REPUBLIKA.CO.ID, Suriah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kekhalifahan Daulah Umayyah kini benar-benar di ambang kehancuran. Mari kita simak fakta berikut. Lebih dari 250 ribu penduduknya telah tewas akibat perang sipil yang telah berlangsung sejak Maret 2011.
Perang ini terinspirasi oleh revolusi Arab Spring. Yakni, munculnya perlawanan rakyat untuk menggulingkan para penguasa diktator-otoriter. Sejumlah penguasa telah tumbang menjadi korban revolusi rakyat ini. Mereka, antara lain, Zainal Abidin bin Ali (presiden Tunisia), Husni Mubarak (presiden Mesir), Ali Abdullah Saleh (presiden Yaman), dan Muamar Qadafi (pemimpin Libia).
Di Suriah, Presiden Bashar Assad hingga sekarang masih bisa bertahan. Namun, rakyatlah yang menjadi korban. Selain korban tewas tadi, kini terdapat sekitar 11 juta warga telantar akibat konflik yang telah berjalan hampir lima tahun itu. Dari jumlah ini, kurang lebih lima juta warga menjadi pengungsi di luar negeri. Perinciannya, sebanyak 1,8 juta jiwa mengungsi di Turki, 1,2 juta orang di Lebanon, 629 ribu di Yordania, dan selebihnya bermigrasi ke beberapa negara Arab dan daratan Eropa. Separuh dari para pengungsi ini adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Sedangkan, enam juta warga lainnya, yang oleh Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) disebut sebagai "terlantar", terjebak di beberapa wilayah di Suriah. Mereka ini terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya dan hidup di berbagai penampungan tanpa fasilitas kehidupan yang memadai. Tidak ada makanan, tanpa air bersih, dan berteduh di tenda-tenda seadanya, sementara bahaya bom dan peluru nyasar terus mengancam kehidupan mereka. Sedangkan, bantuan kemanusiaan sangat sulit untuk bisa sampai kepada mereka.
Dengan kata lain, separuh dari warga Suriah--berjumlah 22,5 juta jiwa sebelum konflik lima tahun lalu--kini telah telantar, seperempatnya menjadi pengungsi, dan 2,5 juta putus sekolah, selain ratusan ribu yang tewas.
Lalu, di mana fungsi negara yang seharusnya hadir untuk melindungi segenap warga negara? Seperti disebutkan di atas, hingga kini rezim Bashar Assad memang masih bertahan. Namun, ia sebenarnya hanyalah boneka dari berbagai kekuatan atau kepentingan beberapa negara lain. Wilayah negaranya pun kini sudah dikaveling. Rezim Assad hanya menguasai 40 persen dari wilayah Suriah yang luas totalnya 185.180 km persegi.
Sedangkan wilayah lainnya, seluas 40 persen dikuasai kelompok teroris yang menamakan diri sebagai Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS. Bahkan, yang terakhir ini telah menjadikan Raqqa (ar-Raqqah), kota terbesar keenam di Suriah, sebagai ibu kota atau pusat pemerintahan mereka.
Dengan kata lain, di Suriah kini terdapat dua pusat pemerintahan. Damaskus sebagai pusat pemerintahan Presiden Assad dan Raqqa sebagai ibu kota ISIS. Sementara wilayah sisanya, sekitar 20 persen, kini dikuasai oleh kelompok-kelompok oposisi Suriah--yang tergabung dalam Koalisi Nasional Suriah--dan milisi-milisi radikal lainnya, seperti Alqaidah dan Jabhatu an-Nasrah.
Dengan wilayah negara yang tercabik-cabik seperti itu, posisi rezim Bashar Assad tentu sangat lemah. Ia bisa saja bernasib sama dengan para penguasa diktator-otoriter Arab lainnya. Ia hingga kini bisa bertahan lantaran didukung oleh Iran dan Rusia.
Namun, dua negara ini mempunyai kepentingan berbeda. Iran berkepentingan dengan jalur Syiahnya--Iran-Irak-Suriah-Lebanon (Hizbullah). Seperti diketahui, elite rezim Bashar Assad menganut Syiah, sementara mayoritas rakyat Suriah adalah Suni. Sedangkan, Rusia ingin "memelihara" rezim Bashar Assad karena inilah satu-satunya jalan bagi Presiden Vladimir Putin untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Timur Tengah. Selama ini mayoritas negara-negara Arab "berkiblat" ke Barat.
