Selasa 03 Sep 2013 08:43 WIB
Resonansi

Pendidikan, Kemerdekaan, dan Komitmen Moral Manusia Indonesia (II)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafi'i Maarif

Saya perlu memberi catatan untuk kisi-kisi No 2 dan No 3. Memang sejak beberapa tahun terakhir ini, telah terjadi konflik kekerasan dengan membawa-bawa bendera agama. Dalam bacaan saya, semua agama secara teoretik pasti properdamaian dan antikonflik, antikekerasan.

Namun, mengapa ada istilah “konflik dan kekerasan berbasis agama” muncul dalam wacana publik di Indonesia? Penyebab utamanya secara sederhana adalah karena ada pihak-pihak tertentu yang menafsirkan ajaran agama secara liar bagai binatang jalang, terlepas dari filosofi dasar agama itu yang membela kedamaian, keadaban, dan persaudaraan universal umat manusia.

Penafsiran liar inilah yang harus diluruskan dan dicegah agar agama itu tidak dijadikan alat pemukul atas pihak lain yang dinilai menyimpang. Penafsiran liar ini juga telah mengundang munculnya polisi-polisi swasta yang beringas dan kasar karena polisi negara yang sah sering tidak berfungsi dengan efektif dan semestinya.

Kemudian, tentang pentingnya implementasi pendidikan moral dan etika disatukan dalam sistem pendidikan nasional Indonesia memang sudah sangat mendesak untuk dijalankan, sesuatu yang ditelantarkan selama sekian tahun. Bangsa ini telah gagal secara moral, nilai-nilai luhur Pancasila telah lama disingkirkan dari kehidupan publik.

Akibat buruknya sudah sangat jelas: banyak orang, termasuk sebagian (besar?) elite politik dan ekonomi yang telah menjadi manusia tunamoral dan tunaetika. Tujuan hidupnya hanyalah meraih kuasa dan kepuasan materi sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan batas moral dan etika. Titik!

Gejala semacam inilah yang digambarkan Eric Fromm sebagai wajah utama masyarakat konsumeristik: To have more and to use more (“merebut lebih banyak dan melahap lebih banyak”). Masyarakat ini, tulis Fromm, “telah menghasilkan banyak hal yang tak berguna dan pada tingkat yang sama telah melahirkan manusia sampah, tunaguna”.

Sekalipun apa yang diamati Fromm adalah masyarakat kapitalis Barat, situasi masyarakat Indonesia mungkin lebih buruk dari itu. Di sini hukum sedang diperdagangkan, politik transaksional merebak, APBN/APBD/BUMN/BUMD telah dirampok oleh anak bangsa yang tunamoral ini, sementara sistem pendidikan nasional kita belum menampakkan tanda-tanda perbaikan secara fundamental sekalipun Kurikulum 2013 telah diluncurkan.

Karena negara belum berhasil secara baik dan tepat membenahi masalah pendidikan nasional sejak era Proklamasi Kemerdekaan 1945, tidak ada salahnya jika pihak swasta mencari dan merumuskan sistem pendidikan yang sedikit berbeda. Sistem alternatif tersebut diharapkan bisa berhasil mengawinkan antara keunggulan intelektual, keanggunan moral, dan keperkasaan fisik manusia Indonesia. Itulah karakter manusia terdidik Indonesia yang kita dambakan sejak puluhan tahun yang silam.

Mungkin dengan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan sistem baru ini, tujuan kemerdekaan dapat diraih berupa tegaknya keadilan, meratanya kesejahteraan, dan kemakmuran bersama. Dan, kesenjangan sosial yang masih tajam sekarang ini secara berangsur dapat dipertautkan dalam suasana sebuah Indonesia yang bermartabat, adil, dan makmur.

Kemerdekaan manusia yang sejati adalah kemerdekaan yang memberi manfaat sebesar-besarnya kepada sesama, tanpa diskriminasi rasial, agama, dan latar belakang sejarah. Pendidikan masa depan Indonesia haruslah mampu menciptakan sosok manusia didik yang mempunyai komitmen moral sungguh-sungguh bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan merata dalam bingkai Pancasila untuk kepentingan seluruh anak bangsa yang serba plural ini.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement