Senin 16 Jun 2014 06:00 WIB

Pergerakan Da'isy Menyaingi Berita Piala Dunia

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ikhwanul Kiram Mashuri

Da'isy yang dimaksud tidak ada hubungannya dengan taktik 'tika-tiki' yang telah dikembangkan oleh klub Barcelona dan kini juga dimainkan oleh kebelasan Spanyol. Taktik yang kemudian mudah dibaca lawan-lawan Spanyol dan Barca. Hasilnya, Spanyol KO alias keok di tangan kesebelasan Belanda dengan skor telak 1-5 dan Barca tak meraih satu gelar pun di musim ini.

 

Da'isy yang satu ini juga tidak ada kaitan apa pun dengan sepakbola. Namun, taktik dan pergerakannya kini menyaingi berita-berita Piala Dunia yang sedang dihelat di Brasil. Terutama di media-media Timur Tengah -- baik cetak, online maupun televisi. Da'isy menjadi berita besar dan mengagetkan para pemimpim Timur Tengah sesudah mereka berhasil menguasai Mosul, kota terbesar kedua di Irak setelah Baghdad.

Mereka kini juga sedang bersiap-siap menjarah Ibu Kota Irak – sekitar 400 km dari Mosul -- untuk mengancam kekuasaan Perdana Menteri Nuri Al Maliki. Dalam berita-berita di media Timur Tengah juga disebutkan, tentara Nuri Al Maliki di Mosul yang berjumlah sekitar 30 ribu orang lari tunggang-langgang meninggalkan gelanggang ketika berhadapan dengan milisi Da'ish yang berjumlah tak lebih dari seribu orang. Semua senjata berat -- dari peluncur roket, tank hingga helikopter – mereka tinggalkan dan jatuh ke milisi Da'isy.

Dalam analisa media Al Sharq Al Awsat edisi kemarin, milisi Da'ish digambarkan sama atau lebih berbahaya daripada kelompok Al Qaida atau Taliban di Afghanistan. Milisi Da'isy kini menyebar di berbagai negara rawan konflik seperti di Suriah, Yaman, Libia, Lebanon, dan Somalia, selain Irak sendiri.

Lalu apa dan siapa kelompok atau milisi Da'isy yang kini menjadi semacam hantu yang menebarkan ketakutan buat para pemimpin dan penguasa negara-negara di kawasan Timur Tengah?

Dari sumber-sumber di Timur Tengah dan juga Barat belum banyak yang mengulas tentang kelompok atau milisi yang tiba-tiba menguasai kota terbesar kedua di Irak ini. Yang jelas Arab Saudi dan beberapa negara Teluk mengelompokkan Da'isy sebagai organisasi terlarang alias teroris. Di Suriah milisi Da'isy yang tadinya membela kaum oposisi untuk menggulingkan rezim penguasa Presiden Bashar Assad kemudian berbalik menyerang kelompok-kelompok oposisi. Bahkan mereka juga berkonflik dengan sesama kelompok Muslim untuk memperebutkan pengaruh maupun wilayah.

Di perbatasan Suriah dengan Turki, milisi Da'isy pun terlibat konflik dengan tentara perbatasan negara Perdana Menteri Racep Tayyib Erdogan. Di Mosul, Da'isy telah menduduki kantor konsulat jenderal Turki serta menculik lebih dari 50 diplomat dan warganya. Perdana Menteri Erdogan telah meminta bantuan pasukan NATO untu ikut campur tangan melawan milisi Da'isy.

Di Yaman, milisi Da'ish beberapa kali menyerang istana Presiden Yaman di Sana'a dan menewaskan puluhan warga. Dalam berbagai pernyataannya, milisi garis keras ini juga telah mengancam keamanan Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan siapa pun yang akan menghalangi perjuangan mereka.