Pada awalnya, keterlibatan Iran dan Rusia mendapatkan sambutan positif dari masyarakat dunia, utamanya negara-negara Arab dan Barat, ketika mereka menyatakan tekad melawan ISIS. Namun, saat mereka juga menyasar basis-basis perlawanan kelompok oposisi dan masyarakat sipil, berbagai kritik pun dialamatkan kepada mereka. Yaitu bahwa keterlibatan Rusia dan Iran hanyalah untuk mempertahankan kekuasaan Bashar Assad.
Di lain pihak, Turki--yang mempunyai perbatasan paling panjang dengan Suriah dibandingkan negara-negara tetangga lainnya--tentu berkepentingan dengan Suriah. Sejak awal krisis/konflik di Suriah, Turki mendukung kelompok-kelompok oposisi Suni untuk menjatuhkan rezim Bashar Assad. Apalagi, ISIS yang berbasis di Raqqa, Suriah, juga terus melancarkan pengeboman di wilayah Turki yang menewaskan puluhan orang. Selain itu, kelompok Kurdi di Suriah pun menjadi persolan tersendiri bagi Turki. Selama ini, kelompok Kurdi Suriah terus membantu dan mendukung tuntutan masyarakat Kurdi di Turki untuk memerdekakan diri.
Selain Turki, terdapat negara-negara lain yang juga menginginkan rezim Bashar Assad mundur sebagai syarat untuk menyelesaikan konflik di Suriah. Mereka, antara lain, sebagian besar negara-negara Arab, terutama yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk yang dipimpin oleh Arab Saudi. Negara-negara Arab ini juga telah bergabung dengan koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat (AS) untuk menyerang ISIS.
Namun, koalisi yang selama ini hanya mengandalkan serangan udara, ternyata tidak efektif untuk menghancurkan basis-basis kekuatan ISIS. Terbukti sejak terbentuk koalisi internasional, ISIS tidak bertambah lemah. Bahkan, mereka justru berani menyerang berbagai sasaran di negara-negara yang mereka anggap sebagai musuh, seperti serangan bom di Saudi, Prancis, dan AS.
Di samping itu, negara-negara Arab, seperti Saudi, melihat bahwa tidak ada peran Arab yang signifikan dalam penyelesain konflik di Suriah, kecuali dukungan finansial kepada kelompok-kelompok oposisi. Yang justru "bermain" adalah Iran, Turki, dan Rusia. Karena itu, dalam pandangan Saudi, mereka harus ikut bermain dalam percaturan politik di Suriah dengan ikut mengirimkam pasukan darat yang tergabung dalam koalisi internasional. Bila tidak, Suriah pada masa yang akan datang bisa saja hilang dari peta dunia Arab. Apalagi, Saudi menganggap dirinya sebagai penjaga Islam Suni.
Namun, untuk mengirim pasukan darat tentu tidak boleh sembarangan. Ia tentu harus ada payung hukumnya. Dalam hal ini, Saudi tentu tidak bisa berharap, seperti Iran dan Rusia, yang datang ke Suriah atas permintaan Presiden Bashar Assad. Yang bisa mereka lakukan adalah dengan bergabung dengan koalisi internasional yang direstui Dewan Keamanan PBB, seperti telah mereka lakukan ketika menyerang al-Khauthi di Yaman.
Bagi Saudi, dan juga negara lainnya, ISIS sangat membahayakan. Mereka kelompok teroris. Dan, teror itu telah mereka lakukan terhadap sejumlah sasaran di Arab Saudi sendiri.
Pertanyaannya, bagaimana akhir dari konflik di Suriah yang kini melibatkan berbagai kekuatan asing dan masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri itu? ISIS mungkin bisa dihancurkan dengan serangan darat koalisi internasional itu. Namun, bagaimana dengan rezim Bashar Assad? Bagaimana dengan kelompok-kelompok oposisi?
Sepanjang konflik tidak terselesaikan dengan baik, yang akan menjadi korban adalah rakyat Suriah. Lalu, berapa juta lagi rakyat negara itu yang harus menjadi korban; yang meninggal, mengungsi, meninggalkan rumahnya, dan yang telantar tidak jelas masa depannya?