Senin 30 Nov 2015 06:00 WIB

Suriah Jadi Medan Konflik Segala Bangsa

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Kawasan Timur Tengah makin membara. Apalagi, setelah Turki menembak jatuh jet tempur Rusia, Su-24, ketika terbang di atas perbatasan Turki-Suriah pada Selasa (24/11) lalu, beberapa media di Timur Tengah pun mulai membicarakan kemungkinan Perang Dunia III. Bila perang ini betul terjadi tentu yang saling berhadapan bukan hanya Turki dan Rusia, melainkan juga melibatkan segala bangsa.

Tanda ke arah perang itu mulai tampak ketika terjadi perang pernyataan antara pemimpin Turki dan Rusia. Masing-masing menuduh lawannya sebagai pendukung teroris.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengaku merasa ditusuk dari belakang oleh Turki.  Bahkan, ia menyebut serangan Turki terhadap Su-24 sebagai bentuk dukungan kepada teroris. "Insiden ini menentang perlawanan terhadap terorisme,’’ ujarnya. "Pasukan kami bertempur habis-habisan melawan teroris dan bertaruh nyawa. Namun, kerugian yang kami derita hari ini sebagai akibat tusukan dari belakang oleh kaki tangan teroris (Turki).”

Menurut Putin, pihaknya telah lama mengetahui minyak digelontorkan dari Suriah menuju Turki dengan diawasi teroris. Uang hasil penjualan minyak itu dipakai untuk membiayai aksi kelompok teroris. "Fakta bahwa Turki tidak langsung menghubungi Rusia sesaat setelah penembakan itu dan malah meminta NATO menggelar rapat adalah sesuatu yang mencemaskan. Tampaknya, Turki menginginkan NATO melayani kepentingan ISIS.’’

Pernyataan Putin ini pun langsung dibantah keras Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan. Dalam pidato di depan para pendukungnya, Erdogan menegaskan, negaranya selama ini membeli minyak dan gas dari sumber-sumber yang jelas. Ia pun menantang pihak-pihak yang menuduh Turki membeli minyak dari ISIS agar membuktikannya. Menurutnya, justru rezim Presiden Bashar Assad yang didukung Rusia yang selama ini membeli minyak ISIS.

Erdogan menyebut ISIS bisa eksis lantaran ada skenerio dan konspirasi dunia. Tujuannya, agar ada alasan untuk meningkatkan Islamofobia atau anti-Islam di seluruh dunia. Dengan demikian, katanya, ada alasan untuk mengacak-acak geopolitik di kawasan Timur Tengah dengan memanfaatkan keberadaan ISIS. 

Ia menyatakan, hanya Turki yang selama ini paling getol memerangi ISIS. Ia merasa heran ketika ada pihak-pihak, terutama Rusia, yang menuduh Turki telah mendukung kelompok teroris. Erdogan mengingatkan 140 warga Turki telah tewas menjadi korban bom bunuh diri oleh kaki tangan ISIS. Hingga kini, katanya, Turki telah mencegat 27 ribu warga asing yang ingin menyeberangi perbatasan Turki-Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Dengan alasan itu, Erdogan menolak keras tuntutan Putin agar ia minta maaf atas serangan terhadap pesawat jet Rusia Su-24. Justru, katanya, pihak Rusia yang harus meminta maaf karena telah mengancam dan melanggar wilayah udara Turki.

Perang kata-kata antara dua pemimpin Turki dan Rusia diperkirakan belum akan berhenti. Belum jelas bagaimana akhir dari drama ‘konflik’ Turki-Rusia ini. Namun, yang tidak bisa dibantah peristiwa ini telah menambah panas kawasan Timur Tengah yang memang sudah panas.

Apalagi, tragedi ini merupakan yang pertama sejak akhir 1950-an, ketika sebuah negara anggota NATO menjatuhkan pesawat tempur Uni Sovyet. Peristiwa yang kemudian menjadi salah satu sebab munculnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.

Turki merupakan anggota NATO (North Atlantic Treaty Organization). Para negara anggota organisasi ini-- 28 negara --mempunyai perjanjian untuk menjaga keamanan bersama. Artinya, bila Turki diserang Rusia, anggota NATO lain akan membelanya. Hal inilah yang juga telah disampaikan Presiden Barack Obama. Presiden AS ini mengatakan, Turki mempunyai hak untuk menjaga wilayah udara dan perbatasannya.