Sebuah sumber menyebutkan, Da'isy merupakan sempalan dari kaum Syiah radikal. Sumber lain mengatakan, Da'isy adalah anonim dari kelompok garis keras Al Qaida yang berideologi Sunni. Disebutkan mereka kini sedang mengfokuskan perjuangan untuk mendirikan Daulah Islamiyah di Irak dan Syam (Suriah).

Tidak banyak diketahui mengenai siapa pemimpin tertinggi dari kelompok garis keras Da'isy ini. Al Sharq Al Awsat hanya menyebut Al Baghdadi. Ia dikatakan sebagai pemimpin misterius dan tidak banyak diketahui profil maupun foto-fotonya. Beberapa sumber memperkirakan Al Baghdadi adalah Abu Bakar Al Baghdadi. Kini ia merupakan orang pertama dalam kepemimpinan militer kelompok Al Qaida di Irak. Militer Al Qaidah ini kemudian dikenal sebagai kelompok atau milisi Da'isy. Meskipun keberadaannya sangat misterius, namun Al Baghdadi sangat dihormati oleh kalangan 'mujahidin' Al Qaida.

Di Suriah, milisi Da'isy dipimpin oleh Abu Bakar Al Iraqi, yang dalam struktur merupakan orang kedua setelah Al Baghdadi. Al Iraqi dikabarkan telah tewas dalam pertempuran dengan sesama kelompok garis keras di Suriah Utara. Baik Al Baghdadi maupun Al Iraqi disebutkan merupakan mantan perwira militer pada masa Presiden Irak Saddam Husein. Lantaran kecewa dan marah terhadap Amerika Serikat dan pemerintahan Irak pasca Saddam Husein yang dikuasai oleh kelompok Syiah, mereka kemudian bergabung dengan Al Qaida.

Dengan alasan ideologis, mereka berhasil merekrut anak-anak muda untuk bergabung. Bukan hanya dari Irak dan Suriah, namun juga dari berbagai negara Islam. Bahkan terdapat beberapa anak muda dari negara Barat yang bergabung dengan mereka. Atas nama agama, mereka kemudian menghalalkan berbagai cara, termasuk mengancam, meneror, dan bahkan membunuh siapa saja yang dianggap menghalangi perjuangan mereka untuk mendirikan apa yang disebut sebagai Negara Islam di Irak dan Syam.

Sebagaimana pernah disampaikan dalam rubrik ini, pasca serangan telak pasukan sekutu/Barat yang dipimpin oleh AS terhadap Al Qaida dan Taliban di Afghanistan dan kemudian serangan ke Irak, para mantan pejuaang Al Qaida yang selamat kemudian menyebar ke berbagai negara. Utamanya ke negara-negara yang rawan konflik seperti Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, Libia, dan beberapa negara di Afrika. Mereka kemudian merekrut anak-anak muda setempat dan mendirikan organisasi-organisasi bawah tanah dengan nama yang berbeda-beda. Ada Da'ish, ada Jihad Islami, dan seterusnya. Di Nigeria ada Bako Haram yang menculik ratusan anak-anak sekolah tak berdosa.

Kita di Indonesia tentu tidak menghendaki munculnya kelompok-kelompok garis keras yang bisa mengancam dan meneror kedamaian kehidupan warga masyarakat sebagaimana halnya terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah. Perjuangan ala Al Qaida dan semacamnya yang menghalalkan segala cara, termasuk menebar teror dan kekerasan, harus kita tolak dan lawan. Termasuk cara-cara kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan politik, yang ujung-ujungnya dikhawatirkan akan memunculkan konflik horisontal.

Apalagi menggunakan isu-isu agama untuk kepentingan politik. Isu agama bisa sangat sensitif yang rawan menimbulkan gesekan antar-warga. Bahkan juga konflik. Konflik yang akan menyimpan benih-benih permusuhan di kalangan anak bangsa. Ketika ini terjadi, maka terorisme bisa tumbuh subur. Wallahu a'lam. n

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement