Kamis 09 Oct 2014 06:00 WIB

Winners Take All

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Pak Made. Inilah sopir yang mengantar saya bolak balik dari Hotel Amandari ke venues Ubud Writers and Readers pada awal Oktober 2014 lalu.  Mengenali saya yang katanya ‘sering dia lihat di TV’, pak Made secara serta merta mengungkapkan keluhan dan sekaligus kegusaran dan kemarahannya mengikuti perkembangan politik Indonesia pasca-Pilpres 9 Juli 2014.

Pak Made seperti banyak masyarakat lapisan bawah Indonesia yang sering bertemu saya dalam perjalanan ke berbagai pelosok tidak bisa dipandang remeh (underestimate); mereka sama sekali tidak buta dan tidak tuli, sebaliknya sangat mawas politik. Mereka menonton televisi dan membaca koran; mereka menyimak perkembangan politik tanahair baik yang menyenangkan maupun tidak. Ketika mereka berkeluh kesah, saya sering tergagap tidak bisa menjelaskan baik dan masuk akal apa yang tengah terjadi dalam kancah politik Indonesia sekarang.

Pak Made sangat cemas dengan masa depan pemerintahan Jokowi-JK. Setelah memenangkan Pilpres dengan disahkan KPU dan MK, kubu Jokowi-JK dan Koalisi PDI-P mengalami kekalahan demi kekalahan berhadapan dengan kubu koalisi Prabowo sejak dari penetapan UU MD3 yang menentukan pemilihan pimpinan DPR RI melalui paket lima fraksi dan penetapan UU Pilkada yang merampas hak rakyat memilih gubernur, bupati dan wali kota secara langsung. Hasil pemilihan pimpinan DPR RI berdasarkan UU MD3 sudah jelas; koalisi Prabowo menyapu bersih pimpinan DPR RI—mereka mewujudkan prinsip winners take all, para pemenang mengambil semuanya.

Gejala winners take all sebenarnya tidak aneh karena sejumlah negara demokrasi, seperti Amerika Serikat misalnya, juga pada praktiknya juga sering menerapkan hal seperti itu. Meski demikian, pemenang yang menyapu bersih semua posisi di parlemen sering menimbulkan kemacetan pemerintahan (‘government shut down’) seperti hampir selalu pernah dialami pemerintah Amerika sejak di bawah Presiden Ford, Carter, Reagan, Clinton sampai Bush dan Obama. ‘Penutupan Pemerintahan’ terjadi ketika Kongres apakah ketika didominasi Partai Republik atau dikuasai Partai Demokrat menolak menyetujui APBN atau program tertentu yang memerlukan dana besar yang akhirnya mengakibatkan pelayanan pemerintah harus ditutup.

Apakah pemerintah Jokowi-JK bakal mengalami shut-down sepanjang pemerintahannya? Sejauh menyangkut APBN, jika DPR RI yang dikuasai kubu Prabowo menolak pengesahan anggaran 2016 misalnya, pemerintahan Jokowi-JK masih dapat menjalankan APBN tahun sebelumnya, 2015 yang sudah disetujui DPR RI periode 2009-2014. Meski ada ‘pintu darurat’ (emergency exit) semacam ini, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi-JK satu waktu kelak mengalami hambatan DPR RI yang sulit diatasi—yang pada gilirannya membuat sangat sukar bagi terlaksananya program pembangunan secara baik.

Winners take all yang merupakan langkah mundur bagi demokrasi Indonesia jelas adalah semacam show-down—unjuk gigi koalisi Prabowo setelah menelan kekalahan pahit dalam Pilpres yang belum juga bisa mereka terima secara legowo. Bisa terasa dan terlihat, gerakan sapu bersih itu mengandung ill-intention, niat tidak baik untuk membuat pemerintahan Jokowi-JK tidak bisa atau sulit bergerak.

Tetapi perkembangan winners take all tampak lebih daripada sekadar untuk ‘mengganggu’ pemerintah Jokowi-JK. Sejauh ini, manuver kubu Prabowo yang kelihatan terus mendapat momentum, telah mengarahkan pertumbuhan demokrasi dengan dampak jangka panjang yang tidak lain terus memundurkan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Karena itu, setiap dan seluruh warga yang peduli dengan masa depan demokrasi negeri ini mesti mencermati agar dapat melakukan respons yang tepat pula.

Hal ini terlihat jelas dalam penetapan UU Pilkada yang merampas hak demokratis warga untuk secara langsung memilih kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota). Sebaliknya melalui UU Pilkada yang baru ini pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD seperti berlaku pada masa Orde Baru.

Jika judicial review dari berbagai pihak ke MK untuk pembatalan UU Pilkada tersebut atau Perppu yang diajukan Presiden SBY di hari-hari akhir masa kekuasaannya ditolak DPR RI nanti, hampir bisa dipastikan jabatan kepala daerah merupakan ajang bagi-bagi kekuasaan (horse trading) di antara partai-partai pendukung Koalisi Prabowo. Seperti pernah dinyatakan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, jika money politics pada Pilkada langsung lebih merupakan petty corruption—korupsi kelas teri, maka Pilkada lewat DPRD bakal menimbulkan eksplosi money politics dalam skala yang sulit dibayangkan.

Dampak jangka panjang manuver kubu Probawo lainnya sudah banyak dibicarakan publik, di antaranya termasuk upaya melalui MPR untuk tidak melantik Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih; atau jika tetap dilantik kemudian dalam perjalanan pemerintahannya berupaya memakzulkan keduanya; dan juga mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden kepada MPR RI seperti terjadi pada masa Orde Lama khususnya.

Dengan perkembangan dan gejala politik seperti ini Pak Made dan rakyat tinggal gigit jari; mereka seolah powerless—tidak berdaya apa-apa selain mengurut dada. Atau bangkit kembali sebagai people power seperti pernah terjadi pada bulan-bulan awal 1998. Jika hal terakhir ini terjadi, bukan tidak mungkin biaya yang harus dibayar negara-bangsa Indonesia menjadi sangat mahal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement