Sabtu 10 Oct 2015 06:00 WIB

Asap di Ladang Bapak

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia

 

Sudah dua bulan lebih ladang milik Bapak terbakar. Bisa dibilang, memang  setiap kemarau datang,  ladang Bapak selalu mengalami kebakaran. Asap tebal menghitam menyebar ke mana-mana, hingga ke kampung sebelah dan mengganggu kesehatan dan aktivitas warganya.

Sekalipun ladang yang terbakar sebagian besar dalam status sedang disewa para kolega, kenyataannya, anak buah Bapaklah yang sibuk memadamkan api. Sedang  koleganya yang  rutin  menguras keuntungan dari ladang tersebut, mendadak menghilang entah  di mana setiap terjadi kebakaran

Padahal biaya sewanya murah. Sementara laba yang mereka dapatkan besar sekali. Tetap saja para penyewa hanya mengambil cara mudah  membuka lahan, tanpa memperhatikan aspek lingkungan. Salah satu akibatnya, api berkobar melantakkan hutan. Tapi seperti sebelumnya, pihak  terkait berlepas tangan. Ujung-ujungnya Bapak juga yang mengatasi. Sedangkan para kolega yang bertanggung jawab atas insiden itu, konon orang-orang sukses sekaligus punya nama besar.

Untunglah asap tidak pernah sampai menyentuh rumah. Jadi, sekalipun sedikit tertekan, Bapak bisa tidur pulas dan beraktivitas seperti biasa.

"Ladang  sudah  dua bulan kebakaran, kok, nggak beres-beres?" protes Ibu suatu hari.

"Sejak hari pertama anak buah dari kota sudah dikerahkan untuk memadamkan. Jangan anggap Bapak nggak kerja!"

"Iya, Ibu tahu, tapi orang kan menunggu hasilnya!"

"Lah, yang penting itu kerjanya, Bapak sudah maksimal, kok. Tuhan melihat apa yang kita kerjakan. Soal hasil, kan Dia yang menentukan."

Kilah Bapak tanpa rasa bersalah.

Di sela-sela pembicaraan, si bungsu yang masih duduk di Sekolah Menengah muncul.

"Pak, teman-temanku dari kampung sebelah  kirim salam. Kata mereka terima kasih, karena jasa asap Bapak, mereka diliburkan tanpa batas waktu."

Bapak melongo, bingung harus bangga atau malu.

Sementara anak keduanya yang masih kuliah, begitu muncul langsung berbicara panjang lebar.

"Kenapa, sih, Pak kita nggak dari kemarin-kemarin minta bantuan sama kampung sebelah. Mereka punya tangki air yang jauh lebih besar dan alat semprot yang lebih canggih. Jadi, masalah asap bisa segera selesai. Apalagi mereka bilang siap membantu!"

Mendengar usulan tersebut Bapak mendelik.

"Kamu mau mempermalukan Bapak?  Itu sama saja bilang Bapak tidak sanggup mengatasi hal sepele kayak gitu. Mau kamu keluarga kita dianggap lembek? Bapak masih bisa, kok, mengatasi, tidak usah minta bantuan. Sekalipun kampung tetangga  punya alat yang lebih hebat."

"Tapi ini sudah dua bulan lebih. Kita sudah terbukti tidak mampu. Korban sudah berjatuhan. Atau Bapak sewa saja, kalau malu minta bantuan. Bilang kita sewa, nanti dibayar. Yang penting api padam, asap hilang dulu!"

Bapak tampak manggut-manggut. Kalaupun sewa, uang sebenarnya ada, bahkan bisa gratis karena kampung sebelah memang berkali-kali menawarkan bantuan.

Di sisinya, sang anak terus menguraikan ide.

"Nanti semua biaya ditagih ke para penyewa atau kolega Bapak yang seharusnya bertanggung jawab!"

Bapak baru akan membuka mulut ketika telepon tiba-tiba berdering.

Dari ujung telepon terdengar suara tangis--membawa berita duka. Wajah Bapak spontan berubah pias. Cucu semata wayangnya, anak dari putra sulung yang tinggal di kampung sebelah, terkena infeksi saluran pernapasan akut, dan kini dirawat di rumah sakit. Bocah berusia lima tahun itu sedang berjuang antara hidup dan mati, semua gara-gara asap.

Meski dilanda kesedihan  Bapak masih tampak ragu. Hingga si bungsu memecah keheningan.

 "Apalagi yang ditunggu, Pak?" ujarnya sambil menyerahkan telepon. "Hubungi kepala desa sebelah. Tidak ada harga diri yang pantas dibayar dengan nyawa cucu bapak, atau siapapun."

Tapi Bapak belum beranjak dari kediaman. Ibu yang mulai terisak mendekat dan pelan-pelan bicara.

"Bukannya Ibu mau menggurui, tapi coba baca dua ayat ini, Pak."

Telunjuk ibu mengarah pada sebuah ayat dalam Al-Qur’an.

 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41)

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuro: 30)

Mungkin memang Bapak belum maksimal, pikirnya. Mungkin sesuatu yang cukup baik tetap harus ditingkatkan menjadi lebih baik, apalagi dalam situasi darurat. Kabut masih menyelimuti pikiran Bapak ketika sekonyong-konyong angin berubah arah.

Asap dari kampung sebelah berbondong-bondong menuju rumah Bapak. Laki-laki itu merasa matanya mendadak perih, sementara kerongkongan gatal hingga dia terbatuk-batuk parah. Asap terus bergerak, menebal, mengunci pandangan Bapak juga Ibu.

Tangan laki-laki setengah baya itu meraba-raba mencari telepon yang belum lama diletakkan di meja.Kali ini tak ada keraguan, tanpa menunda apa pun,  ia  menelepon semua orang.

"Halo, apakah bisa kampung Saudara membantu saya...."

"Halo, bisa disediakan oksigen dan masker...."

"Halo, tolong segera dicairkan dana untuk atasi asap...."

"Halo, ya, semua penyewa tidak tanggung jawab akan saya tuntut...."

"Halo....?"

Di sela kepanikan Bapak dan asap yang memenuhi rumah, Ibu dan anak-anak saling pandang.

Bapak... Bapak..... Giliran diri yang terkena asap, baru berpikir mengatasi secepat mungkin dengan segala sumber daya yang ada. Padahal seharusnya seseorang tidak harus menjadi korban dulu untuk sungguh-sungguh peduli pada penderitaan sesama.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement