Ahad 22 Nov 2015 06:00 WIB

Paris dan Da'wah Damai

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Pertama kali berkunjung ke Brussel, enam tahun lalu bersama suami, koper kecil kami hampir dilarikan seorang Muslim keturunan Afrika Utara, tepat di depan Manneken Pis yang menjadi salah satu  ikon kota.

Saya mengetahui latar belakang pelaku karena sebelum beraksi ia mengucapkan salam dan memperkenalkan diri. Lalu berjabat tangan dan berusaha memeluk suami sebagai ikatan persaudaraan. Ternyata itu langkah awal untuk mengambil kamera di saku suami--setelah gagal, ia memutuskan mencuri koper.

Namun bulan lalu ketika kami singgah kembali ke ibu kota Belgia tersebut, kondisi tampak berubah. Sekalipun di kereta, begitu masuk perbatasan Belgia dari Belanda, berulang kali terdengar peringatan untuk waspada terhadap para pencopet. Kenyataannya dua hari satu malam di Brussel, saya tidak menemukan kasus pencopetan. Padahal enam tahun sebelumnya, hanya singgah 4 jam saja kami dua kali hampir menjadi korban.

Perbedaan lain yang mencolok, saya menemukan banyak muslim asal Afrika Utara yang memiliki kios sendiri, atau setidaknya bekerja di toko suvenir atau restoran. Mereka sudah mempunyai kehidupan lebih mapan. Alhamdulillah. Bahkan dari salah satu toko terdengar lantunan murotal Alquran yang sangat merdu. Menggerakkan saya untuk masuk ke toko yang  ternyata milik seorang muslim dari India.

Selain melihat-lihat, saya dan suami berbincang tentang banyak hal. Termasuk perkembangan komunitas muslim di tengah penduduk setempat. Merespons pertanyaan saya, sang pemilik toko menjawab, "Pada dasarnya, masyarakat Belgia sangat terbuka terhadap muslim. Mereka tidak mempermasalahkan keberadaan kami. Akan tetapi sejak aksi teror yang terjadi di kantor pusat Charlie Hebdo di Paris, beberapa orang mulai takut mendekati muslim."

"Apakah reaksi masyarakat serupa dengan ketika  WTC dulu diserang pada 11 September?”

Pemilik toko yang saya tanya terdiam sejenak sebelum mengutarakan jawaban.

"Waktu insiden WTC mereka shock sebentar, lalu kembali normal seperti biasa. Tapi setelah   insiden Charlie Hebdo, mereka lebih waspada dan sangat kentara menjaga jarak."

Ada nada prihatin mendalam.  Mungkin mengingat betapa sulit posisinya sebagai Muslim sejak peristiwa tersebut. Sebelum kami berpisah, ia menutup pembicaraan dengan sebuah pernyataan yang membekas kuat. "Da'wah Islam mundur beberapa puluh tahun akibat peristiwa itu. Interaksi kami tidak sehangat dulu."

Puluhan tahun muslim di Eropa berusaha memperkenalkan Islam yang damai, sejuk, serta menjadi jawaban bagi banyak hal, namun  dirusak oleh segelintir orang yang meyakini bahwa kekerasan adalah solusi.

Kelang beberapa pekan setelah perbincangan, dunia dikejutkan dengan aksi teror yang jauh lebih luas dan memilukan di Paris. Serangan terpisah terjadi serentak di kafe, stadion, dan gedung konser. Korban yang jatuh mencapai lebih dari 129 jiwa. Sumber lain menyebutkan 153 orang.

Sebuah tragedi kemanusiaan yang sewajarnya menimbulkan rasa duka. Duka seperti juga terhadap apa yang dialami masyarakat Libanon dalam waktu hampir bersamaan. Juga atas peristiwa berdarah  yang menjadi keseharian di  Palestina.

Setelah Paris Attack, saya membayangkan betapa lebih sulitnya kini membangun kepercayaan terhadap umat Islam di negeri-negeri di mana Islam merupakan minoritas. Betapa lebih beratnya jalan yang harus dilalui para pengemban da'wah di Eropa. Padahal titik cerah perjuangan Islam mulai membaik di benua tersebut. 

Ketika Charlie Hebdo di Paris diserang dan menewaskan 12 orang, penduduk lokal masih menggelar aksi bahwa Islam bukan teroris. Apalagi salah satu korbannya seorang polisi muslim yang berusaha menghalau pelaku teror. Tapi kini, kepercayaan  ternodai lagi. Teror yang terjadi menumbuhsuburkan sikap rasis yang oleh sebagian orang, termasuk non- Muslim di beberapa negara, -coba dinetralisir.

Tahun lalu, anggota parlemen Eropa menyatakan dukungan untuk pengakuan negara Palestina. Israel mengecam keputusan tersebut. Sebelumnya parlemen Perancis, Swedia, Italia, Spanyol, Irlandia, dan lainnya menyatakan dukungan untuk pengakuan negara Palestina. Bahkan dibanding bangsa lain, negara-negara di Eropa lebih terbuka menerima pengungsi Suriah. Kini, apakah mereka akan tetap bersemangat dan memiliki kepedulian terhadap  Islam?

Yang jelas setelah peristiwa ini, Eropa memutuskan lebih berhati-hati menangani pengungsi. Sehingga nasib mereka terancam terlunta-lunta.

Da'wah dengan kekerasan di daerah damai bukan ajaran Rasulullah. Karena pendekatan kekerasan akan merusak tatanan da'wah damai yang sudah dibangun puluhan tahun. Sebuah riset sebelumnya memperkirakan pada 2050, Eropa akan menjadi benua yang penuh dengan umat Islam. Jumlah 52 juta muslim di Eropa saat ini diperkirakan berlipat ganda pada 24 tahun mendatang. Sejak 1990, diprediksi 90% dari pertumbuhan penduduk adalah muslim. Ketika mayoritas masyarakat lokal menunda-nunda pernikahan dan banyak yang tidak mau mempunyai keturunan, kaum muslimin justru memperbanyak generasi penerus mereka. 

Tapi apakah ini akan menjadi kenyataan jika kekerasan atas nama agama terus berlangsung, sehingga membuat fobia terhadap Islam semakin menjadi? Islam adalah rahmatan lil alamin, dan Muslim serta Muslimah seharusnya menjadi penebar rahmat, hanya kebaikan -bukan kengerian-  bagi semesta.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement