REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Tindakan dan pernyataan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu makin membuktikan Israel adalah negara ekspansionis bin kolonialis alias negara penjajah. Yang terbaru, ketika dalam sebuah kampanye pada Selasa lalu (10/9/2019) ia berjanji akan menjadikan wilayah-wilayah di Lembah Yordania, utara Laut Mati, dan permukiman Yahudi di Tepi Barat sebagai bagian dari Israel. Semua itu akan ia lakukan begitu ia terpilih kembali menjadi PM.
“Ada satu tempat (lagi) di mana kita dapat menerapkan kedaulatan Israel tepat setelah pemilihan umum,” ujar Netanyahu dalam pidato yang disiarkan televisi pada Selasa malam lalu. Ia pun menunjuk sebuah peta di depannya untuk menggambarkan rencananya. “Jika saya menerima mandat dari kalian untuk melakukannya, saya menyatakan, hari ini tekad saya untuk membangun kedaulatan Israel atas Lembah Yordania dan Laut Mati Utara.”
Untuk membuktikan ia tidak main-main dengan janjinya, kemarin, PM Netanyahu pun memindahkan rapat rutin kabinetnya ke sebuah permukiman Yahudi di Lembah Yordania. Tindakannya ini juga sekaligus membuktikan tekad Netanyahu untuk mencaplok wilayah-wilayah luas di Tepi Barat sebagai kedaulatan Israel.
Pernyataan Netanyahu bisa jadi hanya janji-janji kampanye, beberapa hari
menjelang pemilu ulang pada 17 September besok. Terutama, untuk mendulang suara dari kelompok sayap kanan. Pada April lalu partainya, Likud, gagal memenangkan suara untuk mengantarkan Netanyahu kembali menjadi PM.
Apalagi, Netanyahu kini juga diterpa berbagai skandal suap dan korupsi, melibatkan dirinya dan sang istri yang bisa saja mengantarkannya ke penjara, bukan ke kantor PM. Karena itu, ia perlu senjata pamungkas untuk mendulang suara, yaitu janji-janji untuk mencaplok Lembah Yordania sebagai bagian dari Israel.
Kita belum tahu bagaimana hasil pemilu Israel yang diselenggarakan besok. Yang menjadi perhatian saya justru apakah janji-janji Netanyahu itu sekadar pendulang suara atau benar-benar dilaksanakan begitu dia menang dan kembali menjadi PM.
Dalam sejarah Israel sejak merdeka pada 1948, negara ini memang ekspansionis bin kolonialis, apa pun partainya dan siapa pun perdana menterinya. Mereka ingin terus mengcengkeram dan menguasai wilayah-wilayah yang didudukinya, lalu menjadikannya sebagai wilayahnya. Negara Israel sendiri sebenarnya berdiri di atas wilayah Negara Palestina.
Pada Perang Enam Hari tahun 1967, Israel berhasil menduduki Tepi Barat, Madinatu al Quds (Yerusalem Timur), Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan (Suriah). Lalu, pada 1980 Israel secara resmi mengklaim Yerusalem Timur sebagai bagian dari wilayahnya. Pada 1981 Golan pun diakuisisi dan dijadikan wilayah Israel. Yang terbaru adalah rencana pencaplokan Lembah Yordania tadi.
Banyak pihak memandang langkah Netanyahu punya beberapa tujuan. Antara lain, selain untuk mendulang suara dalam pemilu, juga untuk memastikan kontrol terhadap Lembah Yordania, Laut Mati, dan Tepi Barat. Hal ini dianggap penting bagi Israel guna mencegah berdirinya Negara Palestina merdeka di masa mendatang.
Apalagi, tim Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang diketuai menantunya, Jared Kushner, kini sedang merancang sebuah kesepakatan untuk menciptakan perdamaian Timur Tengah. Kesepakatan versi Trump yang disebut the Big Deal of the Century ini pastinya akan dipaksakan untuk diterima pihak-pihak terkait, utamanya para pemimpin negara-negara Arab dengan landasan kepentingan Israel adalah the first. Kepentingan Israel di sini tentu termasuk penguasaan terhadap wilayah-wilayah Arab, termasuk Lembah Yordania.
Lembah Yordania sendiri mencakup sepertiga wilayah Tepi Barat. Sebagian besar terletak di sepanjang sisi timur perbatasan Yordania dan berada di wilayah yang dikenal dengan Area C Tepi Barat yang diduduki Israel. Secara faktual, penjajah Israel kini menguasai 60 persen wilayah Tepi Barat.
Dari segi ekonomi, Lembah Yordania sangat cocok untuk pertanian, pembangkit listrik, dan proyek-proyek lainnya. Banyak perusahaan Israel yang berkantor di sini, terutama yang terkait dengan pertanian. Sementara, keberadaan Laut Mati sangat menarik bagi para wisatawan, di samping kemungkinan lain, misalnya, ekstraksi garam dan mineral dari sana. Selain untuk kepentingan ekonomi, Israel juga memanfaatkan wilayah itu untuk operasional militer.
Langkah Netanyahu untuk menjadikan Lembah Yordania sebagai bagian dari Israel tentu akan sangat berpengaruh negatif kepada sekitar 65 ribu warga Palestina yang telah lama tinggal di sana. Sebaliknya, 11 ribu warga Israel yang tinggal di Lembah Yordania dan utara Laut Mati itu tentu menyambut dengan sukacita.
Politisi sayap kanan Israel telah lama menganggap kawasan itu sebagai wilayah strategis yang tidak boleh ditinggalkan. Namun, para pemimpin Palestina berpandangan, kontrol Israel atas Tepi Barat, termasuk Lembah Yordania dan utara Laut Mati, akan secara efektif mengakhiri kemungkinan Negara Palestina yang merdeka.
Berbagai respons keras atas tindakan dan pernyataan Netanyahu pun muncul dari mana-mana. Mulai dari para pemimpin Palestina, negara-negara Teluk, negara-negara Arab, Eropa, hingga negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan tokoh-tokoh dunia lainnya. Intinya, tindakan dan pernyataan Netanyahu bukan hanya menghancurkan solusi dua negara, melainkan juga menghancurkan semua peluang untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, terutama perdamaian Palestina-Israel.
Mereka juga menganggap pernyataan Netanyahu untuk memberlakukan kedaulatan Israel atas semua wilayah di Lembah Yordania, utara Laut Mati, dan permukiman Yahudi di Tepi Barat, sebagai hal yang membahayakan perdamaian dunia. Tindakan itu juga mereka nilai telah melucuti hak-hak bangsa Palestina, melanggar prinsip-prinsip hukum internasional, piagam PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), dan resolusi-resolusi yang terkait, termasuk resolusi Dewan Keamanan PBB.
Untuk merespons pernyataan Netanyahu, para menteri luar negeri negara-negara OKI kemarin menggelar pertemuan darurat di Jeddah atas undangan Arab Saudi. Hingga kolom ini saya tulis, belum diketahui hasilnya. Namun, melihat sidang-sidang OKI sebelumnya, pertemuan itu sudah bisa ditebak hasilnya. Yakni, akan merilis pernyataan-pernyataan keras untuk mendukung penuh perjuangan bangsa Palestina dan mengutuk tindakan para pemimpin Israel. Atau, istilah anak muda hanya NATO, no action talk only. Tidak ada tindakan nyata.
Apalagi, negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab, Kerja Sama Teluk, dan bahkan OKI, selama ini seperti macan pincang. Antaranggota tidak akur. Antarmereka tidak ada kesamaan kata dan perbuatan. Bahkan, beberapa negara Arab, seperti Arab Saudi telah menganggap Israel tidak lebih membahayakan daripada Iran, misalnya.
Kelemahan dan perpecahan negara-negara Arab dan Islam (mayoritas berpenduduk Muslim) ini tampaknya telah lama dibaca oleh para pemimpin Israel. Bagi mereka, yang terpenting adalah dukungan Presiden AS. Apalagi, yang bersinggasana di Gedung Putih kini adalah seorang Donald Trump yang merupakan pendukung utama Israel.
Coba lihat apa yang bisa dilakukan negara-negara Arab dan Islam, bahkan PBB, ketika Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke kota tua itu? Juga, saat Trump mengakui Dataran Tinggi Golan milik Suriah sebagai bagian dari Israel. Negara-negara Arab dan Islam hanya NATO, tidak lebih. Kondisi seperti ini tentu memprihatinkan kita. Prihatin dengan nasib bangsa Palestina!