REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Azyumardi Azra
Dalam berbagai seminar, konferensi, atau dialog Indonesia dan Eropa —baik bilateral atau multilateral, apakah diselenggarakan di Tanah Air atau di benua tersebut— kalangan wakil atau pembicara dari Uni Eropa (EU) sering mengangkat peningkatan intoleransi di Indonesia. Mereka merujuk sejumlah kasus, baik yang sudah lama maupun relatif baru, seperti kerusuhan komunal di Ambon dan Poso pada awal reformasi (1999-2002) lebih dari satu dasawarsa silam sampai yang ‘relatif baru’ seperti penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik (2011).
Hal lain yang juga sering mereka angkat, misalnya, kasus Gereja Yasmin yang heboh sejak 2006 yang sampai sekarang belum selesai karena jalin kelindan masalahnya menjadi tambah rumit. Selanjutnya, terkait dengan itu, kesulitan umat Kristiani membangun gereja di sejumlah tempat di Indonesia.
Peningkatan intoleransi di Indonesia sering terkait dengan massa anonim dan kelompok terorganisasi yang melakukan berbagai bentuk tindakan dan aksi yang tergolong sebagai 'tidak toleran'. Sikap intoleran sering tidak terkait langsung dengan agama, tetapi lebih dengan kontestasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sikap intoleran juga terkait dengan dinamika hubungan ‘mayoritas-minoritas’ dalam berbagai aspek kehidupan sejak dari agama, ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Meski Indonesia sering terdengar pernyataan tentang perlunya penghapusan kategori ‘mayoritas-minoritas’, dalam kenyataannya sangat sulit menghilangkannya karena realitas itu terbentuk sering melalui proses alamiah.
Karena itulah Indonesia bagi banyak kalangan dalam dan luar negeri dilihat dari perspektif mayoritas-minoritas. Tetapi, semua kalangan sepakat, mayoritas penduduk Indonesia —sekitar 88,2 atau 88,7 persen— adalah penganut Islam. Atas dasar itu banyak kalangan di dalam maupun luar negeri menyebut Indonesia sebagai ‘majority-Muslim country’, atau country with the largest Muslim population in the world’; atau bahkan the largest Muslim country in the world’.
Mengakui Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di muka bumi, orang lupa melihatnya secara lebih cermat dan lebih rinci. Memang benar mayoritas provinsi dan kabupaten/kota Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi juga ada provinsi dan kabupaten/kota di mana kaum Muslimin minoritas, seperti di Bali, Papua, atau Sulawesi Utara. Tidak jarang warga Muslim minoritas di wilayah semacam itu juga mengalami kesulitan mendirikan masjid.
Hal yang sama juga terjadi di banyak tempat di Barat. Dalam pertemuan dengan Presiden Dewan Eropa (President of the European Council), Herman van Rompuy, pada 19 November 2014, penulis Resonansi ini yang hadir bersama sejumlah ‘wakil’ ormas dan lembaga Islam Indonesia menyampaikan pesan umat Islam Slovakia dan Polandia, mereka sampai saat ini sangat sulit mendapatkan izin pembangunan masjid yang representatif.
Sebelumnya, dalam pembicaraan dengan lembaga dan tokoh Islam di kedua negara itu pada akhir Oktober dan awal November 2014, saya mendapat informasi dan keluhan tentang kesulitan mereka bertahun-tahun mendapat izin membangun masjid di Bratislava dan Warsawa (masing-masing ibu kota Slovakia dan Polandia). Mereka selalu mendapat hambatan dari kaum mayoritas Katholik di kedua negara tersebut. Hal sama juga terjadi di Athena, ibu kota Yunani, misalnya.
Presiden van Rompuy dalam responsnya tidak menjawab pernyataan saya atau menjelaskan upaya yang mungkin bakal dia lakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi kaum Muslimin di Bratislava, Warsawa, atau Athena. Sebaliknya, ia berbicara tentang adanya banyak masjid di Belgia, Prancis, atau Jerman.
Ia juga banyak berbicara tentang meningkatnya jumlah kaum Muslimin di Eropa dan masih kuatnya orientasi sebagian mereka pada Islam tanah air masing-masing, seperti Arab, anak benua India, atau Turki dan Afrika Utara. Gejala ini menjadi salah satu sebab gagalnya integrasi mereka ke negara-negara di mana mereka berdiaspora. Gejala ini pula menjadi salah satu sebab peningkatan intoleransi dan bahkan Islamfobia dalam kian banyak masyarakat Eropa.
Semua gejala seperti di atas disebut Martha C Nussbaum sebagai ‘intoleransi baru’ dalam karyanya the New Religious Intolerance: Overcoming the Politics of Fera in an Anxious Age (Cambridge, MA: Belknap Press & Harvard University Press, 2012). Kebangkitan ‘intoleransi baru’ itu terkait dengan meningkatnya sikap ‘antireligius’ —dan khususnya ‘anti-Muslim’ di sebagian wilayah dunia Barat, khususnya Eropa.
Peningkatan intoleransi baru bersumber dari kian merebaknya rasa kekhawatiran berlebihan secara personal dan kelompok. Rasa khawatir yang semula sah-sah saja meningkat menjadi ketakutan berlebihan melihat segala sesuatu yang berbeda dengan ‘kita’ sehingga memunculkan berbagai ketentuan, regulasi, dan tindakan tidak toleran.
Bagaimana cara mengatasi intoleransi? Nussbaum menganjurkan penerapan konsisten seluruh prinsip universal penghargaan terhadap kesadaran (conscience). Pada saat yang sama meningkatkan saling pengertian, membina persahabatan melintasi batas agama, dan mengikatkan diri pada etika yang konsisten menyangkut kepantasan (decency) dan keadaban (civility).