Senin 24 Sep 2018 06:07 WIB

TGBnomics: Membumikan Islam Wasathiyah di NTB

TGB disejajarkan dengan Sri Mulyani, Rizal Ramli, dan Airlangga Hartatrto.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Indra J Piliang — kolomnis, peneliti, dan politisi Golkar — menyejajarkan TGB dengan Sri Mulyani Indrawati, Rizal Ramli, dan Airlangga Hartarto. Tentu dalam bidang kepakaran mereka soal ekonomi.

Ia menyebutnya TGBnomics. TGB dimaksud adalah Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi, yang pada 27 September lalu mengakhiri pengabdiannya sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk dua periode.

Saya terus terang agak penasaran membaca artikel Indra Piliang, yang mentahbiskan TGB yang pendidik dan pendakwah bergerlar doktor ilmu tafsir dari Universitas Al Azhar, Kairo, ini sebagai ekonom. Apalagi ia dianggap membawa paham atau aliran ekonomi tertentu, laiknya Tanomics, Hattanomics, Widjojonomics, dan Habibienomics.

Artikel itu ditulis Piliang beberapa pekan menjelang keputusan Presiden Jokowi memilih calon wakil presidennya untuk maju kembali (periode kedua) dalam pemilu mendatang. Dalam pandangan Piliang, bila Presiden Jokowi ingin memilih pakar ekonomi sebagai calon wakil presiden, maka telah tersedia minimal empat nama tersebut di atas — Sri Mulyani, Rizal Ramli, Erlangga, dan TGB.

Terlepas dari fakta Jokowi kemudian memilih tokoh yang bukan ekonom -- tapi dari kalangan ulama --, empat nama tersebut, dalam pandangan Piliang, laik dijadikan lokomotif penggerak ekonomi bangsa. Dalam tulisan ini saya tak hendak menjelaskan kiprah dan track record tiga nama pertama – Sri Mulyani, Rizal Ramli, dan Airlangga – dalam kancah perokonomian Indonesia. Jejak mereka dalam bidang ekonomi sudah jadi pengetahuan luas masyarakat.

Lalu bagaimana dengan TGB hingga hasil kerjanya selama jadi gubernur dua periode disebut TGBnomics?

TGB berbeda dengan tiga nama di atas, yang latar belakang, pendidikan, dan kiprah mereka selalu terkait dengan bidang ekonomi. TGB dibesarkan di lingkungan pesantren. Kakeknya, Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, merupakan pendiri Nahdlatul Wathan, ormas Islam terbesar di NTB, kini cabang-cabangnya menyebar di berbagai daerah Indonesia.

Pendidikan TGB pun bukan di jalur ekonomi. Ia menempuh sarjana hingga doktoral di Universitas Al Azhar, Mesir, di fakultas ushuluddin, jurusan tafsir. Dengan kata lain, selama kuliah ia tak bersentuhan dengan konsep-konsep ekonomi model Barat. Kalaupun ia belajar ekonomi, maka itu adalah dari sirah nabawiyah, sejarah Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan literatur keislaman lainnya, terutama Alquran dan Hadis.

Ekonomi Islam yang tidak boleh ada riba. Juga monopoli. Ekonomi Islam adalah rahmatan lil alamin. Orang boleh kaya sekaya-kayanya, tapi ada kewajiban berbagi melalui zakat, infak, sedekah, dan seterusnya. Kekayaan tidak boleh didewakan, tapi sebagai sarana beribadah.

Dengan konsep seperti itulah pondok-pondok pesantren yang didirikan kakeknya sejak dulu diajarkan kurikulum keagamaan yang kental melawan kolonialisme, feodalisme, dan mistisisme di kalangan para santrinya. Tahun lalu kakek TGB dianugerahi Pemerintah Jokowi sebagai pahlawan nasional. Pesantren-pesantren itu kini dikelola TGB dan keluarganya,

Mungkin karena itulah, Piliang memiripkan pembangunan ekonomi TGB (TGBnomics) dengan Tanomics. Yang terakhir ini merujuk pada gagasan ekonomi Tan Malaka pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bagi Tan, kolonialisme dalam bentuk pendudukan hanyalah satu di antara tiga musuh utama bangsa Indonesia. Dua lagi adalah feodalisme (ekonomi) dan mistisisme (logika dan dialektika). Dalam pandangan Tanomics, selama dua musuh tetap bercokol, bangsa Indonesia tidak akan merdeka sepenuhnya.

TGB sendiri menolak bila TGBnomics disebut sebagai paham, aliran, atau konsep baru ekonomi. Hal ini ia sampaikan saat peluncuran buku ‘TBGnomics: Ikhtiar NTB untuk Indonesia’ di Jakarta, 14 September lalu, tiga hari sebelum ia melepaskan pengabdiannya memimpin NTB.

Buku TGBnomics, menurut TGB, berisikan pengalaman 10 tahun memimpin NTB. Sepuluh tahun dengan catatan emas: ada pertumbuhan ekonomi (7,1 persen), ada pemerataan, dan ada keadilan. Angka pengangguran berhasil ditekan menjadi 3,32 persen dan angka kemiskinan diturunkan dari 24 persen sepuluh tahun lalu menjadi sekitar 10 persen kini.

Bagi TGB, pertumbuhan ekonomi tidak banyak artinya bila hanya dinikmati segelintir orang. Justru hal ini akan memperbesar jurang kaya dengan miskin, yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial.

Pertumbuhan ekonomi harus dibarengi pemerataan berkeadilan. Di sinilah dibutuhkan kepemimpinan yang kuat. Pemimpin yang mampu menstranformasikan visi, misi, gagasan, dan idenya kepada masyarakat.

Bagi TGB, pembangunan tidak boleh hanya bertumpu pada fisik saja. Yang justru lebih penting adalah pembangunan manusia seutuhnya, dalam arti mengubah sikap, karakter, dan perilaku. Dengan pembangunan manusia seperti ini, ia pun bisa dengan mudah memberdayakan dan mengajak semua pihak untuk bekerja sama membangun NTB.

Dari rakyat kecil, tokoh adat, ulama, para tuan guru hingga para akademisi, birokrasi, dan lainnya. Hal ini dipermudah dengan latar belakang dia yang komplet: ulama sekaligus umara. Politisi, ahli agama, intelektual, legislator, dan birokrat yang menyatu dalam sosok yang santun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement