Sabtu 06 Apr 2019 05:47 WIB

Simbol Jari yang Diharamkan

Simbol-simbol jari pada masa pilpres ini begitu sensitif.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Dalam satu pertemuan bisnis di sebuah café, seperti biasa kami melakukan foto bersama untuk merekam suasana seusai pertemuan. Akan tetapi, terjadi kericuhan kecil sebelum kamera ditekan.

“Eh, jangan jempol. Nanti disangka kampanye paslon nomor satu.”

Yang lain cepat menambahi, “Duh jangan dua jari, nanti dikira pendukung paslon nomor dua.”

Kami semua tertawa lalu sepakat berpose dengan mengepalkan tangan, pertanda semangat. Keributan seperti ini seingat saya belum pernah ada, tidak dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

No 1,2,3, sudah ada sejak pemilu puluhan tahun lalu, tapi simbol jari-jari tidak pernah sesensitif itu. Padahal berfoto dengan mengacungkan jempol sangat lazim untuk memberi ekspresi semangat, juara, hebat, atau top.

Nyaris semua networker, dan anggota MLM berfoto dengan gaya serupa.

Mengangkat satu jari telunjuk juga sering dipakai. Satu jari sebagai simbol tauhid. Dalam banyak demo masyarakat Muslim misalnya, mereka sering mengangkat satu jari sambil menggenggam quran di sebelah tangan.

Bagaimana dengan dua jari? Bergaya dengan dua jari, mengangkat jari telunjuk dan jari tengah bersamaan, juga merupakan pose universal, lazim dilakukan sebagai lambang huruf V atau victory juga bermakna “peace” atau simbol perdamaian.

Para turis dan peminat Korea pun melakukannya. Sebagian besar tokoh masa kini dari berbagai belahan dunia pastinya pernah berfoto dengan tangan dua jari membentuk huruf V.

Saking mendunianya pose tersebut, pejabat IMF sempat kebingungan saat dianjurkan tidak memakai jari berbentuk V ketika foto bersama setelah satu pertemuan.

Sementara sosialiasi literasi yang digalakkan tahun-tahun belakangan ini, menggunakan dua jari: jempol dan telunjuk sebagai simbol huruf L atau Literasi. Namun, bahkan dalam perhelatan akbar perbukuan di Tanah Air belum lama ini, simbol tersebut dilarang digunakan sebab dianggap sensitif terhadap kampenye pemilu.

Fanatisme pilpres saat ini seolah membentuk aturan tersendiri. Adanya gerakan jari-jari ‘haram’ dalam momen tertentu.

Harus diakui persaingan pilpres kali ini sangat terasa. Terlihat dari banyaknya meme dan canda satire yang menggambarkan betapa pilpres benar-benar memecah dua kubu dengan tegas.

Misalnya, teman lama dipertemukan oleh Facebook. Didekatkan dengan Whatsapp. Dipisahkan oleh pilpres.

Atau ada warga yang membuat spanduk merespons perpecahan yang terasa: Bukan capres no.1 atau no. 2 yang menjenguk kamu ketika sakit, melayat kamu ketika meninggal, tapi teman, tetangga, dan kerabat. Karena itu, jangan lupakan tetangga, teman, dan saudara karena pilpres.

Di satu sisi, fenomena ini positif karena menunjukkan tingginya kesadaran rakyat akan pentingnya pilihan politik. Akan tetapi di sisi lain, juga berpotensi sebagai benih perseteruan yang panjang.

Untung saja, hal ini disadari kedua calon presiden dan wakil presiden. Karena itu, mereka menunjukkan keakraban, persahabatan, dan persaudaraan di hadapan publik. Sehingga memberi kesejukan ke akar rumput.

Masih ada dua agenda penting yang harus dijalankan yang akan membawa angin kesejukan. Pertama, semoga tidak ada pihak-pihak yang mengkhianati pilihan rakyat.

Kejujuran menjadi sangat penting dalam mengungkap hasil pemilu. Sehebat apa pun sebuah sistem, bisa dimanipulasi.

Akan tetapi, pada era digital seperti saat ini semua meninggalkan jejak hingga terkontrol dengan mudah. Jika terjadi kecurangan, akan sangat riskan terbongkar.

Tidak hanya rakyat, saya kira dunia pun berharap, kedua kandidat memberi pesan kuat kepada para pendukungnya untuk menjalankan pemuilu yang jujur tanpa intrik demi kepentingan bersama.

Kedua, presiden dan wapres terpilih semoga tidak mengkhianati amanah yang dititipkan rakyat.

Siapa pun pemenangnya, harus benar-benar ingat bahwa mereka terpilih melalui keringat dan air mata rakyat. Pegang teguh janji dan komitmen yang diucapkan untuk mengabdikan diri demi kepentingan rakyat.

Terkait jari-jari kita dalam berfoto, kiranya seusai pemilu nanti, tidak ada lagi simbol-simbol jari yang mendapat izin untuk boleh atau tidak ditunjukkan, dan segenap masyarakat bebas kembali dalam berekspresi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement