Senin 19 Mar 2018 05:39 WIB

Penderitaan Warga Gaza yang Terlupakan

Krisis hati nurani warga dunia terjadi terhadap warga Palestina di Gaza.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Para pemimpin di Timur Tengah tampaknya kini lebih disibukkan dengan persoalan dalam negeri masing-masing. Kalaupun ada kepedulian dengan masalah-masalah regional, itu lebih karena akan berdampak—langsung maupun tidak langsung—dengan persoalan dalam negeri mereka.

Misalnya, soal Suriah, Kurdi, Yaman, pengucilan Qatar, masalah teroris, dan seterusnya. Setali tiga uang juga terjadi dengan para pemimpin dunia, termasuk pemimpin negara-negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim).

Palestina? Tampaknya mulai terlupakan. Hal inilah yang juga diteriakkan Dr Saeb Erekat, Sekretaris Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Dalam sebuah kolom di media al-Sharq al-Awsat, ia pun mengingatkan masyarakat internasional. Menurut dia, penderitaan warga Gaza merupakan krisis hati nurani manusia dan tanggung jawab masyarakat internasional untuk mengakhiri pendudukan Israel.

Sudah lebih dari 12 tahun—tepatnya 12 tahun, 1 bulan, 16 hari—Jalur Gaza diblokade Zionis Israel. Selama itu pula warga Gaza hidup sangat menderita di bawah kepungan penjajah, dari tindakan sewenang-wenang hingga kebutuhan vital sehari-hari yang sangat terbatas.

Lebih dari 2 juta warga Palestina kini tinggal di Gaza, sebuah wilayah kecil yang dikepung Israel, baik secara geografis maupun politik. Luas Gaza dua kali lipat wilayah Washington DC, tetapi warganya empat kali lebih banyak dari penduduk ibu kota Amerika Serikat itu.

Israel, si penjajah, mengepung Jalur Gaza melalui darat, udara, dan laut. Hubungan Gaza dengan dunia luar pun terputus. Para warga hampir setiap hari menjadi sasaran agresi dan serangan terorganisasi Israel.

Yang terjadi di Gaza kini bukan krisis kemanusiaan, tetapi lebih sebagai krisis hati nurani manusia di abad ke-21. Masyarakat internasional tidak boleh menutup mata terhadap yang menimpa bangsa Palestina, terutama warga Gaza. Penjajahan Zionis Israel yang menyebabkan penderitaan warga Gaza antara lain karena sikap diam masyarakat dunia.

Agresi Israel terakhir telah menyebabkan lebih dari 500 ribu warga Gaza kehilangan tempat tinggal, 2.100 jiwa meninggal dunia, termasuk anak-anak. Pembunuhan itu terjadi pada 2014 dan hanya dalam waktu 53 hari. Hanya ada satu rumah sakit yang selamat dari gempuran Israel. Rumah sakit yang terus bekerja untuk memberi perawatan medis kepada ribuan warga Palestina yang terluka.

Lalu, bisakah kita membayangkan bagaimana seandainya para warga New York atau Colorado hilang dari peta Amerika? Inilah pertanyaan yang diajukan Saeb Erekat. ‘’Itulah yang terus dilakukan penjajah Israel. Itulah yang dialami oleh warga Gaza selama 12 tahun masa blokade,’’ ujar dia menjelaskan.

Untuk membangun kembali Gaza yang telah hancur, para pemimpin Palestina, terutama Presiden Mahmoud Abbas, telah mengunjungi berbagai kota besar untuk bertemu para pemimpin dunia. Masyarakat internasional, termasuk lembaga-lembaga donor, juga telah berkerja keras membantu membayarkan berbagai tagihan biaya rekonstruksi Gaza.

Tagihan yang semestinya dibayarkan oleh Israel sebagai pihak yang telah membuat kehancuran dan kesengsaraan warga Gaza. Israel sang agresor yang terus berupaya melakukan permbersihan etnis warga Palestina.

Sayangnya, semua itu tidak berlangsung. Yang justru terjadi, pihak Palestina yang dipaksa mengikuti Konvensi Jenewa dan prinsip-prinsip hukum internasional lainnya.

Hukum dan perjanjian internasional yang tidak ditulis oleh orang-orang atau para pemimpin Palestina, tetapi oleh para pemimpin dunia. Sejauh ini, pihak Palestina tunduk pada hukum-hukum internasional serta seluruh resolusi Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.

Beberapa hari lalu, Pemerintah AS menyelenggarakan konferensi membahas “kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan rakyat di Jalur Gaza”. Konferensi ini diadakan setelah beberapa pekan sebelumnya United Nations Relief and Works Agency (UNRWA), sebuah lembaga PBB yang khusus mengurus bantuan untuk pengungsi Palestina, mengurangi dana bantuannya. Selama ini, 80 persen dana bantuan untuk warga di Gaza disediakan UNRWA.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement