REPUBLIKA.CO.ID, Wasta, istilah populer di dunia Arab atau Timur Tengah umumnya. Memiliki akar kata bahasa Arab yang berarti tengah atau medium, istilah wasta lazim digunakan untuk menyebut praktik perantara atau pialang atau koneksi yang membantu orang yang tengah melamar pekerjaan; atau sedang mengurus perizinan atau mendapat pelayanan dari pemerintah atau perusahaan swasta (Resonansi, 24/3/16).
Apa hubungan antara wasta dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)? Kaitannya tak lain karena wasit alias mediator, perantara, pialang, atau koneksi dalam upaya memfasilitasi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan dan fasilitas dari pemerintah dan kekuasaan tidak jarang menggunakan uang, sogok, dan gratifikasi. Karena itu, meski praktik wasta dapat dipandang sebagai bentuk 'tolong-menolong' di antara wasit dengan orang sesama karib kerabat, kabilah, suku, atau bahkan sesama alumni dari lembaga pendidikan tertentu, terbukti turut menumbuhsuburkan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Korupsi umumnya didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang diamanahkan untuk kepentingan sendiri dan kelompok. Mengingat koneksi yang digunakan guna mendapat keuntungan dari pelayanan yang diberikan, wasta dalam pengertian Barat tidak lain adalah KKN. Walaupun dalam masyarakat Muslim Timur Tengah dan juga di Indonesia secara tradisional disebut sebagai tolong-menolong, yang dianggap alamiah saja dilakukan.
Praktik tolong-menolong tanpa melibatkan uang, hadiah, atau gratifikasi oleh sebagian ahli disebut sebagai wasta positif. Termasuk pula di antara wasta positif, misalnya, bila seorang profesor merekomendasikan mahasiswanya yang istimewa dalam aplikasi kuliah lanjutan atau melamar pekerjaan. Jadi, wasta positif menjadi semacam jaminan tentang kualitas orang yang direkomendasikan.
Namun, wasta positif bisa berubah jadi negatif jika orang yang direkomendasikan tidak atau kurang memiliki kapasitas; inilah yang disebut wasta negatif. Praktik wasta negatif lazimnya merajalela dalam dunia kerja, baik dalam pemerintahan maupun swasta. Sering orang mendapat promosi jabatan dan posisi tertentu karena lobi wasit atau mediator; bukan karena keunggulan kapasitasnya. Praktik ini tak lain adalah KKN.
Beberapa tulisan dalam buku suntingan Mohamed A Ramady, The Political Economy of Wasta; The Use and Abuse of Social Capital Networking (London & New York: Springer, 2016) mengungkapkan tentang meluasnya praktik wasta, dalam hal ini wasta negatif, di dunia Arab. Wasta disebut sebagai praktik endemik yang berakar kuat dalam pemahaman kultural utama masyarakat Arab dan Islam.
Meski belum ada kajian komprehensif sejauh ini, praktik wasta tampaknya juga lazim di kalangan kaum Muslim Indonesia. Bukan rahasia lagi, praktik kepialangan atau mediasi yang tercakup dalam KKN merupakan hal biasa di dalam lingkungan birokrasi pemerintahan atau swasta. Upaya pemberantasan KKN tampaknya belum banyak berhasil memberantas praktik wasta di Indonesia.
Berlanjutnya praktik wasta, baik di dunia Arab maupun di Indonesia, terkait dengan kenyataan, intermediasi (wasithah) masih merupakan mekanisme utama bagi alokasi sumber daya pada institusi publik. Dengan begitu, intermediasi membuat kompetisi yang adil dan meritokrasi tidak bisa menguat.
Dalam keadaan seperti ini, masyarakat-masyarakat Muslim Timur Tengah dan Indonesia terus berada dalam transisi antara pola budaya tradisional, seperti wasta, dan modernitas, baik dalam kehidupan pemerintahan maupun swasta. Akibatnya, penyelenggaraan pemerintahan dan dunia usaha mengalami distorsi; segala sesuatunya menjadi mahal, khususnya dalam dunia usaha terjadilah apa yang disebut sebagai high-cost economy—ekonomi biaya tinggi.
Fenomena terakhir ini membuat pertumbuhan ekonomi—dan selanjutnya kesejahteraan rakyat—tidak bisa terwujud. Distorsi akibat wasta negatif mengakibatkan ekonomi tidak bisa berkembang baik; tetap terkebelakang.
Mengingat wasta (negatif) merupakan praktik lazim di dunia Arab dan juga Indonesia, wajar jika muncul pertanyaan tentang peran Islam. Islam jelas melarang praktik KKN, termasuk wasta negatif. Kaum Muslim mengetahui tentang ajaran ini. Masalahnya kemudian, mengapa mereka masih saja mempraktikkan wasta negatif dan berbagai bentuk tindakan KKN lain.
Hal ini tidak lain karena adanya keterbelahan pribadi (split personality); mereka beriman dan berislam, tetapi tidak menerapkan Islam secara komprehensif dan kafah. Beriman dan berislam hanya di masjid; tapi tidak di kantor atau di pasar.
Menapa sampai demikian? Tak lain karena kuatnya motif pragmatis dan oportunistik untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan, dan kekayaan. Sudah saatnya kaum Muslimin kembali kepada keimanan dan keislaman holistis sehingga dapat menjauhkan diri dari praktik menyimpang, seperti wasta negatif dan berbagai bentuk KKN lain.