Selasa 01 Dec 2015 06:00 WIB

Malapetaka di Dunia Arab (II)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Tidak diragukan lagi, dua imperium Muslim yang bersaingan itu telah menoreh sejarah peradaban yang sangat tinggi, jika parameter yang digunakan adalah dimensi duniawi, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Namun, sekali digumulkan dengan perintah Alquran tetang konsep persaudaraan manusia beriman dalam politik kekuasaan, maka Anda akan sia-sia saja menemukannya.

Politik kekuasaanlah sebagai penyebab utama mengapa dunia Islam, khususnya dunia Arab, berkali-kali mengalami pukulan sejarah yang menghancurkan, tapi mereka tidak juga siuman. Tidak banyak berbeda dengan peradaban-peradaban lain yang pernah dikenal manusia, peradaban Arab Muslim juga dibangun di atas tengkorak saudaranya sendiri. Kita tidak boleh melupakan fakta hitam ini.

Sekarang kita melompat ke era Perang Salib atau al-hurub al-shalibiyah (1096-1517) dan penyerbuan pasukan barbar Mongol ke Baghdad pada 1258. Perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad itu adalah perang antara Eropa Kristen dan dunia Arab Muslim.

Pada Perang Salib ke-3 dalam pertempuran dahsyat di Hattin pada 1187, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dari suku Kurdi berhasil mengalahkan pasukan Salib dengan merebut kembali Yerusalem dari tangan Kristen yang dirampasnya pada 1099, setelah jenderal legendaris ini berhasil mempersatukan Mesir dan Suriah. Dalam rahim Perang Salib inilah Baghdad dihancurkan pasukan Mongol pimpinan Hulagu yang ganas dan biadab itu. Bisa dibayangkan energi tempur dunia Arab Muslim sedang disita oleh Perang Salib, datang pula pasukan Mongol yang kemudian membenamkan imperium 'Abbasiyah yang renta untuk selama-lamanya.

Apakah Arab Muslim pandai dan mau belajar dari malapetaka sejarah ini? Jawabannya sampai hari ini nyaris negatif. Dalam hal itu, suku Kurdi yang melahirkan Shalahuddin tidak pula bisa menyatu dengan komunitas Arab ataupun Turki. Pertanyaan saya adalah di mana Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk menguburkan "berhala" suku masing-masing dan membangun persaudaraan umat beriman di atas landasan tauhid yang sejati?

Komunitas Arab dan Turki pada saat yang sama juga memandang suku Kurdi sebagai tidak setara. Lagi-lagi, mengapa mentalitas kesukuan ini tetap saja dipelihara dengan mengorbankan perintah Alquran yang terang benderang? Masihkah kita beragama saat berurusan dengan kekuasaan?

Dengan fakta ini, semangat kesukuan yang dulu oleh Nabi telah dilebur menjadi semangat persaudaraan yang luhur, kemudian mengapa warisan Nabi itu telah dibuang jauh ke dalam limbo sejarah? Atau dikubur ke bawah abu pergantian musim yang sering membawa malapetaka?

Saya khawatir bahwa yang sering berlaku dalam sejarah Muslim adalah ujung ayat 72 surah al-Ahzab, "Sesungguhnya ia [si Muslim itu] zalim dan bahlul." Sulit sekali belajar dari kelampauan sejarahnya. Jika memang itu yang berlaku, sesungguhnya lebih baik wahyu itu dicampakkan sama sekali. Untuk apa berpura-pura percaya kepada wahyu sementara kelakuan politik kita mengkhianati nilai-nilai luhur itu semua?

Dalam bacaan saya yang terbatas, tanpa adanya kesediaan umat Islam untuk keluar dari kotak-kotak Arab yang telah menguasai pemikiran Muslim sejagat selama berabad-abad, maka apa yang sering dikatakan sebagai kebangkitan Islam hanya akan berujung dengan sebuah ilusi sejarah yang meninabobokkan. Oleh sebab itu, perlu dibangun sebuah Islam yang relatif bebas dari beban sejarah yang sangat melelahkan.

Malapetaka demi malapetaka yang telah dan sedang menimpa peradaban Arab Muslim semestinya menginsafkan kita semua untuk berpikir sangat kritikal dalam menilai warisan Islam yang bercorak serba-Arab yang masih saja menjadi kiblat sebagian kita.

Dengan menyebut Arab, tidak berarti Islam dalam jubah Iran akan lebih baik untuk ditiru. Perilaku politik Iran yang eksklusif bukanlah sebuah obat penyembuh dari penyakit parah yang sedang menggeluti dunia Islam. Perebutan hegemoni antara Saudi dan Iran adalah warisan gelap sejarah masa silam mereka.

Akhirnya, penghancuran Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, dan Yaman oleh pasukan gabungan, baik antara Arab maupun Barat, atau antara Arab sesama Arab dalam kasus Yaman, adalah simbol nyata dari suasana mental Arab yang kacau dan kehilangan perspektif masa depan. Amat memprihatinkan kita semua karena mereka adalah saudara seagama kita yang semestinya punya keawasan sejarah yang tajam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement