperkuat Kesepakatan Ekonomi-Keuangan antara pihak Indonesia dan Belanda pada Perjanjian Meja Bundar. Berdasarkan perjanjian ini, perusahaan-perusahaan Belanda bisa menjalankan bisnisnya seperti sediakala dan pemerintah Indonesia wajib berkonsultasi dengan pemerintah Belanda tentang pelbagai kebijakan ekonomi dan keuangan yang bisa berdampak bagi kepentingan Belanda. Alhasil, inteligensia Indonesia tampil sebagai elite politik tanpa basis ekonomi yang kuat.

Dalam pandangan Bung Hatta, dalam pidatonya di depan civitas academica Universitas Indonesia pada tahun 1957, revolusi kemerdekaan telah berhasil mewujudkan negara baru dan identitas nasional. Namun, gagal mencapai ideal-idealnya saat kemerdekaan politik digunakan semata-mata demi ambisi perseorangan dan kemujuran sekelompok kecil. Sambil mengutip pandangan Julien Benda tentang pengkhianatan intelektual, Hatta menilai politik tidak diorientasikan bagi kebajikan bersama, tetapi disalahgunakan semata-mata sebagai sarana untuk mendistribusikan kekayaan dan jabatan di kalangan terbatas.

Meski demikian, Sukarno masih percaya pada kekuatan progresif bangsanya. Setahun setelah Pemilihan Umum 1955 yang tak menentu, ia masih berkata pada pidato 17 Agustus-nya, "Aku belum kehilangan kepercayaan kepada bangsaku sendiri!" Selanjutnya dijelaskan, "Kita ini telah melampaui dua taraf perjuangan. Taraf physical revolution dan taraf survival. Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment."

Dalam pandangan Sukarno, investasi manusia dan material amat penting. Akan tetapi, yang paling penting adalah investasi mental. Investasi pengetahuan dan material tidak bisa menjadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental. Tanpa kekayaan mental, upaya-upaya pemupukan modal manusia dan material hanya akan melanggengkan perbudakan. Dikatakan, "Lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dolar, untuk rubel." Ditambahkan, "Mental kita harus mengangkat diri kita di atas kekecilan jiwa, yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran mempertentangkan urusan tetek bengek yang tidak penting."

Di sini kita pergoki lingkaran setan hambatan kemerdekaan sejati. Kesederajatan menghendaki penguatan dan pemerataan basis ekonomi bagi segenap elemen kebangsaan. Upaya ini menghendaki modal mental yang kuat, yang bisa mengatasi kekecilan jiwa yang berpihak kepada kepentingan sempit dan mentalitas perbudakan. Tanpa pemerataan basis ekonomi dan mentalitas kepemimpinan yang luhur, persaudaraan kewargaan terancam, anarki mengancam setiap saat.

Sementara Sukarno percaya pada kekuatan demokratis, anarki yang merajalela dan kecenderungan ledakan multipartai yang lebih memperjuangkan kepentingan partikular ketimbang kepentingan kesejahteraan bersama, mengantarkan demokrasi ke tangan represi.

Impase demokrasi parlementer ini jangan sampai terulang di era reformasi. Kebebasan sebagai berkah reformasi harus dipertahankan dan diperluas dengan pemberdayaan politik rakyat serta perbaikan pertanggungjawaban publik pada keadilan sosial.

Dalam demokrasi permusyawaratan, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak mampu menghadirkan keadilan sosial. Dalam Demokrasi Kita (1960), Bung Hatta mengingatkan, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada.”

Ketika kita pekikkan kata merdeka, kita diingatkan untuk mewujudkan cita-cita kesederajatan dan keadilan. Merdeka, Bung!

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا
Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.

(QS. An-Nisa' ayat 136)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement