Ahad 15 Feb 2015 06:00 WIB

Mobil Nasional Dan Sebuah Kerinduan

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Saya teringat betapa bangganya rasa hati ketika melihat anak-anak Solo memperkenalkan mobil Kiat Esemka buatan Indonesia sekitar tiga tahun lalu di bulan Januari 2012. 

Lebih bangga lagi  mendengar Jokowi, wali kota setempat saat itu,  memberi dukungan penuh dan menyatakan akan menggunakan karya putra bangsa tersebut sebagai mobil dinas walikota. Sayangnya hal ini kemudian tidak terwujud karena  belum melalui proses perizinan dan sertifikasi.

Kenapa seolah dipersulit?  pikir saya merespons hambatan dari lembaga sertifikasi berwenang. Bulan Maret 2012 justru kabar buruk yang muncul. Mobil Esemka tidak lolos uji emisi. "Ndak apa-apa kalau sekarang gagal. Kita coba lagi, kita minta diuji lagi sambil kita perbaiki apa kekurangannya. Mewujudkan sesuatu untuk kebanggaan bangsa dan negara harus terus optimis," Joko Widodo tetap memberi semangat.

Waktu berjalan, baik Pak Walikotta  dan juga mobil Esemka sama-sama menanjak karirnya. Sang wali kota menjadi Gubernur Jakarta dan Esemka yang awalnya hanya karya anak SMK kini menjadi perusahaan otomotif yang didirikan untuk merintis mobil nasional.

Sayangnya mereka tidak berjalan seiring. Ketika mobil Esemka diluncurkan di  Solo Techno Park, pada November 2012, Gubernur DKI Joko Widodo menyatakan tidak akan hadir karena dia sudah menjadi bagian dari Pemerintah Provinsi DKI dan mobil Esemka kini bukan tanggung jawabnya lagi, apalagi sudah dikelola perusahaan swasta.

Saya sedih, karena awalnya berharap semangat mobil nasional harusnya tidak tersekat provinsi. Tapi perasaan tersebut menguap dan saya kembali optimis ketika mendengar Jokowi bersemangat lagi menceritakan Kiat Esemka sebagai salah satu contoh pengembangan penelitian saat memberikan kuliah umum yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, pada September 2014. Apalagi kini ia berbicara dengan kapasitas sebagai  presiden terpilih.

Tentang kekurangan mobil tersebut beliau berujar, "Harusnya diperbaiki supaya kita punya mobil rakyat, mobil nasional yang bisa dipakai dengan benar,"

Berita ini membangun kembali harapan saya dan mungkin sebagian besar rakyat  Indonesia akan terwujudnya kebanggaan  Indonesia untuk akhirnya memiliki  mobil nasional. Akan tetapi berita penandatanganan MoU dengan Proton di awal Februari 2015 membuat saya bertanya-tanya lagi, lalu bagaimana   nasib mobil nasional?

Semangat mobil nasional memang bukan isu baru di Indonesia, dan sejauh ini selalu pasang surut.Di masa lalu  sempat ada  Kancil, Komodo, Tawon, Marlip yang kemudian tidak jelas kemana rimbanya.

Pernah juga Indonesia bekerja sama dengan Korea merintis  mobil Timor dengan janji transfer teknologi.  Sesuatu yang tidak pernah kita dapatkan dari Jepang sekalipun industri mobilnya di Indonesia sudah  puluhan tahun di Indonesia, jauh lebih awal dari keberadaan industri otomotif negara lain di Tanah Air. Akan tetapi protes di WTO dan jatuhnya orde baru membuat proyek ini dihentikan.

Tidak terlupakan  mobil listrik  Tuxuci ldan Selo yang digagas Dahlan Iskan. Proyek yang sangat prospektif sebenarnya dan  layak didukung, akan tetapi kenyataannya sulit mendapatkan izin dan sertifikasi. Lagi-lagi, ada apa sebenarnya?

Sebagai rakyat, saya tidak begitu peduli siapa yang menghasilkan mobil nasional, yang penting impian memiliki mobil nasional terwujud. Bangsa Indonesia harus bisa membuat mobil sendiri. Tentang transfer teknologi, saya teringat pernyataan seorang wartawan Jepang ketika meliput di Indonesia, yang berbicara dengan gamblang.

"Jangan berharap ada transfer teknologi, karena itu berarti mematikan sumber penghasilan negara pencipta mobil. Bongkar mobilnya pelajari,  tiru  lalu susun kembali. Begitu caranya!'

Apa yang dikatakan sang wartawan mungkin jawaban kenapa setelah puluhan tahun memproduksi mobil Jepang kita tetap tidak terjadi pengalihan teknologi.

Bekerja sama dengan Korea pun ketika memproduksi Timor hal ini tidak terjadi. Lalu apakah  seterusnya kita tetap  menanti sesuatu yang mungkin tidak akan pernah  diberikan?

Lee Myung Bak ketika bekerja di Hyundai memerintahkan untuk membongkar Buldozer Jepang dan meniru serta merakit ulang sampai akhirnya Korea mampu membuat buldozer sendiri.  Atas kesuksesannya, pria  itu dijuluki  Mr. Buldoser. Keberhasilannya membuatnya terkenal dan terpilih sebagai walikota Seoul lalu kemudian menjadi presiden Korea selatan tahun 2002-2006.

Tidakkah saatnya meniru dengan mengikuti langkah Cina atau Korea?  Membongkar, mempelajari, mencuri ilmu dan  tidak hanya menunggu diajari?

Kerinduan akan mobnas, telah lama ada di hati rakyat. Rindu Indonesia memiliki kebanggaan yang lain. Jika pesawat dan kapan laut saja sudah pernah kita buat, mobnas tak pantas menjadi impian (apalagi) yang tak pernah diwujudkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement