Oleh: Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Gagasan Iqbal tentang proyek Pakistan disampaikannya pada 29 Desember 1930 dalam sebuah pidato terkenal di Allahabad, delapan tahun sebelum dia wafat. Negara Pakistan merdeka terbentuk pada 15 Agustus 1947 sebagai sebuah bangsa dan negara baru yang berpisah dengan India. Ketika pidato bersejarah itu disampaikan, Iqbal mencatat jumlah penduduk Muslim India berada pada angka 70 juta.
Boleh jadi Iqbal tidak pernah membayangkan bahwa proyek impiannya itu tidak pernah terwujud seperti yang dia inginkan. Pakistan dalam perkembangan sejarahnya telah terlepas dari prinsip universalisme Islam. Tidak ada bedanya Pakistan dengan negara-negara bangsa lainnya. Bahkan jauh lebih parah, Pakistan tidak mampu mempersatukan suku-suku yang membentuk bangsa dan negara itu. Maka tidaklah mengherankan Pakistan ditengarai sebagai sebuah negara gagal.
Mengapa demikian? Saya membacanya karena gagasan visioner Iqbal tidak dipahami dengan baik oleh para elite Pakistan setelah negara itu terwujud. Atau Iqbal datang terlalu awal, saat masyarakat Pakistan masih sebagian besar buta huruf dengan pemahaman Islam yang masih dangkal di samping beban sejarah yang teramat berat. Bahwa puisi-puisinya dihafal dan dilombakan memang benar, tetapi filosofi yang termuat dalam puisi itu tidak dipahami dengan benar dan cerdas sehingga sebuah gagasan besar dari seorang penyair-filsuf dibiarkan tergantung di awan tinggi.
Di sinilah gagasan Iqbal itu menemui nasib tragis. Saya yang dulu mengagumi Pakistan sebagai contoh negara Islam modern harus menghela napas panjang, karena ternyata telah berujung pada sebuah kegagalan yang memilukan. Kita mewarisi sebuah Islam yang sudah lama tercemar oleh daki-daki sejarah dalam bentuk sunnisme, syi’isme, dan kharijisme, buah dari sengketa politik kekuasaan elite Arab Muslim generasi awal pasca-nabi, sebagaimana telah muncul dalam Resonansi terdahulu dalam beberapa seri.
Kegagalan Pakistan mewujudkan gagasan besar Iqbal punya dampak serius terhadap berbagai gerakan politik Islam di muka bumi. Ternyata membangun sebuah negara dengan merek Islam atau yang sejenis adalah ibarat meraba dalam gelap gulita atau bahkan, sebuah utopia dari mereka yang putus asa berhadapan dengan tantangan modernitas yang kejam. Dalam perspektif inilah saya pernah mengatakan bahwa upaya mendirikan sebuah khilafah pada era modern adalah pekerjaan sia-sia yang menguras energi untuk sesuatu yang mustahil. Dalil-dalil agama yang dipakai oleh pengusungnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam timbangan ilmiah kontekstual.
Kembali kepada nyanyian Iqbal. Apakah Iqbal menolak peradaban Barat in toto? Ternyata juga tidak. Pendekatan induktif (berdasarkan observasi dan eksperimen) dari peradaban Barat modern dinilai Iqbal tidak berlawanan dengan semangat Alquran yang anti klasik sebagai warisan khazanah Yunani kuno yang serbadeduktif. Iqbal menulis: “…metode observasi dan eksperimen dalam Islam bukan sebagai buah kompromi dengan pemikiran Yunani kuno, tetapi sebagai hasil peperangan intelektual panjang dengannya…[sebuah warisan] yang telah mengaburkan visi Muslim tentang Alquran.” (Lih. Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Kashmiri Bazar-Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1971, hlm. 131).
Barat yang bertumpu pada akal semata bagi Iqbal tidak akan membawa kestabilan untuk sebuah peradaban. Inilah sebuah dunia cita-cita yang dibayangkan Iqbal untuk masa depan dalam bentuk perkawinan antara warisan Timur dan warisan Barat seperti terbaca dalam bait di bawah ini:
Di Barat, intelek adalah sumber kehidupan.
Di Timur, Cinta adalah dasar kehidupan.
Melalui Cinta, Intelek tumbuh berkenalan dengan Realitas,
Dan Intelek memberikan stabilitas kepada pekerjaan Cinta,
Bangkitlah dan letakkan fondasi sebuah dunia baru,
Melalui perkawinan Intelek dengan Cinta.
(Lih. kutipan William O. Douglas dalam Hafeez Malik (ed.), //Iqbal, Poet-Philosopher of Pakistan//. New York-London: Columbia University Press, 1971, hlm. x).
Saya tidak tahu untuk berapa lama lagi kesadaran kemanusiaan sejagat mau bergerak ke jurusan dunia cita-cita seperti yang digagas Iqbal. Pada era politik pasca-kebenaran ini, gagasan-gagasan besar seperti tak berdaya, tetapi tentu akan datang masanya kelak, umat manusia akan talak tiga dengan yang serbadangkal dan palsu. Maka pada saat itu, perkawinan antara Intelek dan Cinta bukan sebuah kemustahilan!