REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Musim Haji 1438/2017 lalu memberi isyarat membaiknya hubungan antara Arab Saudi dan Iran. Sejak mulai waktu kedatangan (calon) jamaah haji sampai selesai ibadah haji dan pulangnya para jamaah, tidak terjadi insiden menyangkut kontingen haji Iran. Padahal di tahun-tahun sebelumnya sering terjadi keributan antara Saudi dan Iran terkait jamaah haji Iran.
Iran mengirim 86 ribu jamaah dalam musim haji lalu. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Pangeran Khalid al-Faisal, Gubernur Provinsi Makkah, secara khusus melakukan acara penyambutan jamaah haji Iran.
Sepanjang prosesi pelaksanaan ibadah haji, polisi dan tentara Saudi menahan diri. Mereka dilaporkan tidak menggunakan pentungan terhadap jamaah haji Iran yang melakukan hal-hal yang mereka anggap tidak sesuai dengan pemahaman dan praksis Wahabiyah.
Apa yang terjadi dalam hubungan antara Arab Saudi dan Iran? Sudah bukan rahasia lagi selama bertahun-tahun, Saudi sangat memusuhi Iran. Permusuhan itu segera diidentikkan banyak kalangan Muslim sendiri dan para pengamat non-Muslim sebagai konflik antara paham Wahabiyah, mazhab resmi Saudi, dan Syiah, panutan resmi Muslimin Iran.
Oleh karena itu, damai, aman dan lancarnya pelaksanaan ibadah haji Iran pada tahun 1438 H mengisyaratkan perkembangan positif. Majalah internasional the Economist edisi 9 September lalu menurunkan laporan bertajuk "Sunnis and Shi’as: Enemies No More?" (Kaum Suni dan Syi’ah: Tak Lagi Bermusuhan?).
Judul laporan itu tampaknya perlu diulas sedikit. Pertama, soal Suni dan Syiah yang menggeneralisasi. Jelas tidak semua penganut Suni dan Syiah bermusuhan. Sebagian besar kedua golongan umat Islam ini berhubungan baik dan rukun-rukun saja. Tentu saja ada segelintir Muslim dari kedua mazhab ini yang saling membenci.
Lebih jauh, ada kalangan dari kedua belah pihak yang sejak waktu lama mengusahakan islah rekonsiliasi di antara kedua belah pihak. Institusi al-Azhar Kairo dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyebut usaha itu taqribul madzahib—pendekatan di antara mazhab berbeda.
Selain itu, judul laporan itu masih memakai tanda tanya. Hal ini mengisyaratkan masih bertahannya skeptisisme tentang apakah hubungan antara Saudi dan Iran benar-benar dapat membaik. Dengan begitu juga diasumsikan bakal tidak ada lagi permusuhan antara Suni dan Syiah.
Memang sejak Raja Salman ibn Abdul Aziz naik takhta pada 2015 hubungan Saudi dan Iran meningkat panas. Eskalasi itu dikaitkan banyak kalangan dengan putra Raja Salman, Muhammad ibn Salman, yang ketika itu menduduki jabatan menteri pertahanan yang tampaknya ingin melenyapkan pengaruh Iran di Timur Tengah.
Tingkat eskalasi itu bisa disimak antara lain sebagai berikut: Saudi tampil sebagai pimpinan koalisi negara-negara Arab memerangi kaum Houthi, sekutu Iran di Yaman. Pemerintah Saudi juga menolak memberi kompensasi bagi 464 jamaah haji Iran yang tewas terinjak-injak di Mina pada 24 September 2015.
Selanjutnya pada 2016 Pemerintah Saudi memenggal Syaikh Nimr al-Nimr, warga Saudi sekaligus ulama Syiah, yang vokal mengritik Pemerintah Saudi. Akhirnya Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Ketika koalisi Saudi memutus hubungan dengan Qatar pada awal 2017, Iran (bersama Turki) justru berpihak pada Qatar.
Semua perkembangan ini membuat perdamaian di antara kedua negara sulit dibayangkan. Tetapi, sekali lagi, perkembangan terakhir sejak musim haji 1438 cukup memberi harapan bagi terciptanya hubungan lebih baik di antara Saudi dan Iran yang sekaligus bisa mendorong rujuk antara Wahabiyah dan Syiah.
Jelas, jika eskalasi dan konfrontasi di antara Wahabiyah dan Syiah berakhir, sedikit banyak hubungan antara kedua mazhab di negara-negara lain—termasuk di Indonesia—punya peluang pula untuk membaik. Walau banyak ulama Saudi adalah die hard Wahabi yang anti-Syiah dan sering berseberangan dengan kebijakan Raja dan Pangeran Muhammad.
Sang Putra Mahkota (sejak Juni 2017) menjadi figur sentral perubahan sikap Saudi terhadap Iran. Ada berbagai indikasi Pangeran Muhammad mendekati negara mayoritas Syiah; tidak hanya Iran tapi juga Irak.
Dengan Irak, dia membuka kembali hubungan yang terputus selama 25 tahun. Berbagai misi diplomatik Saudi mengunjungi Irak dan sebaliknya juga delegasi Irak mengunjungi Saudi. Bahkan Pemerintah Saudi berencana membuka Konsulat Jenderal di Najaf, salah satu kota suci Syiah.
Meski sudah ada berbagai sinyal positif, perbaikan dan rekonsiliasi antara Saudi dan Iran (dan Irak dan Suriah yang dipimpin Presiden Bashar Assad yang juga Syiah) memerlukan waktu. Tak ragu lagi, kedamaian di antara negara-negara ini bakal memberi kontribusi signifikan bagi rekonsiliasi Wahabiyah (atau Suni secara keseluruhan) dengan Syiah.