REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Apa hubungan agama dengan kekerasan? Kenapa agama yang mengajarkan damai, kedamaian dan harmoni tidak hanya antarmanusia, tetapi juga dengan lingkungannya dalam perjalanan sepanjang sejarah terlihat sering menjadi dasar dan justifikasi aksi kekerasan?
“Di Barat pandangan bahwa agama secara inheren [mengajarkan] kekerasan sekarang telah diterima begitu saja (taken for granted) dan nyata dengan sendirinya (self-evident)... Yang begitu sulit terhapus adalah citra keimanan agama yang agresif dalam kesadaran sekuler kita sehingga kita secara rutin memuat dosa-dosa kekerasan abad 20 ke punggung ‘agama’ dan mendorongnya masuk ke dalam kebuasan politik”.
Kalimat-kalimat itu adalah kutipan dari karya terbaru Karen Armstrong, Fields of Blood: Religion and the History of Violence (London: The Bodley Head, 2014). Karya terakhir Armstrong ini nampaknya harus dibaca dalam rangkaian dengan dengan bukunya yang lain:A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (1993); The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam (2000); The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Tradition (2006 ); dan The Case for God: What Religions Really Mean (2009).
Buku Fields of Blood cukup massif setebal 499 halaman membahas secara ekstensif kaitan antara keimanan sebelum munculnya agama sejak masa paling awal, ketika orang-orang masih hidup dari berburu dan bertani sekitar 2.750 tahun sebelum Masehi. Setelah itu karya ini mengkaji kekerasan dalam hubungan agama yang berkembang di India dan China.
Tetapi, seperti dikemukakan Armstrong dalam pengantarnya, karya ini berfokus terutama pada agama-agama Ibrahim (Abrahamic religions); Yudaisme, Kristianitas, dan Islam. Ketiga agama ini tengah dalam sorotan sekarang. Selain itu, karena ada anggapan anggapan, monotheisme, kepercayaan kepada Tuhan Yang Tunggal, paling rentan terhadap kekerasan dan intoleransi.
Armstrong bercerita bahwa dia selalu mendengar pernyataan orang tentang agama yang agresif dan kejam. Ada orang yang menyatakan misalnya; agama telah menjadi penyebab dari semua perang besar dalam sejarah. Kalimat seperti ini dia dengar berulang-ulang, menjadi semacam mantra, oleh para komentator dan psikiatris Amerika, sopir taksi London, dan akademisi Oxford. Pernyataan yang ganjil dan gegabah karena kedua perang dunia pada abad 20 jelas bukan disebabkan agama, juga bukan untuk mencapai kepentingan dan tujuan agama.
Penulis Resonansi ini juga sering mengalami hal yang sama, baik dalam konperensi dan seminar di AS dan Eropa khususnya maupun ketika wawancara dengan wartawan asing. Pernyataan atau pertanyaan yang bernada memojokkan agama—khususnya Islam sejak Peristiwa 9/11 (2001), Taliban, dan sepanjang 2014 ISIS—selalu muncul. Meski sudah dijelaskan berulang-ulang, tetap saja pandangan stereotipikal tentang Islam dan para penganutnya yang gemar melakukan kekerasan atas agama monotheis ini bertahan.
Persepsi semacam itu menguat ketika krisis ekonomi belum sepenuhnya pulih di Amerika dan bahkan kian menjadi-jadi di sejumlah negara Eropa. Kaum imigran yang banyak di antara mereka pemeluk Islam menjadi sasaran kebencian kelompok ultra sayap kanan yang ‘xenophobic’—anti segala sesuatu berbau asing.
Tetapi, Karen Amstrong, penulis prolifik dan memiliki empati yang kuat pada agama—termasuk Islam—mengingatkan, jika ada orang-orang atau bangsa yang berperang, seperti ditegaskan para ahli sejarah militer, itu disebabkan banyak faktor semacam ideologi politik, sosial, dan material. Di antara ketiga faktor ini, yang terpenting pertarungan dan perebutan sumber-sumber alam yang kian langka.
Kesimpulan yang sama juga ditegaskan para ahli tentang kekerasan politik atau terorisme. Mereka berulang kali menegaskan, orang atau kelompok manusia melakukan kekerasan karena berbagai alasan yang kompleks. Kesimpulan yang sama juga dihasilkan Tim Ahli yang dibentuk Raja dan Perdana Menteri Spanyol bekerjasama dengan Club de Madrid pasca-pemboman Madrid 2004—terkenal sebagai M-11), di mana penulis Resonansi ini termasuk salah satu dari 15 anggota yang diketuai Profesor Mark Juergensmeyer dari University of California Santa Barbara (lihat, Addressing the Causes of Terrrorism: The Club de Madrid Series on Democracy and Terrorism, Vol. 1—The International Summit on Democracy, Terrorism and Security, Madrid: 8-11 March, 2005, hlm 26-33).
Secara gamblang, Tim Ahli ini menyimpulkan, agama dalam masa sekarang jarang menjadi faktor tunggal kekerasan dan terorisme. Ideologi, tujuan dan dan motivasi agama sering berjalin-kelindan dengan faktor ekonomi, sosial dan politik. Keputusan dan tindakan kelompok tertentu melakukan kekerasan dan terorisme biasanya bersifat situasional dan jarang menjadi endemi bagi tradisi agama dari mana kelompok tersebut berasal.
Kesimpulan lain yang tak kurang pentingnya adalah: Islam tidaklah penyebab terorisme. Begitu juga dengan agama-agama lain yang tidak terkait dengan tindakan kekerasan dan terorisme yang dilakukan kelompok yang memeluk agama tersebut.