Sejak muncul krisis di Suriah pada 2011, negara-negara angota NATO pada umumnya mendukung sikap negara-negara Arab moderat, terutama negara-negara Teluk. Yakni, untuk mengakhiri krisis adalah dengan melengserkan Presiden Bashar Assad. Karena itu, mereka kemudian membantu kelompok-kelompok oposisi, baik politik maupun militer.

Di lain pihak, Rusia--bersama Cina--justru mendukung Presiden Assad, dalam rangka perebutan pengaruh di Timur Tengah yang selama ini didominasi Barat. Dari sini, terjadilah apa yang dinamakan dukungan terhadap poros Syiah: Suriah (Bashar Assad)-Iran-Irak-Hizbullah Lebanon.

Boleh dikata, Presiden Assad bisa tetap berkuasa hingga sekarang ini lantaran dukungan poros ini. Sementara itu, negara-negara moderat Arab yang umumnya menganut Suni khawatir dengan semakin membesarnya pengaruh Syiah di Timur Tengah.

Konflik berkepanjangan antara rezim Presiden Assad dan kelompok-kelompok oposisi--masing-masing didukung kekuatan negara-negara asing--yang kemudian memunculkan kelompok radikal yang menamakan diri sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah alias ISIS. Pada awalnya, ISIS muncul di Irak. Dalam waktu yang relatif singkat mereka berhasil merekrut puluhan ribu ‘tentara’ dari berbagai bangsa. Setelah kuat di Irak, mereka pun masuk ke Suriah, memanfaatkan konflik antara rezim Bashar Assad dan oposisi.

Pada awalnya, keberadaan ISIS tampak dibiarkan. Bahkan, mereka dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang bertikai, untuk memperlemah lawan-lawannya. Hal inilah yang kemudian mempercepat perkembangan ISIS di Suriah. Wilayah-wilayah yang telah berhasil mereka kuasai kemudian mereka gabungkan dengan Irak maka jadilah sebuah negara yang bernama ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Sebanyak 60 persen wilayah Suriah dan 40 persen di Irak kini telah dikuasai ISIS.

Keberadaan ISIS ternyata lebih mengerikan daripada konflik Rezim Assad dengan oposisi. Mereka menghalalkan segala cara. Untuk membuat ngeri dan kederlawan-lawannya, mereka pun rela menculik, membunuh, membakar hidup-hidup, serta tindakan keji dan biadab lainnya. Bahkan, mereka juga telah melakukan bom bunuh diri di berbagai negara: Arab Saudi, Tunisia, Mesir, Yaman, Turki, dan yang terakhir mereka lakukan terhadap Paris. Berbagai tindakan teror inilah yang kemudian membuat marah dunia internasional kepada ISIS.

Namun, yang mengherankan bagi Turki adalah ketika Rusia mulai intervensi militer terhadap Suriah, yang mereka serang justru basis-basis kelompok oposisi. Misalnya, serangan terhadap wilayah Turkmenistan, Suriah, yang menjadi salah satu pusat perlawanan terhadap rezim Assad. Bagi Rusia, tampaknya kelompok perlawanan terhadap rezim Presiden Assad pun dianggap sebagai teroris.

Sehari sebelum penembakan terhadap pesawat jet tempur Rusia Su-24, Turki telah meminta agar Rusia menghentikan serangan terhadap wilayah Turkmenistan. Bahkan, Turki juga telah meminta PBB untuk bersidang membahas serangan ke wilayah itu yang korbannya kebanyakan masyarakat sipil. Rusia baru ikut menyerang basis-basis ISIS ketika pesawat penumpangnya dipasang bom oleh kelompok radikal itu dan meledak di atas udara Sinai, Mesir.

Kini, konflik di Suriah pun semakin rumit. Tidak jelas ujung pangkalnya serta melibatkan banyak negara. Yang paling diuntungkan tentu saja ISIS. Sebab, semua kelompok radikal dan teroris akan tumbuh subur di wilayah-wilayah konflik. Sebaliknya, yang justru paling menderita adalah rakyat Suriah. Puluhan ribu warga Suriah telah tewas, jutaan mengungsi, dan jutaan lainnya menjadi imigran dan hidup terlunta-lunta di sejumlah negara Eropa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement