Sabtu 08 Nov 2014 06:00 WIB

Pahlawan dan Kita

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Apa itu pahlawan?

Siapakah yang pantas  menyandang sebutan  demikian?

Apakah seseorang harus meninggal terlebih dahulu baru bisa menjadi pahlawan?

Apakah seseorang harus menjadi tua dulu  untuk layak disebut pahlawan?

Bagaimana cara terbaik menghargai jasa pahlawan?

Namanya Mochammat Achiyat. Usianya saat itu baru menginjak 17 tahun. Remaja ini mungkin tidak mengira tindakannya pada malam 30 Oktober 1945 telah mengubah sejarah Indonesia, dan mewarnai sejarah dunia.

Atas perannya, Brigadir Jenderal Mallaby tewas. Komandan Brigade 49 dengan kekuatan  6.000 Infanteri ini tewas hanya 5 hari setelah menginjakkan kakinya di Surabaya.

Tewasnya sang jendral memicu kemarahan sekutu yang melancarkan serangan lebih besar pada 10 November 1945 dan melahirkan hari pahlawan yang kemudian diperingati setiap tahun.

Surabaya memang akhirnya jatuh, setelah beberapa minggu pertempuran, tetapi perang di kota ini justru membuka mata sekutu bahwa kekuatan Indonesia tidak bisa diremehkan.

Tanpa peristiwa Surabaya, mungkin sejarah tidak akan sama. Indonesia harus menunggu lebih lama untuk mendapat pengakuan kemerdekaan.

Pertempuran di Surabaya adalah perang besar pertama bagi sekutu setelah perang dunia ke-2 berakhir.  Di mana-mana ketika sekutu datang, semua takut dan tunduk, hanya di Surabaya mereka mendapat tantangan berat.

Lebih buruk lagi, momentum di Surabaya merupakan kekalahan pertama dan terburuk dalam sejarah sekutu setelah menaklukkan Jerman dan Jepang. Seluruh pasukan sekutu di Surabaya hampir disapu bersih pada pertempuran gelombang pertama. Padahal mereka pasukan khusus yang mempunyai  spesialisasi perang kota dan persenjataan berat, dan telah memenangkan pertempuran melawan Jepang di Birma sampai Semenanjung Malaya, serta memenangkan perang melawan tentara Jerman di Afrika

Yang lebih memalukan, tidak hanya Mallaby, Inggris juga kehilangan satu jendral lain, seorang penerbang,  dalam pertempuran di Surabaya. Pertempuran beberapa hari di Surabaya menewaskan prajurit dan jendral lebih banyak dari perang tahunan di Eropa.

Achiyat, hanya  satu  dari ribuan pemuda Surabaya yang siap meregang nyawa demi mempertahankan kemerdekaan.

Bung Tomo, tokoh penggerak perlawanan di Surabaya juga masih sangat muda ketika itu. Usianya baru menginjak 25 tahun.

Apa yang dilakukan para pemuda Surabaya saat itu sudah memberikan jawaban pada bahwa kita tidak perlu menunggu tua untuk menjadi pahlawan.

Lalu apakah menjadi pahlawan harus menunggu kematian menjemput?

Ketika masih hidup, Bung Tomo adalah pahlawan bagi masyarakat Surabaya, bahkan Indonesia. Ia menjadi sumber inspirasi, motivasi dan panutan bagi banyak orang. Dengan kata lain, setiap kita mampu menjadi pahlawan bagi masyarakat tanpa harus menunggu mati.Lalu siapakah yang layak di sebut pahlawan?

Apakah peristiwa 10 November menjadi hari pahlawan karena jumlah korban yang tewas?

Tidak, masih ada peristiwa lain seperti bencana alam yang menewaskan lebih banyak korban.

Peristiwa Surabaya menjadi hari pahlawan bukan karena jumlah korban, melainkan  karena korban-korban tersebut gugur dalam rangka memperjuangkan hak, membela kemerdekaan, dan mempertahankan kebebasan.

Perjuangan,  satu kata itu yang membuat mereka layak disebut pahlawan.

Lalu bagaimana cara kita menghargai jasa pahlawan?

Mengingat jasa mereka, merupakan hal  paling biasa yang dilakukan.

Mendoakan, akan jauh lebih baik.

Tapi  yang terbaik adalah meneladani mereka. Karena setiap kebaikan yang kita lakukan atas inspirasi yang mereka berikan akan menjadi amal jariyah bagi para pahlawan dan memberi manfaat bagi masyarakat banyak.

Di antara semua pertanyaan di atas, sebenarnya masih tersisa pertanyaan terpenting.

Apakah Anda ingin menjadi pahlawan?

Pejuang bagi keluarga, bagi anak dan istri?

Bagi masyarakat?

Pahlawan bagi bangsa?

Atau pahlawan bagi peradaban?

Alangkah indah jika hidup tak hanya untuk diri sendiri. Mungkin pilihan  bijak jika rakyat yang kini menikmati kemerdekaan  karena jasa para pejuang, berpikir untuk tidak sekedar mengingat pengorbanan para pahlawan, tapi juga mulai memantaskan diri  menjadi satu dari deret mereka yang berjuang.

      

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement