Jumat 27 Sep 2013 06:35 WIB
Resonansi

Data Pemilih, E-KTP, dan Suara Nazar

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Ini cerita di masa Orde Baru. Seorang petinggi partai meyakini bahwa partainya akan meraih suara sekian persen. 'Prediksinya' tepat. Persis. Namun di balik itu ada cerita lainnya. Sebelum suara mengalir ke Lembaga Pemilihan Umum (LPU), nama penyelenggaran pemilu saat itu, suara itu mampir dulu di sebuah lembaga. Di situ dilihat dan diolah. Setelah utak-atik sesuai dengan rencana mereka, suara itu diserahkan ke LPU. Tentu bukan kotak suaranya, tapi dokumennya saja. Mereka bekerja secara sistematis dari tingkat pusat hingga ke desa.

Di setiap menjelang pemilu, di masa reformasi ini, selalu saja ada kisruh. Dimulai dari proses legislasi yang selalu mepet dengan Hari-H pemilu. Hal ini tentu saja merepotkan penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam menyiapkan dan melaksanakan tahapan pemilu. Selain itu, juga ada kisruh tentang data calon pemilih maupun sistem IT. Kali ini, menjelang pemilu 2014, kita sudah dicemaskan oleh beberapa keributan. KPU dan Bawaslu yang sering berselisih. Juga ada silang sengkarut tentang daftar pemilih tetap (DPT). Mestinya, 23 September lalu KPU sudah bisa menetapkan DPT, namun kemudian diundur menjadi 23 Oktober nanti. Semula Kementerian Dalan Negeri menyodorkan ada 190 juta orang, setelah ditelisik oleh KPU hanya menyisakan 115 juta orang. Ini karena ada nomor induk kependudukan yang ganda maupun ada perubahan nama. Setelah dua institusi itu bertemu, disepakati ada 131 juta orang. Padahal kita sudah menerapkan sistem e-KTP. Kita tak tahu berapa jumlah pastinya karena masih menunggu keputusan pada 23 Oktober.

Yang terakhir, ada keributan soal e-KTP. Tiba-tiba pengacara Nazarudin membeberkan alur korupsi dalam proyek pembuatan e-KTP. Nama Gamawan Fauzi, menteri dalam negeri, masuk sebagai salah satunya. Kita tak tahu ke mana arah pengungkapan ini. Pemberantasan korupsi tak lagi steril dari haluan politik.

E-KTP dan data pemilih tentu ada kaitannya. Salah satu tujuan sistem e-KTP adalah untuk memudahkan pendataan pemilih. Masalah pemilih ganda, pemilih siluman, pemilih di bawah umur, atau pemilih yang sudah mati bakal hilang dengan sendirinya. Ini juga sekaligus tahap penting untuk penerapan sistem pemilihan secara elektronis. Tak perlu lagi ada kertas suara. Namun hingga kini proyek e-KTP tak kunjung beres. Saya sekeluarga pun, yang tinggal di Jakarta, hingga kini belum memiliki KTP jenis baru tersebut. Tentu masih banyak lagi penduduk yang belum memperoleh KTP yang prosesnya sejak setahun lalu tersebut. Di tengah situasi seperti itu, tiba-tiba pengacara Nazarudin bicara seperti itu. Terus terang kita mulai skeptis dengan segala pengakuan Nazarudin. Ia sudah seperti anak panah yang dilepas karena ada yang melepaskannya. Ia bukan air jernih yang mengalir tanpa pretensi. Ia bukan whistle blower seperti dalam terminologi pemberantasan korupsi.

