Jumat 07 Nov 2014 06:00 WIB

Mobil Amien Rais Ditembak

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Ini cerita lama. AH Nasution, sang jenderal besar, suatu kali berkisah, dalam sebuah perbincangan di sore hari. Seusai suatu acara di istana, DN Aidit tiba-tiba meminta berfoto bersama dirinya. Pimpinan tertinggi PKI itu memanggil para wartawan. Esoknya, foto Nasution bersama Aidit terpampang di halaman satu koran. Itulah perjumpaan terakhir Nasution dengan Aidit sebelum terjadi geger besar.

"Mungkin semacam pesan. Kenang-kenangan terakhir," kata Nasution. Pada 30 September 1965 dini hari, segerombolan orang dari pasukan Cakrabirawa menggeruduk rumah Nasution di Jalan Teuku Umar-lebih tepat rumah milik mertuanya karena sampai akhir hayatnya ia tak memiliki rumah sendiri. Mereka memberondongkan tembakan. Nasution diminta kabur oleh istrinya, Johana Sunarti. Malang tak dapat ditolak, anaknya, Ade Irma (5 tahun), gugur dalam gendongan.

Cerita ini memang tak simetris. Namun, wajah teror mulai menggelayut. Pada Kamis (6/11) dini hari, diduga dua orang berboncengan sepeda motor. Mereka menembakkan senjata dan mengenai mobil milik M Amien Rais. Sejak reformasi, Amien mengaku sudah tiga kali mendapat teror. Sebelumnya, dua kali kaca mobilnya dilempar batu. Namun, baru kali ini ada teror dengan senjata berapi. Amien adalah figur seksi untuk dijadikan target. Perannya yang cenderung antagonis memudahkan dirinya untuk dijadikan objek permusuhan.

Hingga kini belum bisa dipastikan siapa pelaku penembakan tersebut. Kita juga tak bisa sembarang berspekulasi ihwal motif di baliknya. Pelakunya bisa siapa saja. Bisa saja ini terdesain. Ada orang yang mengail di air keruh, menciptakan iklim adu domba. Atau, ada orang yang ingin membangun efek takut pada Amien maupun PAN.

Tak pelak, peristiwa ini mengingatkan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Amien disebut pernah berjanji, jika Jokowi menang pilpres, Amien akan berjalan kaki dari Jakarta ke Yogyakarta. Jokowi ternyata menang. Maka ada orang dari Malang, Giman, yang mengajak Amien untuk jalan kaki bersama menuju Jakarta. Giman menyambangi rumah Amien, tapi tuan rumah tak ada di tempat.

Tak hanya itu, sejumlah orang melakukan ruwatan di depan rumah Amien. Pada titik ini mulai muncul perlawanan. Sejumlah aktivis organisasi kepemudaan Muhammadiyah melaporkan mereka ke polisi dengan tuduhan penghinaan, fitnah, dan menciptakan rasa benci serta permusuhan.

Hingga kini belum ada kejelasan kelanjutan pengaduan dari IMM, IPM, PM, dan Kokam. Apakah kasus penembakan kali ini masih satu rangkaian dengan dua peristiwa itu? Kita tunggu hasil penyelidikan dan penyidikan polisi.

Saya sendiri ragu polisi akan menuntaskan kasus ini. Yang pasti, kasus penembakan ini telah menimbulkan reaksi dari aktivis Muhammadiyah, bukan hanya PAN. Amien adalah tokoh Muhammadiyah. Ia pernah menjadi ketua umum ormas keagamaan ini.

Di Koalisi Merah Putih (KMP), Amien Rais hanyalah salah satu tokoh saja. Di sini ada figur Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, dan Hidayat Nur Wahid. Figur sentralnya adalah Prabowo karena dia pengantinnya dan dari partai terbesar kedua di koalisi ini.

Namun, Amien justru yang menjadi sasaran tembaknya. Dia memang yang tertua, dia juga gemar diwawancara. Pernyataannya artikulatif, tak jarang bernada sengit. Peran antagonisnya di masa lalu menjadikan Amien mudah dijadikan musuh bersama. Dialah lokomotif gerakan reformasi. Dia berada di baris depan melawan rezim Soeharto. Ia pula yang menggagas Poros Tengah yang berhasil mempresidenkan Gus Dur dengan mengalahkan Megawati Soekarnoputri sang pemenang pemilu. Namun, Amien pula yang memiliki peran tak kecil dalam melengserkan Gus Dur dan menaikkan Megawati untuk menjadi presiden.

Di masa lalu, Muhammadiyah lekat dengan Masyumi. Partai ini memiliki sejarah perseteruan panjang dengan PNI dan Bung Karno. Perseteruan itu seolah dibawa terus hingga di era Reformasi, walaupun pada Pilpres 2014 Din Syamsuddin, yang merupakan ketua umum Muhammadiyah, ada kecenderungan mendukung Jokowi. Karena itu, ia berhasil memasukkan satu nama untuk menjadi menteri, yaitu Nila Moeloek. Namun PAN, partai yang didirikan dengan restu resmi dari Muhammadiyah, justru mendukung Prabowo. Amien adalah pendiri, mantan ketua umum, dan kini ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN.

Perseteruan pendukung Jokowi dan Prabowo hingga kini belum berakhir benar. Di parlemen muncul pimpinan DPR tandingan-setelah KMP menguasai pimpinan DPR dan pimpinan komisi serta badan-badan lain di DPR. Di media sosial, perseteruan itu juga masih sering muncul.

Karena itu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang mendukung Jokowi, kecewa. Mereka berharap di lembaga wakil rakyat ini mereka ikut diberi tempat. Dari 64 posisi, mereka hanya meminta 16 posisi saja. Namun, tuntutan itu tak dipenuhi. KIH pun membuat “lelucon serius”, membentuk pimpinan DPR tandingan.

Sebetulnya, Jokowi dan Prabowo mengusung tema yang sama: kemandirian, kedaulatan, pemerataan, dan nasionalisme. Yang membedakan mereka adalah langgam politik, aktor politik, basis dan akar sosial pendukungnya, serta para penyandang dananya.

Hal ini, misalnya, sangat berbeda dengan persaingan Demokrat dan Republik di Amerika Serikat atau Liberal dan Buruh di Australia. Mereka memiliki visi yang berbeda. Karena itu, siapa pun yang menang-Jokowi atau Prabowo-adalah kemenangan kaum nasionalis. Ini akan banyak mengubah lanskap Indonesia ke depan karena berbeda dengan masa Orde Baru maupun masa SBY.

Semua pihak harus menanggalkan sentimen masa pilpres dan bergerak maju menuju cita-cita. Saat ini Indonesia sedang memasuki periode emas. Indonesia sedang memasuki masa surplus demografi yang banyak membawa keuntungan. Peta geoplitik dan geoekonomi juga sedang berada di Asia Pasifik. Momentum seperti ini tak datang dua kali. Dalam periode ini, Indonesia akan menghadapi pilihan untuk mewujudkan revolusi sosial dan revolusi ekonomi atau kita terjebak pada oligarki elite di segala bidang.

Kita harus mengawal pemerintahan Jokowi agar tetap di visi awal. Jangan biarkan dia dibajak kaum komprador dan dikendalikan elite politik maupun para penyandang dana. Pertarungan politik sudah selesai. Pertarungan sesungguhnya ada di level ekonomi.

Kita tahu, sebelum tragedi G30S/PKI, teror politik sering terjadi. Tokoh-tokoh oposisi mendapat teror fisik maupun mental. Presiden Sukarno pun berkali-kali mendapat serangan mematikan. Kita tak ingin sejarah berulang.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement