REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha
Hingga kini, formasi koalisi dalam pergulatan pemilihan presiden masih belum rampung. Bahkan calon presiden yang sudah pasti memiliki tiket hanyalah Joko Widodo alias Jokowi. Namun dengan siapa ia berpasangan, masih belum jelas. Juga partai mana saja yang akan bergabung dengan PDIP masih terus berproses. Masih tarik menarik.
Ada lima faktor penyebab situasi ini. Pertama, fragmentasi perolehan suara yang relatif menyebar. Hal ini menyulitkan proses penyatuan. Kedua, dari dua partai yang meraih kursi tertinggi, hanya PDIP yang memiliki kandidat capres dengan tingkat elektabilitas yang bagus. Sedangkan Aburizal Bakrie, kandidat capres dari partai pemenang kedua (Partai Golkar), memiliki elektabilitas yang rendah, terutama setelah terkena tsunami Maladewa. Ketiga, kandidat capres yang relatif masih bisa bersaing dengan Jokowi, yaitu Prabowo Subianto, memiliki banyak kendala. Yaitu perolehan kursi Partai Gerindra yang relatif masih jauh dari batas presidential threshold, yaitu 20 persen kursi atau 25 persen suara. Juga karena ada faktor pelanggaran HAM di masa lalu dan stabilitas mentalnya. Keempat, ada faktor pengaruh SBY yang masih kuat namun tak memiliki kandidat capres yang moncer serta perolehan suara partainya yang kecil. Kelima, mereka menunggu batas akhir pendaftaran capres.
Situasi yang saling menyandra ini membuat pertarungan menjelang kontestasi relatif panas. Hal ini pernah saya prediksikan pada tulisan saya sebelum pemilu legislatif digelar. Gonjang-ganjing itu di antaranya menerpa PPP. Suryadharma Ali, ketua umum partai ini, hampir saja dilengserkan. Ia harus buru-buru meralat dukungannya pada Prabowo. Kini, faksi-faksi lain di partai ini mulai merapat ke partai lain. Keriuhan lain terjadi di Golkar. Ada suara untuk membatalkan pencalonan Bakrie. Bahkan Akbar Tandjung, ketua dewan penasihat Golkar, sudah bertemu Jokowi. Sedangkan Agung Laksono dan kawan-kawan mengadakan pertemuan dengan pimpinan ormas di bawah Golkar.
SBY sendiri sedang berusaha membangun kekuatan, yang orang sebut sebagai poros ketiga. Ini menjadi alternatif terhadap poros Jokowi dan poros Prabowo. Jika poros ketiga ini benar-benar terbentuk, maka formasinya bisa berubah drastis. Prabowo bisa kehilangan tiket untuk menjadi capres, dan poros lainnya justru poros Bakrie. Bahkan bisa jadi hanya ada dua poros, poros Jokowi dan poros yang kini sedang digalang SBY. Apakah ini yang akan terjadi? Apakah masih ada figur yang bisa didorong untuk bisa bersaing melawan Jokowi? Atau ini hanya untuk menjegal Prabowo belaka? Atau justru terjadi kawin paksa Prabowo dan cawapres dari Golkar? Sulit untuk memprediksinya. Harus diingat, pemilihan presiden dilakukan secara langsung. Dorongan partai hanya berpengaruh kecil, yang paling menentukan adalah kekuatan figur.
Hingga saat ini hanya ada dua figur yang kuat, yaitu Jokowi dan Prabowo. Selebihnya hanya memiliki tingkat elektabilitas yang kecil. Sedangkan untuk kandidat cawapres setidaknya ada tiga figur yang kuat. Mereka adalah Jusuf Kalla, Hatta Rajasa, dan Mahfud MD. Untuk mendampingi Jokowi ada dua yang kuat, Kalla dan Mahfud. Awalnya nama Kalla menguat, namun kini dengan merapatnya PKB bahkan PPP ke PDIP nama Mahfud ikut menguat. Apalagi pemilih NU cenderung solid, seperti pemilih PDIP maupun PKS. Lainnya ada figur militer seperti Ryamizard Ryacudu. Nama Hatta sebetulnya sempat disebut, namun kemudian tenggelam. Hatta memiliki banyak keunggulan seperti pengalaman di pemerintahan, tipe teknokrat yang tekun, ketua umum partai, memahami ekonomi, dan juga memiliki relasi dengan luar negeri yang baik. Namun Hatta memiliki satu kelemahan: dia besan SBY. Padahal Megawati memiliki hubungan buruk dengan SBY.
Nama Hatta juga sempat menguat untuk menjadi pasangan Prabowo. Namun dengan menguatnya wacana poros ketiga, terbentuknya pasangan Prabowo-Hatta mengendur lagi. Sebetulnya ada hal yang sangat penting, alotnya formasi koalisi ini juga karena faktor terlalu superiornya elektabilitas Jokowi. Seolah Jokowi sudah menang sebelum bertanding, siapapun pasangannya.
Melihat pilpres dari perspektif power play seolah mengabaikan hal yang lebih substansial. Tujuan pokok hadirnya Indonesia adalah untuk mecapai kesejahteraan dan keadilan. Dan aspirasi terpenting saat ini adalah terwujudnya poros kedaulatan. Kita akan berhadapan dengan poros ketahanan. Poros terakhir ini tak mementingkan kedaulatan, yang penting ketersediaan. Tak penting kita punya industri atau tidak, tak penting kita menanam padi atau tidak, tak penting kita memelihara sapi atau tidak, tak penting kita punya BUMN atau tidak, tak penting kita punya minyak atau tidak, dan seterusnya. Bagi mereka yang penting kita bisa membelinya. Seolah dalam bernegara tak ada prasyarat minimal. Mereka inilah orang-orang pragmatis, yang sudah 45 tahun berkuasa. Kini saatnya poros kedaulatan. Singkirkan para ekonom, teknokrat, birokrat, dan politisi penggadai negara. Mereka tak punya malu atas kesalahannya, dan menjadi kaya sebagai komprador.
Sudah saatnya kita berhenti mengobral sumberdaya alam kita. Tentu ironi kini kita menjadi importir minyak. Dan terakhir kita dikagetkan bahwa kita akan mengimpor gas, karena kini kita mengekspor gas dengan harga sangat murah. Sebelum ini kita terbiasa menjadi importir garam, gandum, beras, daging, coklat, dan sebagainya. Perjuangan kita adalah menuntaskan revolusi tahun 1945, yang terputus oleh pertikaian politik dan pragmatisme kaum komprador.
Kita harus mendudukkan arah koalisi politik pada pilpres 2014 ini ke dalam derap proklamasi. Kita pilih pasangan capres-cawapres yang bisa menuntaskan tujuan kemerdekaan kita. Kemerdekaan adalah kedaulatan. Sempurnakan revolusi politik dengan revolusi ekonomi dan revolusi budaya.