Hal-hal yang membuat pengakuan Nazar bukan peluru tanpa pesan di antaranya, pertama, hartanya yang berlimpah masih tak disentuh KPK. Kedua, keluarganya masuk caleg nomor urut atas. Dua hal itu menjadi fakta yang meragukan kebersihan penegakan hukum dan meragukan kebersihan praktik politik. Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi di balik pengungkapan kasus e-KTP ini. Kita berharap ini murni persoalan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Namun kasus ini pasti akan memiliki efek politis. Jika proyek e-KTP tak kunjung beres, maka sudah dipastikan kekisruhan daftar pemilih akan menjadi hal permanen. Kita akan meragukan kredibilitas pemilu yang benar-benar jurdil.

Walaupun sistem penyelenggaraan pemilu makin baik, namun pelaksanaannya masih mudah diterobos untuk dicurangi. Pertama, tak semua partai bisa menyediakan saksi yang cukup. Kedua, walau memiliki saksi tapi jika kualitas saksi buruk maka ia mudah ditekan dan diperdaya. Ketiga, partai-partai dan calon-calon anggota legislatif yang mengetahui perolehan suaranya kecil kemudian menjadi tak peduli lagi dengan nasib suaranya. Keempat, bottle neck penghitungan suara adalah di tingkat kecamatan. Proses penghitungan bisa berhari-hari. Tak semua saksi bisa menunggui kotak suara. Mereka juga tak selalu bisa mengawal proses rekapitulasi. Belum lagi jika ada sabotase, misalnya mematikan aliran listrik. Karena itu, proses kecurangan terbesar terjadi di tingkat kecamatan ini. Suara bisa dialirkan ke mana saja; dicuri ataupun diperjualbelikan. Pelakunya bisa melibatkan petugas panitia pemilihan saja bersama saksi, bisa pula melibatkan partai dan calegnya.

Jika semua hal itu dikombinasi dengan kisruh daftar pemilih maka dampaknya akan sangat dahsyat. Intinya adalah siapa yang memiliki organ dan anggota yang terlatih dan terkonsolidasi hingga ke seluruh pelosok Tanah Air maka mereka inilah yang bisa mengendalikan pemilu. Untuk bisa mematahkan semua jenis kecurangan itu hanyalah dengan kesuksesan program e-KTP. Kita sudah mulai menyaksikan sejumlah Pilkada ternyata dimenangkan dengan suara tipis. Kecurangan sedikit saja atau dengan memainkan akurasi data pemilih sudah cukup untuk menang. Namun ternyata, program e-KTP tak mulus. Dan, di tengah KPU dan Kemendagri berselisih soal data pemilih, muncul suara dugaan korupsi dari pengacara Nazar. Suara itu dikemukakan di gedung KPK.

Dalam beberapa pemilu, kita sering mendengar kabar maupun rumor tentang kecurangan pemilu. Tak sedikit caleg yang sesekali saja berkampanye dan hanya sedikit menebar alat peraga kampanye. Namun ketika pengumuman hasil pemilu, mereka meraih suara yang signifikan. Mereka tak perlu repot bekerja di bawah. Cukup menunggu di tikungan dan di tahap tertentu. Tentu dengan cara curang. Dalam sejarah politik, kita sering mendengar kisah seperti ini. Julius Caesar yang perkasa tak berdaya di hadapan senator yang hanya duduk di kota Roma saja. Christopher Columbus yang melegenda harus menderita di penjara karena intrik di istana. Untuk memenangkan perang tak cukup hanya mengandalkan kerja nyata di lapangan tapi juga harus memastikan sistem bekerja dengan benar dan orang-orang diawasi secara ketat. Tanpa itu, hanya para culas dan pemalas yang akan menari di atas penderitaan orang yang sudah lelah bekerja susah payah.

Masih terlalu banyak orang Indonesia yang culas dan malas tapi ingin hidup nyaman dengan cara instan. Karena itu kita tak boleh lelah untuk memperbaiki Indonesia dengan membangun sistem dan mengorganisasi orang-orang baik. Hanya dengan cara itu, kejayaan Indonesia akan bisa diraih. Kisruh daftar pemilih ini menunjukkan kita belum bekerja secara sepatutnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement