REPUBLIKA.CO.ID, Seperti sebagian ibu berdarah Betawi lain di Jakarta, Zharoh, 45 tahun, memiliki agenda rutin ke pengajian dan jarang absen mengikuti kegiatan sosial yang digelar rutin di kampungnya. Bedanya ia seorang guru bantu yang anti-ngerumpi dan sebaliknya gemar melahap koran yang dilanggan suaminya.
Wanita yang menjadi kepala sekolah TK Putra Lestari, di Komplek DPR II, Kebon Jeruk itu adalah salah satu guru bantu yang getol turun ke jalan pada era Gubernur DKI Fauzi Bowo, (2007-2012). Ia gusar. Gaji guru bantu di Jakarta yang berada di bawah UMR, Rp 400-700.00 sering kali telat dibayarjan bahkan hingga 4 bulan. Itu pun cuma satu masalah, belum soal kejelasan status.
Berkali-kali mendesak, mendemo, namun upayanya membentur tembok. “Fauzi saat itu tidak bersahabat dengan kami,” ujarnya. Situasi itu memunculkan wacana di kalangan guru bantu. Satu-satunya jalan mengubah kondisi adalah dengan memilih gubernur baru. Saat itu telah muncul nama Joko ‘Jokowi’ Widodo yang masuk bursa calon gubernur DKI. Ia pun langsung menjadi perhatian publik ibu kota.
Nama jokowi kian moncer dan menjadi santapan media ketika pemberitaan konflik kebijakan antara dia dan gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mencuat. Kebijakan itu berputar pada pemanfaatan lahan dengan bangunan bekas pabrik es Saripetojo.
Pada 2011, pemilik lahan, sebuah perusahaan lokal dari Jawa Tengah, Citra Mandiri berencana membangun pusat belanja di kawasan ini. Rencana itu mendapat protes keras dari warga. Gubernur Bibit telah memberi izin dan surat rekomendasi, namun begitu masuk solo, wali kota saat itu, Joko Widodo menolaknya dan mendukung protes warga.
Alasannya di sekitar lokasi tersebut terdapat sejumlah pasar tradisional. Selain itu, bangunan bekas pabrik es tersebut adalah bangunan cagar budaya. Sementara, saat itu Jokowi sedang menjalankan program revitalisasi dan relokasi pasar tradisional. Jokowi menentang rekomendasi gubernur karena keberadaan pusat perbelanjaan bisa mematikan pasar-pasar rakyat yang sedang ditata kembali oleh Pemkot Solo.
Gubernur Bibit mencemooh sikap Jokowi dan menyebut sang wali kota itu bodoh karena menolak potensi pemasukan APBD dari pajak pusat perbelanjaan. Jokowi bergeming.
Bibit melakukan kesalahan dalam kalkulasi politik ketika mencibir Jokowi. Konstalasi masyarakat seusai era Soeharto, jauh bergeser. Warga lebih berani menyuarakan pendapat, lebih indepen dan kritis menyikapi situasi politik tanah air. Kondisi itu pun sangat terkait erat dengan iklim pers yang kian bebas.
Saat pertikaian mencuat, warga bersorak mendukung Jokowi, bahkan saat itu muncul demo tunggal dari seorang aktivis LSM di Solo membawa dua spanduk yang ia tenteng di kedua lengannya. Spanduk di kiri bertuliskan “Sak bodho-bodhone Wali Kotaku” (Sebodoh-bodohnya wali kota saya) dengan gambar foto close-up Jokowi. Sementara di spanduk kanan berbunyi “Isih Guoblok Gubernurku” (masih goblok gubernurku).