REPUBLIKA.CO.ID, Diplomasi di banyak negara sedikitnya sejak 10 tahun terakhir, bukan hanya menjadi hegemoni Kementerian Luar Negeri atau Kementerian Luar Negeri-Perdagangan di sejumlah negara lain. Kompleksitas berbagai masalah di banyak negara tertentu, kini dengan segera bisa menyebar ke wilayah dunia lain karena globalisasi menyebarkan informasi secara instan dan luas.
Penyebaran informasi yang demikian cepat berbarengan dengan peningkatan perjalanan orang dari satu tempat ke tempat lain tidak serta-merta dapat menumbuhkan saling pengertian di antara orang-orang atau kelompok manusia berbeda. Sebaliknya, bisa disaksikan mispersepsi dan pandangan tidak akurat cenderung menguat satu sama lain di antara masyarakat-termasuk umat beragama-dan bangsa.
Mispersepsi yang sering disertai sikap kecurigaan dan permusuhan bertumbuh cepat sejak akhir 1990-an ketika muncul wacana, misalnya, tentang “benturan peradaban-peradaban” (clash of civilizations). Meski teori dan argumen Samuel Huntington, guru besar ilmu politik Universitas Harvard, tentang benturan tersebut telah banyak digugat ahli lain, tetap saja mispersepsi dan fobia berkembang cepat, khususnya terhadap Islam dan kaum Muslim.
Dalam konteks itulah, terlihat penting dan urgennya diplomasi yang lebih daripada secara konvensional dilakukan Kementerian Luar Negeri. Diplomasi konvensional tidak lagi memadai. Karena itulah, perlu pelibatan berbagai pemangku kepentingan di lingkungan masyarakat lebih luas sehingga disebut sebagai diplomasi publik. Sebab itu pula, diplomasi publik sering disebut sebagai diplomasi total.
Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang dengan cepat menjadikan diplomasi publik sebagai bagian integral dari diplomasi secara keseluruhan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia-dalam hal ini Kemlu, membentuk Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik (IDP) pada 2001. Melalui Ditjen IDP, Indonesia dapat melakukan “diplomasi” total di tingkat internasional dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan di Tanah Air.
Dalam perkembangannya, diplomasi publik atau diplomasi total Indonesia menekankan dua hal penting. Pertama, kompatibilitas Islam dengan demokrasi-mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak atau terbesar di dunia. Berbeda dengan banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim lain di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan di mana demokrasi tidak dapat bertumbuh baik, di Indonesia justru menjadi model di mana Islam dan demokrasi dapat berjalan bergandengan tangan.
Kedua, diplomasi publik Indonesia juga menekankan distingsi Islam Indonesia yang moderat, inklusif, toleran yang berusaha mengaktualisasikan Islam rahmatan lil 'alamin. Islam Indonesia dengan karakter seperti itu merupakan kontranaratif dari gejala radikalisme, kekerasan, dan terorisme yang dilakukan atas nama Islam oleh individu atau kelompok Muslim tertentu di berbagai tempat di muka bumi.
Sejak awal milenium baru, penulis “Resonansi” ini telah terlibat dalam banyak kegiatan diplomasi publik Indonesia yang diorganisasi Kementerian Luar Negeri yang sering bekerja sama dengan Kementerian Agama atau kementerian lain terkait. Diplomasi publik Indonesia, terutama menyangkut dua tema pokok itu diselenggarakan di banyak tempat di Asia, Eropa, Amerika, dan Afrika.
Penulis “Resonansi” ini merasa beruntung dapat meneliti dan menulis artikel yang membahas relatif lengkap tentang diplomasi publik Indonesia. Bertajuk "Indonesia's Middle Power Public Diplomacy: Asia and Beyond" dalam Jan Melissen & Yul Sohn (eds), Understanding Public Diplomacy in East Asia: Middle Powers in a Troubled Region (New York: Palgrave McMillan, 2015), penulis berargumen, melalui diplomasi publiknya, Indonesia berusaha memainkan peran lebih besar dalam percaturan internasional.
Pada saat yang sama Indonesia berupaya memproyeksikan citra positif sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan sekaligus sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Kedua distingsi ini dengan cepat menjadi identitas Indonesia sebagai “kekuatan menengah” (middle power) dalam konstelasi dunia.
Kajian dan pembahasan akademis tentang diplomasi publik diplomasi publik masih relatif terbatas. Dalam konteks itu, penulis “Resonansi” ini mendapat kesempatan baik berpartisipasi dalam round-table discussion tentang “Soft Power and Public Diplomacy in the Indo-Pacific: Emerging Models and Trends” yang diselenggarakan Griffith University, Brisbane, Australia (18-20/5/2016).
Indonesia, khususnya di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sangat menekankan penggunaan soft power dalam diplomasinya-baik diplomasi konvensional maupun diplomasi publik. Dalam pandangan Presiden SBY, soft power bisa lebih efektif dalam diplomasi publik dibandingkan menggunakan hard power.
Meski penyelenggaraan diplomasi publik Indonesia cenderung berkurang dalam beberapa tahun terakhir, secara retrospektif, penulis “Resonansi” ini dapat menyimpulkan bahwa Indonesia mengambil posisi terdepan dalam subjek terkait dengan dua tema pokok tadi. Bisa dikatakan, tidak ada negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang begitu aktif dalam promosi kompatibilitas Islam dan demokrasi dan sekaligus Islam Indonesia yang moderat dan inklusif.