REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Adanya 95 pesantren salafi (dari total 111 lembaga pendidikan) di 25 kota/kabupaten pada 13 provinsi, jelas belum menggambarkan penyebarannya di seluruh Indonesia. Bisa dipastikan, ada pesantren salafi--berapa pun jumlahnya--di daerah lain.
Karena itu, masih diperlukan penelitian lanjutan untuk pemetaan pesantren salafi secara komprehensif di Tanah Air. Bahwa pesantren salafi merupakan lokus santri yang memegangi salafisme tidak diragukan lagi.
Ini terlihat, misalnya, dari kitab-kitab yang digunakan dalam proses mengajar dan belajar yang hampir sepenuhnya merupakan karya ulama salafi. Kitab kuning yang menjadi pegangan di pesantren salafiyah dan khalafiyah tidak menjadi rujukan dan sumber ajar di pesantren salafi.
Sekali lagi, literatur yang digunakan umumnya di pesantren salafi adalah karya ulama yang dikenal sebagai ulama salafi atau wahabi.
Dalam bidang akidah, ulama rujukan mencakup Ibn Taymiyyah, Muhammad bin ‘Abd Wahhab, pendiri paham dan gerakan wahabiyah Muhammad bin Salih al-Utsaymin, Imam al-Thahawi, dan Ibn Abi al-Izzi.
Kitab-kitab karya ulama yang digunakan mencakup al-Ushul al-Tsalatsah, Kitab al-Tawhid, Kasyf al-Syubuhat, al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, dan ‘Aqidah al-Thahawiyah. Dalam bidang fikih, pesantren salafi menggunakan kitab yang berbasis hadis sahih mutawatir. Kitab-kitab fikih yang digunakan mencakup al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz (karya ‘Abd al-Azhim bin Badawi), ‘Umdat al-Ahkam (karya Ibn al-Qudamah), dan Syarh-nya Tafsir al-Allam (karya Abd Allah bin Abd al-Rahman bin Salih Alu Bassam).
Mereka juga menggunakan kitab Shifat Shalat al-Nabi karya Muhammad Nasir al-Din al-Albani untuk pelaksanaan shalat yang menurut mereka sesuai dengan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Dalam pengajaran bahasa Arab, kitab yang lazim dipakai terbitan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang merupakan unit pendidikan Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta. Di antaranya, Silsilah Ta’lim al-Lughat al-‘Arabiyah dan al-‘Arabiyyah li al-Nasyi’in.
Penelitian PPIM menemukan, sebagian besar (59 persen) pesantren salafi menerima kurikulum nasional, terutama dalam ilmu-ilmu umum. Sebaliknya, mereka menggunakan kurikulum agama Arab Saudi. Kelompok pesantren salafi ini berorientasi ke Arab Saudi dan Kuwait. Berkat adopsi kurikulum nasional ini, lembaga pendidikan yang ada dalam pesantren salafi mendapat pengakuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka sekaligus mendapat mu’adalah dari Kementerian Pendidikan Arab Saudi atas dasar kurikulum pelajaran agamanya.
Selain itu, pesantren salafi Saudi dan Kuwait juga mengadopsi tingkatan pendidikan formal Indonesia untuk semua jenjang. Karena itu, pendidikan di pesantren salafi ini terdiri atas TK, madrasah ibtida’iyah, tsanawiyah, aliyah, dan sekolah tinggi.
Dengan pendekatan dan cara seperti itu, alumni pesantren salafi kelompok ini dapat melanjutkan pendidikan ke madrasah atau sekolah lebih tinggi atau ke perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di Indonesia.
Kelompok pesantren salafi kedua (41 persen) yang berorientasi dan berafiliasi ke Yaman. Mereka menolak kurikulum nasional dan sebaliknya menerapkan "kurikulum" sendiri.
Kurikulumnya hampir sepenuhnya merupakan copas (salin dan tempel) dari (madrasah) Dar al-Hadits di Dammaju, Yaman. Karena itu, kurikulum (sepenuhnya hanya pelajaran agama); pelajaran umum hanya mencakup bahasa Indonesia dan matematika (berhitung).
Selain itu, pesantren salafi Yamani tidak mengikuti penjenjangan pendidikan formal Indonesia. Mereka menyediakan TK, tahfidz al-Qur’an tingkat dasar, Tadrib al-Du’at (kader da’i), dan Tarbiyah al-Nisa’ (pendidikan putri).
Dengan model pendidikan ini, para santri pesantren salafi kelompok kedua tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang lebih tinggi di Indonesia. Mereka melanjutkan ke pesantren salafi yang menyediakan jenjang pendidikan lebih tinggi, atau pergi meneruskan pendidikan mereka ke Yaman.
Pesantren salafi berusaha membentuk pemahaman, cara pandang, dan perilaku hidup sehari-hari yang mereka yakini mengikuti Nabi Muhammad SAW dan salaf al-shalih. Para santri dididik untuk hidup sesuai dengan apa yang mereka sebut sebagai manhaj salafi, yang bersih dari apa yang mereka sebut "bid’ah".
Karena itu, para santri tidak diajar ikut upacara bendera, bernyanyi; tidak boleh mendengar musik atau menonton televisi atau melukis makhluk hidup. Mereka makan secara komunal, terdiri atas empat sampai lima orang mengelilingi nampan besar; memelihara janggut bagi santri laki, dan menggunakan cadar bagi santri perempuan.