Senin 05 Feb 2018 07:19 WIB

Mengapa Ada Siswa Brutal kepada Guru?

Ilustrasi kekerasan.
Ilustrasi kekerasan.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Bagong Suyanto, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Kisah guru yang hidup pas-pasan dengan gaji yang terbatas sudah sering kita baca dan dengar di berbagai media massa. Namun, kali ini yang terjadi sunggguh sangat memprihatinkan.

Seorang siswa dilaporkan melakukan penganiayaan kepada gurunya. Hanya gara-gara mencolek pipi salah seorang siswa dengan cat warna karena siswa yang bersangkutan menganggu teman-temannya ketika pelajaran berlangsung, seorang guru SMA Negeri 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur, menjadi korban tindak kekerasan siswanya sendiri.

Kasus penganiayaan yang dialami guru dan berujung pada kematian korban ini membuat banyak pihak prihatin. Bayangkan, seorang siswa seharusnya menaati tata tertib belajar di kelas. Yang terjadi dalam kasus ini malah sebaliknya, siswa yang bersangkutan menganiaya dan menyebabkan guru yang malang itu mengalami patah tulang leher, koma, kemudian meninggal.

Kasus penganiayaan yang dilakukan siswa kepada gurunya ini, bukan saja mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam pengembangan etika dan tata krama belajar di sekolah. Kenyataan ini sekaligus juga menunjukkan tentang perlunya pendidikan karakter bagi siswa. Pendidikan di sekolah bukan sekadar proses belajar-mengajar yang murni untuk kepentingan akademik. Dalam kegiatan di sekolah seharusnya juga dikembangkan etika dan sopan santun tentang seharusnya siswa bersikap dan menghormati gurunya.

Faktor penyebab

Faktor yang menjadi penyebab seorang siswa berani dan tega bertindak brutal menganiaya gurunya sendiri, sudah barang tentu bermacam-macam. Di luar kasus yang terjadi di Sampang ini, kasus siswa yang berani melawan dan melakukan tindak kekerasan kepada gurunya sendiri tidak sekali-dua kali terjadi.

Secara garis besar, faktor pertama yang menyebabkan siswa melakukan aksi kekerasan kepada gurunya sendiri itu bersifat psikologis. Yang bersangkutan cenderung berkepribadian impulsif dan acap kali kesulitan mengendalikan emosi. Kondisi psikis ini melengkapi faktor sosialisasi dan subkultur kekerasan yang berkembang di habitat sosialnya.

Harga diri yang terlalu tinggi dan ditambah kepribadian yang kurang matang, sering menyebabkan seseorang tiba-tiba terpicu untuk melakukan aksi brutal dengan menganiaya figur guru yang seharusnya dihormatinya, meski karena hal sepele. Berbeda dengan siswa lain yang kebanyakan segan berbuat nakal dan tidak berani melawan gurunya, siswa yang memiliki kepribadian keras dan terbiasa tumbuh dalam lingkungan sosial yang familiar dengan kekerasan lebih berpeluang untuk melakukan tindak kekerasan dan menganiaya orang lain.

Faktor kedua, berkaitan dengan arah perkembangan iklim pembelajaran yang belakangan ini cenderung makin kompetitif, impersonal, dan kurang membuka kesadaran siswa tentang arti penting kohesi sosial, solidaritas, dan toleransi. Pendidikan karakter--pelajaran tentang budi pekerti--sering kali tidak dikembangkan dengan serius. Hal ini terjadi karena banyak sekolah yang lebih mementingkan siswa sukses menempuh ujian nasional, kemudian dapat diterima di PTN terkenal sebagai representasi reputasi sekolah.

Kasus bullying di beberapa sekolah yang dilakukan sejumlah siswa sempat menjadi viral di media sosial. Antara siswa satu dan siswa lain, yang seharusnya mengembangkan kegiatan bersama dan membangun keakraban, ternyata justru tega memplonco dan mengaiaya gara-gara hal sepele. Tidak sedikit pula siswa yang tega memalak temannya sendiri hanya karena ingin mendemonstrasikan bahwa ia lebih jagoan dan lebih berkuasa daripada teman-temannya yang lain.

Faktor ketiga adalah kurang dikembangkannya proses pembelajaran yang mampu menarik minat dan antusiasme siswa untuk terlibat aktif selama pelajaran berlangsung di kelas. Proses pembelajaran yang idealnya bersifat joyfull learning, sering malah berjalan menjemukan, dan bahkan menyubordinasi siswa. Akibatnya siswa kehilangan gairah terlibat dalam proses pembelajaran di kelas.

Kehadiran guru-guru yang tidak mampu berkreasi dan mengembangkan metode pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, pada akhirnya menyebabkan aktivitas belajar di kelas menjadi kering dan tidak menarik bagi siswa. Di titik ini, jangan heran jika ada sebagian siswa yang membunuh kejenuhannya di kelas dengan berulah yang macam-macam--yang terkadang keluar dari batas-batas etika.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement