REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Hari itu, Rabu (22/10), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar jumpa pers di halaman belakang Istana Merdeka. Di bawah pohon trembesi. Inilah jumpa pers perdana. Jumpa pers yang ganjil. Ia tidak didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Saat itu, publik sedang menunggu pengumuman susunan kabinet. Jokowi hanya menyebutkan bahwa ada delapan nama calon menteri yang masuk daftar merah KPK dan PPATK sehingga pengumuman kabinet belum bisa dilakukan. Namun, ada satu hal yang menarik dalam jumpa pers yang sangat singkat itu, Presiden didampingi Panglima TNI, tiga kepala staf angkatan, Kepala Polri, dan Kepala BIN. Bahkan, Panglima TNI dan KSAD mengenakan baret.
Hari itu memang ada eskalasi politik di sekitar kekuasaan. Muncul beragam rumor. Para wartawan yang bertugas di istana, pada sore harinya, bahkan bergerak ke Tanjung Priok. Mereka dalam koordinasi istana. Pasukan Pengamanan Presiden juga bersiap-siap. Panggung dan tata cahaya disiapkan. Katanya, akan ada pengumuman susunan kabinet pada malam itu.
Rumor berseliweran. Sehari sebelumnya, Wapres bertemu pemimpin oposisi Prabowo Subianto, ketua umum Gerindra. Wapres juga bertemu Aburizal Bakrie, ketua umum Golkar, dua hari berikutnya. Di lingkungan PDIP dan seputar Megawati Soekarnoputri juga ada dinamika.
Dinamika yang sama terjadi di partai pengusung lainnya. Tentu saja, kelompok-kelompok kepentingan yang berada dalam barisan pendukung Jokowi-JK juga ikut ramai. Sesuatu yang wajar. Mereka sedang bertarung dalam perebutan kursi di kabinet. Drama yang cukup panjang, bahkan cenderung panas.
Akhirnya, pada Ahad (26/10) sore, Presiden mengumumkan susunan kabinet. Ada 34 menteri. Sama dengan jumlah menteri era SBY periode kedua. Reaksi pasar dan publik relatif datar terhadap susunan kabinet. Tidak jelek, tapi juga tidak bagus-bagus amat. Sebuah reaksi yang spontan. Tentang kualitas yang sesungguhnya hanya bisa dibuktikan oleh kinerja. Kita butuh waktu untuk menilai dengan objektif. Beri kesempatan kepada mereka untuk bekerja.
Paling banter kita hanya pada taraf menilai berdasarkan statistik dan hal-hal yang sifatnya kasat mata. Ada menteri-menteri yang ditempatkan tak sesuai keahliannya, bahkan cenderung 'tertukar' --mirip judul serial sinetron “Putri yang Ditukar”.
Kehadiran Ryamizard Ryacudu (kelahiran 1950) sebagai menteri pertahanan yang lebih senior dari Menko Polhukam Tedjo Edhi Purdijatno (kelahiran 1952) merupakan catatan tersendiri. Jumlah menteri perempuan merupakan yang terbanyak dalam sejarah, sebuah pertanda bagus. Latar belakang sipil-militer, agama, persebaran usia, latar belakang pendidikan (kecuali kehadiran Susi Pudjiastuti), dan persebaran provinsi relatif sama dengan susunan menteri kabinet SBY yang kedua. Relatif lambatnya pengumuman menunjukkan tak mudahnya Jokowi menyusun kabinet. Ini karena Jokowi bukan figur sentral di partainya.
Tim ekonomi terlihat tak begitu solid. Ada terlalu banyak warna. Visi Trisakti tak begitu menonjol. Bahkan, ada menteri yang masuk kategori neolib, sebuah pandangan ekonomi yang berseberangan dengan Trisakti yang menjadi ideologi PDIP.
Selain itu, ada menteri-menteri yang di lapangan bisa masuk dalam satu rangkaian dalam proses perizinan, tapi berasal dari partai yang sama. Hal ini sangat berbahaya, rawan vested interest, dan tak menciptakan mekanisme checks and balances. Duduknya orang-orang partai di kementerian-kementerian tertentu juga mengundang kecurigaan ada agenda kepartaian.
Alotnya penyusunan kabinet juga bukan semata faktor pertarungan partai di pemerintahan, melainkan juga karena hadirnya kelompok-kelompok kepentingan. Duduknya orang-orang itu di pemerintahan, pada akhirnya, tak lepas dari siapa pengusulnya-mirip oligarki.
Yang paling menonjol dari kabinet ini adalah hadirnya figur-figur gila kerja (workaholic), seperti Susi Pudjiastuti (menteri kelautan dan perikanan), Rudiantara (menkominfo), Ignasius Jonan (menhub), Anies Baswedan (menteri kebudayaan pendidikan dasar dan menengah), dan Siti Nurbaya (menteri lingkungan hidup dan kehutanan). Kita berharap masih ada figur-figur lain yang pekerja keras seperti mereka-kita masih butuh informasi lagi soal ini.
Hal ini sesuai dengan nama kabinet yang diumumkan Jokowi: Kabinet Kerja. Nama ini meleset dari perkiraan sebelumnya bahwa kemungkinan bernama Kabinet Trisakti. Namun, dua nama ini sama-sama dinisbahkan pada Bung Karno. Kabinet Kerja adalah nama yang digunakan Bung Karno dalam masa Demokrasi Terpimpin, mulai 1959. Tiga kabinet kerja (I, II, dan III) dipimpin Djuanda Kartawidjaja, sedangkan Kabinet Kerja IV dipimpin Subandrio. Bung Karno menamakan kabinet kerja karena dipimpin oleh profesional dan umumnya berisi orang-orang nonpartai.
Kehadiran figur-figur pekerja keras akan menjadi warna pemerintahan Jokowi. Mereka akan lari cepat, birokrasi harus mengikuti irama sang menteri. Mereka akan fokus pada target. Mirip dengan cara kerja institusi bisnis. Kata-kata Jokowi saat mengenalkan menteri untuk “berlari” menuju barisan merupakan sinyal kuat soal itu.
Perbedaan politik, visi pembangunan, bahkan pertarungan saat penyusunan kabinet diharapkan akan tenggelam oleh capaian-capaian kinerja para menteri. Figur-figur pekerja keras juga biasanya akan pragmatis dan moderat selama tak mengganggu target. Hal ini akan mengurangi friksi dengan parlemen, yang kali ini dikuasai oposisi.
Asal mereka tak terpeleset pada komunikasi politik, tak tersandung birokrasi, dan bisa menghindar dari aspek personalitas yang negatif, maka kabinet ini akan sesuai namanya, yaitu Kabinet Kerja. Kita lihat dalam tiga bulan ke depan, setelah itu baru kita memberikan penilaian.