Ahad 24 May 2015 10:01 WIB

Kisruh Sepak Bola

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Kisruh sepak bola di tanah air membuat saya ingin tahu lebih dalam seburuk apa performa  olahraga ini di tanah air. Kebetulan musim lalu saya berkesempatan terlibat dalam kompetisi sepak bola profesional, sehingga sedikit banyak mendapat informasi langsung dari sumbernya.

Terlebih, beberapa pemain divisi utama yang saya kenal tidak mendapat gaji berbulan-bulan dari klubnya, sehingga sementara waktu mereka bekerja di penerbitan kami. Jumlahnya, cukup untuk membentuk satu kesebelasan  sendiri.

Saya mulai bertanya lebih detail  pengalaman mereka di sepak bola selama ini. "Gaji saya selama satu musim tidak dibayar, Bunda. Sudah tiga tahun tidak ada tanda-tanda pelunasan. Katanya, jika klub terjual baru hutang gaji dilunasi.  Sekarang, klub sepertinya sudah beralih kepemilikan, tapi gaji masih tidak dibayarkan.  Padahal syarat menjual klub salah satunya adalah semua tanggungan terlunasi!" cerita seorang atlet divisi utama yang diamini  rekan-rekannya.

"Kenapa bisa selama semusim tidak digaji? Kenapa tidak mogok bermain sejak awal?" kejar saya penasaran.

"Kami pernah niat mogok dan mengadu ke induk organisasi, tapi malah diancam akan di-blacklist kalau tidak main di kompetisi."

Aneh, mereka  korban kenapa malah ditekan? Pikir saya tak mengerti. Melihat kebingungan saya, mereka menjelaskan. "Mungkin jika aturan diketatkan,  akan banyak klub yang diberi sanksi. Induk organisasi akan malu kalau banyak klub sebenarnya tak layak ikut kompetisi."

Penjelasan panjang lebar itu membuat saya mulai mengerti kenapa banyak klub yang tidak memenuhi kewajiban membayar gaji tetap aman untuk mengikuti kompetisi pada musim berikutnya. Karena bagi induk organisasi yang penting kompetisi berjalan, tidak peduli bagaimana nasib gaji pemain sepak bolanya. Lebih buruk lagi, para pemain tidak punya posisi tawar untuk menagih gaji, karena mereka hanya bisa main di klub lain pada musim berikutnya jika ada surat keterangan tidak terikat kontrak dari klub lamanya. Kalau ada pemain yang terus menagih, surat keluar dari klub bisa dihambat.

Saya kini memahami  kenapa Menpora  dan BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) begitu bersikeras untuk menegakkan aturan secara profesional. Kasihan para atlit bola tanah air. Bagaimana dengan perjudian? Sebuah pertanyaan yang lama saya simpan, terbersit. Fixing game, benarkah marak terjadi?

Syukurlah baru sedikit pemain yang  pernah mengalami, kecuali. "Kejadiannya sekitar tiga musim lalu. Kami dikumpulkan di satu ruangan. Pemilik klub dan beberapa orang berwajah asing memberikan arahan, berapa skor kami harus kalah. Lalu memberi tahu kode-kode yang harus dilakukan, serta bonus untuk pemain jika rencana tercapai."

Ah, match fixing ternyata bukan isapan jempol. Mursyid Effendi, pemain  Indonesia melakukan gol bunuh diri ketika melawan Thailand  tahun 1998 untuk mengindari tuan rumah Vietnam.

Musim lalu, di pertandingan babak delapan besar Divisi Utama antara PSS dan PSIS, laga berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan PSS, tapi kelima gol yang tercipta merupakan gol bunuh diri. Kedua tim berebut kalah untuk menghindari Borneo FC, di semifinal. Rumor yang kental dan dipercaya kedua tim saat itu, Borneo FC sudah diplot untuk naik ke ISL, jadi siapapun yang bertemu akan gagal di semifinal.

Dari kedua insiden memalukan tersebut, yang paling mendapat hukuman berat adalah pemain. Menanggapi sepak bola gajah 2014,  Mursyid Effendi berkomentar, "Gol bunuh diri apalagi sampai lebih dari satu biasanya sudah terencana. Ada aktor di balik itu. Sama dengan kasus saya di Piala Tiger. Saya yang dimatikan kariernya tetapi otak di balik skenario itu tidak pernah diadili dan dihukum," tegasnya.

Melihat fakta yang ada, saya mengurut dada. Inilah sebabnya kenapa begitu sulit  mencari 11 atlet  sepak bola  hebat dari 250 juta penduduk Indonesia. Sulit mendapatkan pemain dengan   motivasi kuat jika mereka tahu, kualitas bukan segalanya. Ada banyak pengaruh nonteknis yang memengaruhi hasil sepak bola di Indonesia.

Saya hanya bisa berdoa dan berharap, apa yang dilakukan Menpora bisa menjadi titik balik bagi kemajuan sepak bola di Indonesia. Semoga kondisi ini juga menjadi bahan evaluasi bagi  PSSI untuk menjadi organisasi yang mengedepankan profesionalitas dan prestasi, sehingga sepak bola Indonesia kelak  sanggup berbicara  di kancah internasional.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِفَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ ࣖ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

(QS. Al-Baqarah ayat 260)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement