REPUBLIKA.CO.ID, Apa hubungan masjid dan politik? Meski Islam dipercayai para penganutnya sebagai mengatur segala aspek kehidupan, apakah politik — yang lazimnya terkait kekuasaan (power)— kompatibel dengan masjid yang merupakan tempat suci di mana kaum beriman menyembah Allah Yang Maha Suci.
Pada pihak lain, politik lazimnya bersifat divisif — cenderung memecah belah. Kepentingan politik tak bisa lain membuat orang dan kelompok bersifat partisan, mementingkan kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Di sinilah kemudian terjadi kontestasi kepentingan yang bukan tidak sering berujung pada konflik fisik dan kekerasan — yang tidak selaras dengan kesucian masjid.
Fenomena semacam ini terjadi bukan hanya di masa kini, tetapi — suka atau tidak — memiliki preseden historis panjang. Sejak masa Dinasti Umayyah dan berlanjut dengan Dinasti Abbasiyah sehingga mencapai era Dinasti Usmani (Turki) menjelang masa moderen, para penguasa berlomba mendirikan masjid.
Kenapa para penguasa yang lebih berorientasi keduniaan gemar mendirikan masjid? Tujuannya bukan hanya untuk memfasilitasi warga Muslim beribadah, tetapi juga guna kepentingan politik. Mereka umumnya meski bukan sosok yang dikenal alim, tetapi dengan membangun masjid menampilkan diri sebagai orang yang memiliki perhatian pada salah satu keperluan pokok umat untuk beribadah dengan baik.
Sebab itu, nama penguasa — sultan atau raja — disebut dan didoakan dalam khutbah dan ceramah. Masjid menjadi tempat paling efektif untuk menyampaikan kebijakan dan perintah penguasa. Berkombinasi dengan konsep politik Sunni yang menekankan kepatuhan total pada penguasa, masjid mengukuhkan religio-politik Islam sejak masa klasik dan abad pertengahan.
Fragmentasi politik kaum Muslimin karena penjajahan Eropa mengakibatkan masjid tidak lagi dapat menjadi pusat propaganda politik penguasa Muslim. Jika penguasa Muslim yang dipertahankan penguasa kolonial Eropa — misalnya Inggris di Semenanjung Malaya — dengan wewenang terbatas pada urusan keagamaan dan adat resam Melayu, masjid diintegrasikan ke dalam ranah kekuasaan penguasa lokal. Dalam keadaan ini, masjid tidak dapat lagi digunakan untuk kepentingan melawan kekuasaan kolonial dan penguasa lokal sekutunya.
Sebaliknya di Indonesia, kekuasaan politik Muslim lokal (kerjaan atau kesultanan) umumnya dihapuskan kolonial Belanda. Karena itu, umat Muslimin dengan berbagai lembaga dan pranatanya—termasuk masjid—menjadi independen dari politik. Kolonial Belanda kemudian memandang masjid sebagai bagian ‘Islam ritual’ yang tidak perlu dicampuri; berbeda dengan ‘Islam politik’ yang harus ditindas karena dapat mengancam status-quo kekuasaan kolonial Belanda.
Hasilnya, kebijakan itu dalam jangka panjang adalah rahmat terselubung (blessing in disguise) bagi Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia mandiri dalam membangun masjid, mushala, langgar dan seterusnya; juga dalam memberikan khutbah dan ceramah. Masjid menjadi salah satu pusat terpenting pengembangan ‘Islam kultural’ yang menghasilkan banyak warisan (legacy) Islam Indonesia.
Perkembangan inilah yang dapat menjelaskan kenapa masjid di Indonesia tidak pernah menjadi ajang politik. Khutbah dan ceramah di masjid berlangsung secara bebas tanpa harus ada sertifikat dan izin dari pihak berwenang semacam Kementerian Agama dan/atau Kepolisian.
Khutbah, ceramah atau halaqah di masjid atau mushala dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir juga sering bertema atau menyinggung soal politik. Tetapi jelas bukan politik kekuasaan partisan yang berorientasi pada kekuasaan. Sebaliknya, lebih menyangkut ajaran Islam tentang prinsip sistem politik dan etika politik yang sering disebut sebagai high politics.
Meski demikian, belakangan ini mimbar masjid sering digunakan untuk penyebaran paham radikal, provokasi dan agitasi politik. Survei tentang masjid oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta pada 2010 menemukan meluasnya penggunaan mimbar masjid untuk kepentingan politik. Pengurus masjid dan jamaah lama-kelamaan menjadi permisif pada paham dan praksis kekerasan. Misalnya, 9 persen takmir masjid yang disurvei di wilayah DKI Jakarta setuju penggunaan kekerasan atas nama amar ma’ruf nahi mungkar; dan dengan persentase sama mereka menyetujui pembentukan negara Islam di Indonesia. Cukup alarming, 31 persen setuju pemberlakuan hukum jinayah (pidana) syariah seperti potong tangan dan rajam.
Meski kabar ini tidak menggembirakan, tetapi Indonesia beruntung karena masjid tidak memiliki tradisi sebagai pusat aktivisme politik kekuasaan seperti terjadi di Dunia Arab, misalnya. Ini juga terkait kenyataan Jumat di Indonesia bukan hari libur, sehingga jamaah kembali ke rutinitas mereka seusai Jumatan.
Jika ada upaya menjadikan masjid sebagai pusat aktivisme politik di tanahair, jelas tidak sesuai dengan realitas historis dan tradisi umat Islam Indonesia. Jika ada kasus-kasus isolated di mana masjid mau dijadikan pusat aktivisme politik, ini dapat memunculkan kontestasi dan konflik baru di antara jamaah dan umat secara keseluruhan.
Karena itu kesucian masjid perlu dijaga. Silakan politik kekuasaan partisan dilakukan di tempat lain. Dengan begitu masjid tetap menjadi rumah Allah yang sejuk, damai dan membawa berkah.