REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Asma Nadia
Azizah baru berusia 1,4 tahun. Ayah dan bundanya mengajak sang bayi mungil pulang mudik agar sang bayi dekat dengan kampung halaman. Di kampung ada nenek dan kakek yang menanti. Belum lagi kerabat dari keluarga besar, semua menanti sang bayi dengan suka cita.
Kedua orangtua mempersiapkan segalanya untuk kepentingan Azizah. Makanan, susu, serta kelengkapan tidur dan buang air. Mereka tahu bayi mereka akan menempuh perjalanan panjang.
Tapi ada satu yang luput.
Ternyata mudik tahun ini berbeda, banyak yang bilang mudik paling parah.
Parto, warga yang hendak mudik ke Pemalang, mengungkapkan kekesalannya terhadap kemacetan parah yang dialaminya.
"Ini luar biasa macetnya. Ini paling parah. Pemerintah ngapain saja kerjanya. Enggak becus urus arus mudik,"
Purwadi yang berprofesi sebagai sopir juga memuntahkan kemarahannya.
" Ini macet terparah sepanjang sejarah Lebaran."
Di saat pengemudi dan penumpang lain mengeluhkan kemacetan, apa yang dialami kedua orang tua Azizah lebih mneyesakkan dada. Suasana lebaran yang harusnya penuh suka cita berubah jadi petaka. Sang jabang bayi meninggal akibat tersekap lama dalam mobil ber-AC.
Lelah bisa hilang.
Marah bisa mereda.
Keringat bisa kering.
Tapi kehilangan seorang bayi tak ada jalan kembali.
Pemberitaan mudik kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Jika dahulu kebanyakan pemberitaan terkait korban kecelakaan, kini banyak korban jatuh justru akibat kelelahan akibat macet.
Susyani umur 36 tahun. Meninggal di tempat, turun dari bus Rosalia Indah karena pusing terjebak kemacetan di jalan Karangbale Larangan. Korban sempat jatuh pingsan.
Sariyem umur 45 tahun. Pemudik diturunkan dari travel di klinik akibat pingsan karena kelelahan lalu meninggal dunia saat dirujuk ke rumah sakit. Suhartiningsih umur 49 tahun. Meninggal dalam mobil pribadi.
Sumiatun umur 67 tahun. Meninggal dunia di dalam bus lokasi di Dk. Siramin Slatri dirujuk ke RSUD Brebes.
Sri umur 40 tahun. Meninggal dalam mobil perjalanan karena sakit jantung dan kecapekan.
Berita seperti ini tidak banyak terekspose tahun-tahun lalu, baru tahun ini.
Data-data yang menujukkan betapa kemacetan mudik kali ini menjadi petaka.
Apakah bencana?
Jika ada tanah terbelah, jika ada hujan meteor berguguran, kita boleh bilang bencana
Tapi korban mudik kali ini sekali lagi karena miss management. Ini bahasa halusnya. Salah urus bahasa Indonesianya. Keteledoran bahasa lugasnya.
Mudik adalah sesuatu yang bisa diantisipasi.
Jumlah pemudik bisa diperkirakan setiap tahun
Jika mudik masih memakan korban apalagi akibat kemacetan, tentu ada yang tidak beres
Semoga saja yang berwenang lebih mawas diri tidak mencari alasan kenapa ini terjadi.
Lebih baik mencari jalan keluar agar hal ini tidak terjadi lagi.
Mulailah dengan meminta maaf lalu berkomitmen untuk berbuat lebih.
Agar tidak ada lagi bayi lain yang kehilangan masa depannya.