Jumat 24 Jun 2016 06:00 WIB

Bernegara dari Ruang Gelap

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang ketua umum partai berbincang dengan orang-orang dekatnya. Memang, dalam obrolan santai. Tiba-tiba, sejenak menjadi serius. Katanya, "Kita harus melihat kenyataan bahwa KPK sudah benar-benar dikendalikan."

Bukan rasa takut yang hendak ia tebarkan, melainkan langgam politik apa yang harus mereka mainkan. Mereka tak sedang berbicara korupsi, tapi sedang berbicara tentang strategi memenangkan Pemilu 2019. Semua terdiam dan hanya bisa manggut-manggut.

Mereka harus melakukan adaptasi terhadap corak politik Indonesia terkini. Perlu disadari bersama bahwa tak ada kompetisi politik yang hitam putih, yang hitam putih hanya milik rakyat. Karena itu, ada pepatah vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan.

Ilustrasi kejadian politik itu hanya snapshot. Bingkai besarnya tak selalu bisa dipahami, bukan hanya oleh kita yang awam, melainkan juga oleh mereka sendiri yang menjadi pelakunya.

Mereka memang memiliki informasi lebih banyak, tapi bukan berarti mereka memiliki informasi yang utuh dan 'jujur'--bahkan presiden sekalipun. Pada sisi lain, hal itu juga harus dipotret dengan pengandaian bahwa ada suatu kebenaran yang sedang disembunyikan.

Kehidupan politik memang tak melulu terang. Banyak sisi di sebaliknya, ada ruang-ruang gelap maupun temaram. Sistem politik yang kita kenal sekarang ini, sistem demokrasi, bukan pula yang terbaik. Demokrasi adalah sistem yang bisa diterima pada zaman modern.

Karena sistem ini adalah cara bernegara yang memberi ruang terang lebih besar dibandingkan sistem-sistem lainnya. Proses politik di ruang temaram, apalagi di ruang gelap, dinilai sebagai aib. Kendati praktik itu tetap terjadi, selalu disangkal keberadaannya.

Ini menandakan, ruang terang adalah yang disepakati sebagai yang terbaik dan benar. Perjuangan untuk membuat terang adalah perjuangan rakyat. Kita selalu mendorong ke arah sana. Kehadiran konsep trias politica menjadi keniscayaan agar ada saling terbuka.

Jika pun ada kekompakan antarlembaga negara, bukan untuk memunggungi konsep pemisahan kekuasaan tersebut. Proses perumusan kebijakan harus dibawa ke parlemen untuk dibahas dan diperdebatkan secara terbuka.

Bahkan, ada proses public hearing dengan meminta pendapat rakyat terlebih dulu. Pemerintah yang memiliki kewenangan eksekusi pun tetap harus melalui tahap public discourse, apa yang sudah diputuskan diwacanakan dulu.

Tidak boleh main kekuasaan dan kewenangan, tak juga main legal formal belaka. Tetap butuh persetujuan. Dalam konteks itu, media massa memainkan peran yang penting. Lembaga negara harus menerapkan good governance yang berisi transparansi, media massa pun memiliki kode etik yang bersifat akuntabel, dan bisa dicek ulang oleh siapa pun.

Namun, akhir-akhir ini, kita menyaksikan begitu dominannya praktik propaganda menjadi strategi politik. Propaganda dalam makna lunak tentu lazim dilakukan. Biasanya, dengan membuang teknik-teknik yang menyakiti dan menghilangkan teknik berbohong.

Propaganda dalam makna negatif sering dijumpai dalam perang maupun masa kampanye. Karena itu, seusai masa kampanye, kita tekadkan sebagai masa membangun dan berhenti pencitraan. Namun, kecenderungan teknik propaganda dalam makna negatif masih terus menggelinding setelah masa kampanye.

Walter Lippmann, wartawan dan penulis buku, mengingatkan bahwa praktik propaganda itu diikuti upaya menghalangi akses langsung pada kejadian agar informasi yang sampai ke publik sesuai dengan tujuan dan kepentingan mereka.

"Mereka menggunakan kekuasaan agar publik memandang masalah yang ada sesuai dengan kehendak mereka," katanya dalam bukunya yang berjudul Opini Umum. Lebih lanjut, ia mengatakan, tanpa ada sensor, tidak mungkin ada propaganda dalam arti kata sebenarnya.

"Harus ada semacam garis pemisah antara publik dan kejadian. Akses langsung dengan realitas nyata harus ditutup," katanya. Dengan demikian, yang terpatri di benak publik adalah "lingkungan palsu" seperti yang mereka inginkan.

Dalam propaganda selalu ada stereotipe, sana dan sini, jelek dan buruk, kambing hitam, benci dan suka, dan seterusnya. Ada pembuatan skenario di balik layar sebelum tampil di wilayah publik. Kehadiran media sosial dimanfaatkan dengan optimal untuk mencapai semua target itu.

Akun-akun mereka tak semuanya sejati, tapi banyak akun robot, akun bayaran, dan mereka pun dikerahkan bagai pasukan. Sehingga, kesadaran dan opini yang tercipta sebetulnya bubble dan semu.

Karena itu, propaganda hanya menimbulkan infeksi di bawah permukaan, di mana-mana, dan akan pecah bisul pada waktunya. Sehingga, kebijakan yang dibuat dari "kesepahaman" yang dibangun dengan propaganda bersifat cacat moral dan cacat prosedur.

"Kebenaran" yang muncul masih harus diuji kesejatiannya, bisa jadi lebih berpeluang menjadi kesadaran palsu. Karena itu, pola propaganda lebih banyak diterapkan di negeri-negeri otoriter. Negara modern hadir sebagai antitesis negara tradisional.

Proses politik negara tradisional sepenuhnya berada di ruang gelap. Raja satu-satunya pemegang otoritas. Karena itu, dikoreksi negara modern. Proses politik di negara modern adalah membawa yang gelap ke ruang terang agar publik bisa berpartisipasi dan bisa mengontrolnya.

Bernegara tak bisa dikerjakan dari ruang gelap karena di sana tak ada vox dei. Yang ada adalah suara hantu.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement