REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif
Pengamalan nilai-nilai Pancasila hanya dapat terlaksana apabila ada ketaatan dari warga negara. Ketaatan kenegaraan ini, menurut Notonagoro (1974), dapat diperinci sebagai berikut.
Pertama, ketaatan hukum yang terkandung dalam Pasal 27 (1) UUD 1945 berdasarkan atas keadilan legal. Kedua, ketaatan kesusilaan berdasarkan atas sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ketiga, ketaatan keagamaan berdasarkan atas sila pertama Pancasila, Pasal 29 (1) UUD 1945, berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Keempat, ketaatan mutlak atau kodrat atas dasar bawaan kodrat daripada organisasi hidup bersama dalam bentuk masyarakat, lebih-lebih dalam bentuk negara, organisasi hidup kesadaran dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi pengalaman daripada manusia. Baik pengalaman tentang penilaian hidup yang meliputi lingkungan hidup kebendaan, kerohanian, dan religius; lingkungan hidup sosial ekonomis, sosial politis, dan sosial-kultural.
Kunci ketaatan tersebut adalah semangat para penyelenggara negara dan komitmen warga untuk menjungjung tinggi nilai-nilai keadaban publik berdasarkan Pancasila. Untuk itu, bukan hanya pembangunan aspek jasmaniah yang harus diperhatikan, melainkan pertama-tama justru pembangunan aspek kejiwaan.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Itulah pesan dari lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Kekayaan alam Indonesia bisa memberi kemakmuran kepada bangsa ini, tapi di tangan para penyelenggara negara yang miskin jiwa, sebanyak apa pun sumber kekayaan alam itu tak akan pernah mencukupi kesejahteraan warganya.
Kekayaan budaya Indonesia bisa memberi sumber kemajuan peradaban kepada bangsa ini, tapi di tangan para penyelenggara negara yang tak memiliki kepercayaan diri, kekayaan budaya sebanyak apa pun tak akan pernah menjadi kekuatan kerohanian (karakter) bagi kemajuan bangsa. Kekayaan keragaman Indonesia bisa memberi landasan kehidupan yang rukun dan saling menyempurnakan, tapi di tangan para penyelenggara negara yang kerdil, kekayaan keragaman itu menjadi sumber pertikaian dan saling mengucilkan.
Dalam kaitan ini, peringatan Wiranatakoesoema pada sidang BPUPK seperti mengantisipasi kemungkinan ini: Pada hemat saya hal yang menyedihkan ini disebabkan oleh manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungjawaban sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif ... bukankah tujuan kita pro patria. Tetapi, pro patria per orbis concordiam. Maka, alam moral ini hendaknya kita pecahkan karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.
Dalam usaha membumikan Pancasila dari alam idealitas menuju alam realitas, kita perlu menghayati fitrah (semangat asal) bernegara seperti yang dipesankan dan dicontohkan oleh para pendiri bangsa sendiri. Fitrah pertama adalah semangat ”menuhan” (ketakwaan kepada Tuhan).
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat sikap ”ihsan” dengan mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pengakuan ini, menurut Bung Hatta, pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di hadapan sesamanya, melainkan juga di hadapan sesuatu yang mengatasi semua, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Fitrah kedua adalah semangat kekeluargaan. Dalam pidato tentang Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan: Kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia --semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!
Fitrah ketiga adalah semangat keikhlasan dan ketulusan. Dalam mengambil keputusan yang sulit, seperti dalam menentukan bentuk negara (uni, federasi, atau konfederasi), para pendiri bangsa di BPUPK terlebih dahulu mengheningkan cipta seraya memanjatkan doa agar keputusan yang diambil dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan hati yang murni dengan penuh keikhlasan. Fitrah keempat adalah semangat pengabdian dan tanggung jawab