Sabtu 12 Sep 2015 06:00 WIB

Negeri Tanpa Asap

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Di sebuah negeri hijau nan permai, seorang Perdana Menteri geram dengan bencana asap yang sedang melanda. Tidak hanya itu, ia juga malu karena asap meluas hingga negara tetangga. Dengan amanah kekuasaan yang dimiliki, ia menginginkan adanya solusi jitu untuk mengakhiri bencana asap yang terjadi hampir setiap tahun.

Sang PM  segera menggelar rapat khusus   bersama para pembantunya.

“Saya ingin, kita membuat   langkah nyata   untuk menangani masalah asap. Kita tidak boleh menyerahkan solusi  pada alam atau selalu menuding   alam sebagai penyebab.” Ujar Sang PM dengan rahang gemeretak  menahan amarah. Tidak seperti biasa pula ia membuka rapat sambil berdiri tegak.

“Kalau terjadi sekali, boleh kita sebut bencana. Tapi kalau setiap tahun,  maka  bukan bencana lagi namanya. Ini  tantangan yang harus diatasi!”

Pemimpin jutaan rakyat itu menghenyakkan tubuhnya ke kursi.

Pandangannya kini tertuju pada petinggi penegak hukum. “Saya dengar 80% asap berasal dari area perkebunan di bawah otoritas perusahaan. Apakah mungkin kita jerat perusahaan yang menjadi sumber utama kebakaran dalam delik hukum?”

Yang ditanya menjawab, “Siap Pak, nanti kami  periksa dan selidiki apakah ada unsur kelalaian. Selain itu juga akan kami lihat apakah ada tindakan pelanggaran hukum yang memicu seperti pembajakan liar atau pembakaran hutan dengan sengaja untuk penghematan biaya pembukaan lahan .”

“Bagus, jalankan!”

Giliran Sang PM melihat para menteri di bidang ekonomi. “Saya ingin menambah armada pesawat dan heli pemadam, akan tetapi saya juga mau perusahaan di area tersebut melakukannya. Apakah negara bisa mewajibkan ini kepada perusahaan perkebunan yang areanya kerap menimbulkan kebakaran?”

Salah seorang menteri merespons.

“Dengan bisnis bernilai triliunan tentu perusahaan sanggup. Kita bisa mewajibkan itu sebagai standar minimal keamanan area produksi. Perusahaan dengan lahan sekian ratus ribu hektar harus mempunyai heli atau pesawat pemadam sendiri.”

Menteri lain memberi usulan,

“Kerugian sosial atas bencana ini mencapai 2 triliun rupiah, Pak. Jadi kita juga  harus membuat peraturan yang membebankan perusahaan untuk mengganti biaya akibat asap. “

“Ok, siapkan perangkat hukumnya.” Tegas sang PM. Seperti teringat sesuatu beliau meluncurkan pertanyaan,

“Bagaimana dengan lingkungan hidup?”

“Sebenarnya, salah satu sebab kebakaran hutan terutama di daerah gambut adalah dibuatnya sungai baru untuk mengalirkan kayu—agar menghemat biaya transportasi. Sungai itu menghisap kandungan air di hutan gambut sehingga membuat kadar air makin berkurang, kering sampai ke bagian bawah. Perusahaan bermaksud menghemat anggaran dengan tidak membuat jalan, tapi mengakibatkan   kebakaran hutan yang nilainya triliunan setiap tahun,”

“Baik,  siapkan aturan untuk mengatasinya!"

Kali ini menteri kesehatan angkat bicara,

“Pak, dalam kasus kebakaran besar, seringkali rokok menjadi penyebab. Alangkah baiknya jika diterapkan larangan merokok di area perkebunan, sehingga jika terjadi kebakaran yang dipicu oleh rokok, maka perokok dan perusahaan perkebunan bisa langsung dipidanakan.”

“Bisa diterima. Segera realisasikan.”  Dukung  Sang Perdana Mentri.

Rapat terus bergulir. Setiap menteri berusaha memberikan masukan terbaik mereka. Berikutnya giliran menteri perhubungan menyampaikan ide. “Saat ini teknologi pesawat tanpa awak sudah tinggi dan mudah diakses. Saya sarankan setiap perkebunan diwajibkan memonitor area perkebunan secara luas termasuk mendeteksi panas sejak dini dengan pesawat drone tersebut.”

Sang Perdana Menteri mengangguk, lalu memandang Menteri Luar Negeri.

 “Tolong sampaikan maaf pada Negara tetangga. Dan katakan kita berjanji akan mengatasinya lebih baik dari sebelumnya. Tahun depan kita buktikan!"

"Baik, Pak." Jawab sang menteri. Jika program ini berhasil, tentu ia tak perlu lagi menyembunyikan muka ketika bertemu pemimpin negara tetangga yang selama ini menjadi korban ekspor asap yang tak dirindukan.

Di akhir rapat, sang Perdana Menteri menambahkan,

“Saya tekankan, selain pemerintah, perusahaan wajib bertanggung jawab atas wilayah mereka.   Masak mereka hanya mau mendapatkan untung dari wilayah hutan? Ketika ada musibah di areanya,  pemerintah juga yang harus bertanggung jawab. Benar kita semua ikut berperan menyelesaikan  masalah, tapi  kita juga harus menagih tanggung jawab mereka yang terkait, secara hukum dan finansial.”

Rapat berjalan efektif, dan menemukan solusi yang memungkinkan untuk membuat negeri hijau tersebut  terhindar dari bahaya asap. Sang Perdana Mentri tersenyum, sebab kini ia mulai melihat titik cerah. Diam-diam dia bertekad  tidak akan ada lagi bencana asap karena telah diantisipasi dengan matang, selama sisa masa jabatannya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement