REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram
Ney, panggilannya. Nama lengkapnya Neymar da Silva Santos Junior alias Neymar Jr. Pemuda kelahiran Mogi das Cruzes, Sao Paulo, Brasil, pada 5 Februari 1992 ini merupakan pesepakbola top dunia. Pada usia 25 tahun Si Ney baru saja tercatat dalam sejarah dunia melalui gerbang sepak bola. Kali ini bukan lantaran prestasinya di lapangan hijau. Namun, lebih karena nilai jualnya yang gila-gilaan.
Neymar baru saja dibeli Klub Paris Saint-Germain (PSG) dari Barcelona (Barca) seharga 222 juta euro atau setara dengan Rp 3,5 triliun. Harga sebesar itu telah memecahkan rekor internasional, sekaligus mengalahkan nilai transfer pemain-pemain top dunia lainnya. Semisal Paul Pogba (Rp 1,5 triliun), Gareth Bale (Rp 1,4 triliun), Cristiano Ronaldo (Rp 1,4 triliun), Gonzalo Higuain (Rp 1,31 triliun), Romelu Lukaku (Rp 1,3 triliun), Alvaro Morata (Rp 1,2 triliun), Luis Suarez (Rp 1,1 triliun), dan James Rodriguez (Rp 1,1 triliun).
Sampai di sini tidak ada masalah. Toh, klub sepak bola mana saja bisa membeli pemain yang dimaui, dengan harga semahal apa pun, asal tidak melanggar aturan. Sedangkan bagi si pemain, siapa sih tidak tergiur dengan gaji selangit plus berbagai bonus yang menyertainya? Mumpung masih muda. Mumpung masih sehat dan laku.
Yang jadi soal, sang pembeli Neymar Jr adalah PSG. Dan, pemiliknya merupakan penguasa Qatar. Kepemilikan PSG itu terjadi pada 2011, ketika Qatar Sports Investments (QSI) mengakuisisi 70 persen saham PSG. QSI merupakan lembaga investasi di bidang industri dan media olahraga milik Amir Qatar. Pengelolaan dan manajemennya dipercayakan kepada Nasser Ghanim al Khelaifi, mantan petenis profesional Qatar. Al Khelaifi kini duduk sebagai chairman dan CEO PSG dan QSI.
Karena Qatar sedang bertikai dengan negara-negara tetangganya di Teluk, atau tepatnya dikucilkan oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir, jadilah pembelian Neymar sebagai konsumsi politik. Bukan sekadar berita olahraga. Dan, nama Neymar pun ikut terseret dalam perseteruan itu. Apalagi, menurut kolomnis dan pengamat politik Saudi, Hussein Shobokshi, nilai transaksi Neymar di luar akal sehat dan memunculkan berbagai tanda tanya. Tidak mungkin, tulis Shobokshi di media internasional berbahasa Arab al Sharq al Awat, pembelian Neymar hanya transaksi biasa dalam dunia sepak bola.
Ia pun menuduh di balik pembelian Neymar ada kepentingan politik yang menyertainya. Yaitu untuk untuk mengalihkan perhatian masyarakat internasional terhadap Qatar yang dituduh telah melindungi dan membiayai kelompok-kelompok teroris di Timur Tengah. Pembelian Neymar oleh PSG juga untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa Qatar mampu secara manajemen dan finansial menyelenggarakan Piala Dunia 2022.
Untuk tujuan itu, cara yang paling jitu adalah mendatangkan pemain berbakat dengan nama besar seperti Neymar ke Prancis yang merupakan jantung Eropa. Apalagi PSG berbasis di Paris yang digemari oleh para fans ibukota Prancis. Dengan dukungan fanatik fans Prancis, maka akan mudah bagi penguasa Qatar untuk menjalin hubungan baik dengan Presiden Prancis Emanuel Macron.
Pembelian Neymar dengan harga yang fantastis itu juga diharapkan bisa menjadi berita besar di berbagai media internasional dan sekaligus memberikan citra positif kepada Qatar. Karena itu, demi pencitraan dana seberapa pun akan dikeluarkan oleh penguasa negara kecil nan kaya raya itu. Termasuk pula rencana pembelian pemain muda AS Monaco FC, Kylian Mbappe.
Kabarnya, PSG bersedia membayar Mbappe sebesar 180 juta euro. Bila pembelian ini terjadi, maka Mbaba akan menjadi pemain termahal kedua di dunia setelah Neymar. Kini mereka sedang bersaing dengan Real Madrid yang juga menginginkan pemain yang baru berusia 18 tahun itu. Perekrutan Mbappe dimaksudkan untuk membentuk trio maut PSG: Neymar-Mbappe-Edinson Cavani. Dengan adanya barisan penyerang seperti ini diharapkan PSG akan merajai dunia persepak-bolaan antarklub di Eropa dan bahkan dunia. Dan, otomatis PSG akan selalu menjadi berita besar di berbagai media internasional. Namun, menurut Shobokshi, ujungnya tetap untuk pencitraan penguasa Qatar.
Pembelian Neymar yang dijadikan konsumsi politik dan bukan berita olahraga, atau tepatnya propaganda, hanyalah salah satu contoh bagaimana media, terutama di Timur Tengah, kini sudah tidak netral lagi. Tidak obyektif. Media sudah menjadi alat kekuasaan. Ada yang pro penguasa Qatar. Ada pula yang mendukung Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir. Bukan hanya dalam bentuk berita, namun juga kolom yang ditulis oleh para penulis dengan nama besar.
Dari yang pro-Arab Saudi, Bahrain, UEA, dan Mesir dimotori oleh media al Sharq al Awsat. Media ini dimiliki Pangeran Faisal bin Salman bin Abdul Aziz. Ia merupakan putra kelima Raja Salman. Al Sharq al Awsat merupakan media internasional berbahasa Arab berbasis di London. Berdiri pada 1978, al Awsat merupakan surat kabar Arab pertama yang cetak jarak jauh. Ia kini terbit di hampir semua negara Arab. Selain koran, al Awsat juga bisa dibaca secara online dalam bentuk e-paper dan situs berita.
Sedangkan media yang pro-Qatar dipimpin oleh Aljazeera. Berdiri pada 1996, Aljazeera dimiliki oleh keluarga penguasa Qatar. Kini ia sudah berkembang menjadi grup media. Selain televisi berita berbasa Arab dan Inggris, Aljazeera juga mengelola beberapa saluran TV khusus, seperti Aljazeera Sport, Aljazeera Live, Aljazeera Children’s Channel, dan lainnya. Di samping teve, Aljazeera juga mempunyai situs web berita berbahasa Arab dan Inggris. Jumlah pemirsa Aljazeera berbasa Arab sudah lebih dari 60 juta orang, mengalahkan CNN dan BBC. Penutupan jaringan Televisi Aljazeera merupakan salah satu dari 13 syarat yang diajukan empat negara Arab bila Qatar ingin pemulihan hubungan dengan mereka.
Menyimak media-media yang sehaluan dengan Aljazeera maupun al Sharq al Awsat kita akan menjadi tahu betapa dalamnya perseteruan di kawasan Teluk. Segala keburukan dan aib masing-masing lawan dibuka tanpa korfirmasi. Termasuk menyeret nama Neymar dalam perseteruan mereka. Dan, karena ini media, informasi atau beritanya bisa ke mana-mana.
Anehnya, media yang sehaluan dengan al Sharq al Awsat ketika menyebut bangsa Qatar adalah sebagai as sya’b as syaqiq. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aljazeera dan media yang sejalan dengannya saat menyebut rakyat Saudi, UEA, dan Bahrain. As Sya’b as syaqiq bermakna sebagai bangsa sesaudara kandung.
Penyebutan sesaudara kandung barangkali karena mereka merasa satu darah, tinggal di satu kawasan di Jazirah Arab, satu bahasa, dan satu agama. Juga sama-sama kaya raya karena dianugerahi sumber minyak dan gas yang melimpah. Bahkan mereka sudah membentuk apa yang dinamakan Dewan Kerjasama Teluk (Majlis at Ta’awun al Khaliji). Yang menyedihkan, kendati merasa sesaudara kandung, tapi mereka suka berantem. Sering berseteru. Mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan secara internal bermusyawarah tanpa rame-rame selayaknya sesaudara kandung.
Kalau sesaudara kandung saja masih suka berantem dan berseteru, bagaimana dengan saudara tiri, saudara jauh, dan yang bukan saudara? Dari sini kita menjadi paham mengapa bangsa Palestina yang juga bangsa Arab sampai sekarang belum merdeka. Di antaranya karena bangsa-bangsa Arab suka berantem di antara mereka. Coba kalau mereka bersatu dan mengarahkan semua energinya untuk melawan negara Israel yang penduduknya hanya sekitar 8 juta jiwa.