REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khairil Miswar *)
Ada rasa miris ketika mendengar puisi yang dibacakan Sukmawati Soekarnoputri beberapa hari lalu. Video puisi tersebut sampai saat ini masih viral dan tersebar luas. Tidak hanya viralisasi video, kecaman dan gerak protes pun terus bermunculan terhadap putri Bung Karno tersebut. Sukmawati pun tersandung dengan tuduhan melecehkan agama Islam.
Dalam puisi bertajuk “Ibu Indonesia”, imajinasi Sukmawati terlihat liar, bahkan “sadis” sebab ia telah menusuk ke ulu hati umat Islam. Di antara bait-bait puisinya tersebut, diakui atau pun tidak, Sukmawati telah menoreh luka terdalam di hati umat Islam. Sadar ataupun tidak, Sukmawati telah berlindung di balik sastra untuk kemudian menyerang simbol-sombol agama yang dianggap sakral oleh umat Islam.
Terkait sikap sinisnya terhadap cadar mungkin masih debatable dan dapat didiskusikan, tetapi tudingannya terhadap azan, yang notabene adalah “sakral”, tentunya sulit diterima. Sebab, ia adalah bentuk seruan kepada umat untuk bermunajat kepada Tuhannya. Dalam hal ini, sikap apologis dalam bentuk apa pun yang ditunjukkan oleh Sukmawati menjadi tidak bermakna.
Sukmawati dengan sengaja telah mengonfrontasi antara azan dan kidung (nyanyian). Dengan kata lain, Sukmawati melalui puisinya telah melakukan perbandingan yang tidak setara. Kidung ibu Indonesia adalah seni belaka, sementara azan bersifat religius sehingga tidak selayaknya dibenturkan.
Dalam kajian teologi, azan adalah sakral sebab ia merupakan manifestasi dari keyakinan seseorang terhadap Tuhan, sementara kidung ibu Indonesia berstatus profan. Sebab, ia sama sekali lepas dari konteks keyakinan dan bersifat duniawi. Dalam hal ini, membandingkan aspek sakral dengan aspek profan adalah tindakan latah, untuk tidak menyebut bodoh.
Sementara itu, dalam kajian sosiologis, membenturkan aspek seni dan religiusitas dapat berdampak pada munculnya reaksi sosial, dalam hal ini umat Islam yang menjadi sasaran utama dalam puisi Sukmawati. Di sini terlihat lemahnya kadar kebinekaan yang dimiliki oleh seorang Sukmawati yang notabene adalah putri dari pelopor kebinekaan, Bung Karno.
Uniknya, Sukmawati tetap berkilah bahwa apa yang dilakukannya bukanlah penistaan dan tidak menyinggung SARA, melainkan hanyalah guratan rasa dari ibu-ibu di beberapa daerah yang kemudian dikemasnya dalam bait-bait puisi. Anehnya, dalam pernyataan lainnya, dia menyebut isi puisi itu adalah pendapat pribadinya sebagai budayawan. Tanpa sadar, dua pernyataan ini saling berbenturan. Bahkan, Sukmawati juga menghadirkan kebingungan melalui pernyataannya yang menyebut bait-bait puisinya sebagai realitas Indonesia.
Sukmawati juga menampik tindakan penistaan terhadap azan dengan menekankan pada suara si muazin yang menurut dia tidak semerdu alunan kidung ibu Indonesia. Di sini, sekali lagi, Sukmawati telah membuat konsklusi yang keliru. Sebab, azan bukanlah seni suara layaknya kidung ibu Indonesia, melainkan seruan (panggilan) yang sama sekali tidak terikat dengan “keindahan” apalagi “kemerduan”.
Mencermati puisi Sukmawati yang menghebohkan itu, penulis berkesimpulan bahwa Sukmawati telah melakukan “politisasi” sastra guna menyudutkan umat Islam Indonesia. Mungkin (sekadar asumsi), Sukmawati sudah terlebih dahulu berpikir jika ucapan tersebut disampaikan di luar konteks sastra, gerak perlawanan umat Islam akan masif. Oleh sebab itu, kalimat-kalimat sensitif ini dikemasnya dalam puisi yang notabene berada dalam ruang sastra. Dengan demikian, jika pun kemudian terjadi gejolak sosial, dia masih bisa menyelamatkan diri dengan bersembunyi di balik “kekeramatan” sastra.
Dalam pernyataannya, Sukmawati juga beberapa kali mengulang-ulang bahwa dia adalah budayawati. Di sini terlihat ada upaya dari Sukmawati untuk menyelamatkan bait-bait puisinya yang agresif dengan menjadikan kebudayaan sebagai selimut, untuk tidak menyebut topeng. Dengan kata lain, Sukmawati telah berlindung di balik sastra dan kebudayaan.
Jika pola-pola “penyerangan” terhadap SARA berbalut sastra sebagaimana telah dipraktikkan Sukmawati ini dibiarkan, atau mungkin dilindungi oleh negara, yakinlah suatu saat keberagaman yang selama ini dikampanyekan akan segera menemui ajalnya. Bukan tidak mungkin pula, “mitos” Indonesia bubar pada masa depan akan benar-benar menjadi kenyataan.
Mengakhiri artikel ini, kita berharap kepada pemerintah agar menegakkan hukum di Indonesia seadil-adilnya, tidak hanya untuk kepentingan politik kekuasaan, tetapi juga untuk terjaganya keberagaman di Ibu Pertiwi.
Bireuen, 03 April 2018
*Penulis adalah Direktur POeSA Institute, penulis buku Syariat dan Apa Ta’a