Sabtu 17 Dec 2016 06:00 WIB

Menguapnya Rasa Kemanusiaan

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Dulu penyerangan dan pembantaian acak yang dilakukan perseorangan tanpa alasan jelas hanya muncul di berita-berita berlatar Amerika.  Penembakan massal yang terjadi di sekolah, di gedung bioskop, taman, dan berbagai ruang publik.  Setidaknya terdapat 25 kasus besar yang menewaskan puluhan orang, selain ratusan kasus  lainnya.

"Banyak orang stres di sana." ujar seorang teman.

Uniknya, setiap kali peristiwa tragis itu terjadi, kepemilikan senjata kembali dipertanyakan. Meski selalu pebisnis senjata yang  menang dan berbagai   senjata tetap bebas dijual di Amerika. 

Di  Eropa, berita pembunuhan massal mulai mencuri perhatian warga dunia sejak  2011.  Bahkan peristiwa setragis itu menyentuh Norwegia, negara yang dianggap sangat damai. Anders Behring Breivik, pemuda yang mengklaim dirinya  "modern-day crusader " membantai 77 orang dan melukai 319 orang lainnya.  

Tepat lima tahun kemudian di Munchen, seorang  pemuda berusia delapan belas tahun  secara membabi buta menembaki orang-orang di pusat perbelanjaan Olympia. Pelaku membawa pistol Glock 9 mm ilegal dan 300 peluru dalam tas ranselnya.  Tercatat 7 tewas, 27 luka-luka, termasuk anak-anak. Pria yang berkewarganegaraan ganda, Jerman-Iran, belakangan menembak dirinya sendiri. Dari berkas yang ditemukan di tempat tinggalnya, diduga tindakan  ini terinspirasi  penembakan massal oleh  Anders Behring Breivik di Norwegia. Dengan alasan itu juga ia memilih tanggal eksekusi yang berdekatan dengan peristiwa berdarah  di Norwegia tersebut.

Perilaku kejahatan yang sama lambat laun merambah Asia. Berita pembunuhan massal oleh perseorangan mulai muncul di Cina. Seorang anak membunuh orangtuanya dalam pertengkaran di desa terpencil Cina, sebelum menghabisi 17 nyawa tetangganya.

Di Jepang  terjadi penusukan brutal di fasilitas perawatan kaum difabel di kota Sagamihara, Jepang. Sebanyak 19 orang tewas dan puluhan lainnya terluka.

Ada apa dengan dunia?

Yang lebih memprihatinkan peristiwa mengenaskan serupa baru-baru ini menimpa Indonesia. Bukan hanya satu, melainkan  tiga kasus tragis dalam waktu berdekatan. Tidak  ada kaitan satu dan lainnya, namun terdapat persamaan. Semua pelaku tidak mempunyai motivasi yang jelas.

Di Nusa Tenggara Timur, seorang pria dengan tenang melangkah masuk langsung menuju kursi belakang sebuah ruang kelas sekolah dasar. Mendadak, tanpa alasan jelas, menyayat leher siswa yang duduk di bangku belakang.

Semua siswa menjerit dan berhamburan keluar akan tetapi tujuh pelajar sudah telanjur terluka. Tidak ada korban  meninggal tapi gelombang kemarahan orang tua tak terbendung. Sang pelaku dilempari batu beramai-ramai hingga tewas.

Di Bandung pada hari yang sama seorang pria  tiba-tiba mengamuk dan menikam para pejalan yang melintas di jembatan penyeberangan Tol Purbaleunyi. Delapan orang terluka  dan satu korban tewas akibat tertusuk dibagian dada. 

Di Yogyakarta, sekelompok remaja dengan penutup wajah, menyerang remaja lain yang baru pulang tamasya, saat berpapasan di tengah jalan. Satu  tewas sementara enam lainnya terluka. Tidak ada alasan jelas kenapa pelaku yang kemudian diketahui pelajar sekolah swasta melakukan perbuatan keji tersebut.

Allah, kemana menguapnya rasa kemanusiaan?

Sebegitu mudahkan anak-anak pelajar  melakukan kekerasan yang tak terbayangkan ini?

Di sekolah kekerasan tidak  pernah diajarkan. Akan tetapi perpeloncoan  masih membudaya, mungkin kah ini menjadi akar kekerasan?

Di rumah sebagian besar orang tua pun tidak mengajarkan kekerasan.

Namun  tidak semua anak beruntung memiliki orang tua yang memberikan tuntunan dan bimbingan yang baik.  Termasuk mengarahkan anak-anak mereka menonton film, tayangan atau hiburan yang mendidik dan menginspirasi.  

Padahal manusia adalah mahluk visual. Karenanya pengaruh media visual sangat besar bagi jiwa anak.  Ini salah satu titik penting yang menggerakkan kesadaran  banyak insan kreatif untuk mempersembahkan film atau tayangan yang menginspirasi keluarga dan bisa dinikmati anak-anak, seperti film Cinta Laki Laki Biasa atau Bulan Terbelah di Langit Amerika, yang berjuang untuk generasi yang lebih terjaga. Semoga ke depan lebih banyak dukungan  diberikan  para orang tua.

 Secara umum, masyarakat  membenci kekerasan.  Kenyataan bercokolnya  para preman di berbagai ruang publik, atau perilaku dominan pejabat dan aparat yang menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendak, justru  berbalik menjadi bentuk kampanye kekerasan dan paksaan sebagai kekuatan yang harus ditakuti.

Akhirnya kita tidak hanya bisa menghakimi tapi juga harus melakukan muhasabah diri.

Seberapa jauh telah menyiapkan anak-anak, adik, murid dan semua yang peduli untuk menjadi manusia yang -- seiring berangsurnya usia -- makin menghargai dan bukan justru membuang rasa kemanusiaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement