Sabtu 13 Sep 2014 06:03 WIB

Menjegal Demokrasi

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Asma Nadia

"Pak, kenapa saya harus berhenti sekolah?" tanya si bungsu kepada bapaknya.

"Karena biaya sekolah mahal, jadi jangan sekolah!" jawab sang bapak singkat.

"Terus. kenapa saya tidak boleh ke rumah sakit?" imbuh anak kedua yang sedang tidak enak badan.

"Karena biaya dokter dan obat mahal, jadi nggak usah ke rumah sakit!" ujar sang bapak,  senada  jawaban pertama.

"Pak, kenapa aku tidak boleh menikah?" kali ini pertanyaan dari putri sulung si bapak.

"Karena biaya menikah mahal!" jawab si bapak. masih sama seperti sebelumnya

Mendengar respons yang terlalu mempertimbangkan biaya atas segala keputusan, maka sang ibu mengajukan pertanyan retoris pada suaminya yang entah kenapa menjadi arogan.

"Pak, apakah kita tidak usah beli beras untuk makan, karena beras juga sekarang mahal."

Sang suami kontan terdiam.

"Apakah lampu dan listrik di rumah  dimatikan saja semuanya karena  listrik juga semakin  mahal?"

Si Bapak membisu. Tidak terdengar jawaban

"Oh, ya dan apakah sebaiknya kita semua mati kelaparan, saking biaya hidup  sangat mahal?"

Sang bapak tercenung. Baru menyadari bahwa deret jawaban yang ia sampaikan sebelumnya mungkin bodoh dan  berlebihan. Sayang dia masih terlalu angkuh untuk mengakui, hingga  memilih diam.

Anak-anak dan sang ibu hanya bisa berdoa agar sang bapak diberi pencerahan atas kebuntuan pikirannya.Adakah yang aneh dari kisah tersebut?

Sebenarnya hal senada  tengah terjadi pada demokrasi di tanah air.

Anggota parlemen saat ini sibuk menggodok konsep pemilihan kepala daerah yang kembali mengacu pada sistem lama, di mana  kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD lokal dan tidak lagi dipilih langsung  oleh rakyat. Alasannya sangat naif, penghematan biaya.

Mengacu pada kalimat-kalimat sang ibu  pada suaminya, sebenarnya kesimpulannya sangat sederhana dan mendasar.

Apakah sesuatu itu merupakan keharusan atau tidak?

Jika harus dan dibutuhkan, sebab penting, maka biaya harus menyesuaikan.

Bukan sebaliknya, sebuah keharusan  dilenyapkan semata pertimbangan biaya.

Apakah karena biaya kesehatan mahal maka kita tidak pergi ke dokter ketika sakit? Tentu saja tidak demikian. Bagaimana jika tidak ada biaya? Tetap tidak ada jalan lain, kita harus berusaha dengan segala daya. Selanjutnya agar biaya berobat tidak membebani, maka setiap orang harus berusaha lebih keras untuk  sehat.

Apakah karena biaya pendidikan mahal berarti anak harus berhenti sekolah dan menggantungkan cita-cita? Jelas tidak, mengingat pendidikan sangat penting. Tinggal pilihannya para orang tua  mencari cara untuk mendapat penghasilan lebih, atau menelusuri peluang beasiswa, bahkan mungkin memilih sekolah gratis tapi bermutu.

Keputusan-keputusan pemerintah karenanya, seharusnya melalui pertimbangan masak dan mampu menjadi contoh bagi masyarakat, untuk terbiasa berpikir mencari solusi dalam mewujudkan sesuatu yang memang merupakan keharusan. Bukan dengan mudah mengambil jalan pintas menghilangkan satu kebutuhan penting,  setiap kali terhalang kendala.

Demikian juga dengan pilkada.

Apakah suara rakyat penting? Tentu.

Siapa pun bisa menjawab, mana yang lebih mewakili kehendak rakyat, pemilihan langsung atau berdasarkan perwakilan suara anggota DPRD?

Apakah pemimpin daerah sebaiknya dipilih rakyat?

Ya, sebab kebijakan tersebut hadir setelah melalui banyak hasil kerja keras dari proses reformasi. Jika memang biayanya mahal dan risikonya besar, maka pangkas biaya, kemas lebih efisien, dan cari cara mengurangi resiko. Bukan justru menghapus  pilkada langsung.

Biaya harus mengikuti sebuah kebutuhan, bukan yang penting dan mendasar dihapus karena biaya. Apalagi ini bagian dari edukasi demokrasi yang penting bagi kuatnya fondasi bangsa ke depan.

Pemilihan Kepala Daerah sejauh ini, dengan adanya mekanisme calon independen,   bahkan sudah lebih demokratis daripada pemilihan pimpinan nasional. Justru seharusnya demi demokrasi yang lebih maju di masa depan, mungkin pemilihan presiden berikutnya bisa mempertimbangkan  ruang bagi  calon independen.

Saya dulu mengira beberapa tahun ke depan, dari kedewasaan berpolitik, kita akan mempunyai calon presiden dari jalur independen, terlepas terpilih atau tidak. Kenyataannya justru demokrasi di Indonesia terancam mengalami kemunduran.

Kembali tanyakan hati, apakah akan kita biarkan diri dan keluarga mati  kelaparan, hanya karena makanan mahal? Tidak! Jadi, apakah  akan kita biarkan demokrasi di daerah mati, hanya karena mahal? Seharusnya tidak.

Terngiang dialog sang  bapak dengan anak dan istrinya.

Sama-sama berharap dan berdoa, semoga  para anggota parlemen membatalkan rencana menghapus pilkada langsung di daerah dan menyadari bahwa biaya bukan segalanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement