REPUBLIKA.CO.ID, Seorang ibu menyampaikan keluhan setelah anaknya selesai mengerjakan ujian nasional (UN). Pasalnya, sang anak yang sudah bekerja keras dengan belajar serius untuk menghadapi UN tiba-tiba mendapatkan kabar tersebarnya bocoran jawaban di kalangan siswa/siswi dan membuat mereka yang santai-santai saja, tidak peduli dengan ujian, juga bisa mendapatkan nilai bagus--dengan cara murahan dan tidak terpuji.
Ibu ini tidak sendiri. Di banyak daerah terjadi fenomena kebocoran serupa. Di media sebagaimana tahun-tahun sebelumnya pun diwarnai berita kasus kebocoran jawaban UN. Sebenarnya, jika yang tersebar hanyalah kunci jawaban ujian, mungkin tidak perlu terlalu dikhawatirkan sebab akurasi kebenarannya lemah.
Siapa saja bisa dengan mudah membuat kunci jawaban dengan imajinasi--seolah-olah itu valid--entah untuk penipuan, mencari uang, atau sekadar memancing keresahan. Belum lagi, kunci jawaban yang ada--kalaupun benar--belum tentu sesuai dengan masing-masing wilayah karena soal UN tidak sama.
Jika saja peserta UN sadar, tidak akan ada yang memanfaatkan kunci jawaban. Hanya siswa yang frustrasi dan tidak berpikir jernih yang mau memercayai jawaban yang tidak jelas soal-soalnya. Mungkin hal ini juga harus ditanamkan pada setiap siswa bahwa mengisi 'lembar' jawaban dengan bocoran berisiko sangat tinggi tidak hanya secara hukum, tapi juga akademik.
Merujuk pernyataan mendikbud, dari bocoran yang tersebar, kebenarannya hanya 10-20 persen. Secara sederhana, berarti jika siswa mengikuti kunci jawaban yang salah, bisa jadi nilai yang diperoleh hanya satu atau dua.
Masalah besar yang harus dikhawatirkan justru jika yang tersebar adalah kunci jawaban lengkap dengan naskah soal. Sehingga, sekalipun dibolak-balik urutannya, tetap bisa dimanfaatkan para pelajar.
Soal UN bocor menjadi bahaya rutin yang selalu diantisipasi pemerintah dan berbagai pihak. Masalah utamanya adalah kebocoran soal ujian ini memiliki banyak sekali lubang, mulai dari oknum terkait UN sendiri, percetakan, hingga bagian transportasi, dan lainnya.
Dari segi hard copy, percetakan sudah mulai mencetak soal beberapa minggu sebelum UN berlangsung--berarti ada jenjang waktu cukup lama untuk 'menyebarkannya' sebelum hari H. Dengan pengamanan ketat sekalipun, kertas bisa dilipat dan disembunyikan dengan mudah. Aman, tidak terdeteksi alat apa pun jika diselundupkan. Cara lain pun banyak, seperti jika hasil cetakan dipotret dengan ponsel pintar.
Dari segi soft copy, semakin sedikit yang mengetahui semakin bagus. Ketika disebar di banyak percetakan, bertambah pula pihak yang mempunyai akses atas bocoran tersebut. Idealnya, lembar sensitif seperti ini harus ditangani percetakan milik negara yang terjamin kerahasiaannya. Meski, tetap saja tidak ada jaminan 100 persen aman jika masih saja melenggang oknum yang minim moral.
Karena itu, saya mengapresiasi langkah pemerintah saat memperkenalkan ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Pada 2016, di tingkat SMA telah diikuti 921 ribu siswa atau meningkat sekitar 900 persen dibanding 2015.
UNBK membuat kemungkinan kebocoran menjadi lebih kecil karena soft copy hanya dipegang sedikit orang dan baru disebarkan pada hari H. Untuk antisipasi lebih, mendikbud bahkan melibatkan hacker. Akan tetapi, bukan berarti hal ini pun bebas dari risiko kebocoran.
Di beberapa daerah, karena keterbatasan komputer, ada siswa yang sempat memotret soal dan menyebarkannya di media sosial hingga dimanfaatkan siswa lain yang belum mendapat giliran. Tanpa pengawasan ketat, juga tidak mustahil soal di-print screen, lalu diunggah lewat medsos atau disebar melalui e-mail, bahkan sangat memungkinkan via aplikasi chatting.
Saya percaya pemerintah sudah bekerja keras untuk mengantisipasi kasus berulang serupa karena kebocoran akan mengakibatkan anggaran triliunan rupiah selama prosesnya menjadi sia-sia. Akan tetapi, mereka yang memiliki niat buruk akan selalu menemukan cara untuk melakukan kecurangan.
Di sisi lain, peran orang tua dan guru tentu semakin dibutuhkan untuk membangun karakter dan mendidik anak akan manfaat kejujuran bagi mereka sendiri pada masa depan.
Para pemimpin agama juga bisa berperan untuk menanamkan budaya jujur, termasuk ketika mengerjakan UN. Saat ini, sepengetahuan saya, belum banyak masalah kejujuran yang terkait UN diangkat di mimbar shalat Jumat atau tabligh akbar. Selintas, isu ini terkesan sepele, tapi mengingat UN merupakan proyek triliunan rupiah, seharusnya sangat pantas diangkat para ulama kita.
Terakhir, sepakat dengan Menteri Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan Anies Baswedan, bahwasanya orang yang berusaha mengotori proses pendidikan ini adalah pengkhianat bangsa. Karena itu, wajar jika mereka diberi efek jera.
Pendidikan adalah ujung tombak masa depan bangsa. Mereka yang merusaknya berarti telah menghancurkan bangsa dari tumpah darah yang kita cintai ini.