REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Muhammad Fahmi, Dosen IAIN Surakarta.
Peristiwa Isra Mi’raj telah menjadi hari libur nasional di negara kita. Dalam masyarakat kita, momen Isra Mi’raj biasanya diperingati dengan pelbagai rangkaian perayaan hari besar keragaman.
Kegiatan tersebut mulai dari pengajian di kampung-kampung sampai kota, perlombaan-perlombaan yang bernuansa Islami, penampilan kesenian Islam, bazar busana Muslim, dan kegiatan lainnya yang bernuansa Islam.
Bahkan pada tingkat negara, peristiwa ini biasanya diperingati dengan menggelar acara peringatan Isra Mi’raj di istana negara. Singkatnya, Isra Mi’raj telah dijadikan sebagai event tetap tahunan yang selalu diperingati, baik oleh negara maupun masyarakat.
Pertanyaannya, apakah Isra Mi’raj, sebagai peristiwa yang saban tahun diperingati, telah benar-benar kita hayati maknanya? Dalam tulisan ini, penulis menyajikan perspektif Islam tentang peristiwa ini dan mengupas pro-kontra seputar peristiwa tersebut.
Mandat Isra Mi’raj
Pada umumnya, umat Islam sedikit banyak sudah mengetahui bahwa dari peristiwa Isra Mi’raj inilah mandat kewajiban shalat wajib lima waktu bagi umat Islam dimulai.
Dalam sehari semalam, umat Islam diwajibkan melakukan shalat Subuh dua rakaat, shalat Zhuhur pada waktu siang sebanyak empat rakaat, salat Ashar empat rakaat pada waktu sore, shalat Maghrib tiga rakaat pada waktu petang, dan diikuti shalat Isya’ pada malam harinya sebanyak empat rakaat.
Allah SWT berfirman, ‘’Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (QS al-Isra: 78).
Mengapa shalat diwajibkan? Banyak jawaban yang bisa diberikan, tapi salah satunya, shalat merupakan media untuk mencapai kesalehan spiritual individual, hubungannya dengan Allah.
Shalat juga menjadi sarana untuk menjadi keseimbangan tatanan masyarakat yang egaliter, beradab, dan penuh kedamaian. DR Alexis Carrel, penerima Nobel dan pakar kedokteran Barat, dalam bukunya Man the Unknown menyatakan, “Apabila pengabdian, shalat dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut”.
Pernyataan tersebut paralel dengan Firman Allah dalam ayat sebagai berikut, “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (QS al-Ankabut: 45).
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana pemaknaan Isra Mi’raj dalam konteks Indonesia? Penulis kira, ajaran Islam itu harus hidup dalam perilaku pengikutnya dan mewarnai perilaku bangsa.
Namun, sangat disayangkan saat ini agama hanya dijadikan “ritual-formal’ yang menghiasi kalender seremonial negara, tapi kosong dari implementasi nilai-nilai dan maknanya dalam prakis sosial dan penyelenggaraan negara.
Kita sekarang memang sudah mengerjakan shalat, tapi gagal dalam “mendirikannya”. Redaksi Alquran adalah “dirikanlah” bukan “kerjakanlah”. Akibatnya, meski shalat, kita juga rajin maksiat.
Isra Mi’raj kita rayakan tetapi korupsi juga kita kerjakan. Singkatnya, kita terjebak, meminjam Julia Kristeva (1982) dalam moralitas mengambang (abjection), yaitu suatu kondisi hilangnya batas-batas antara kesucian dan najis, antara benar dan salah, antara baik dan buruk.
Materialisme
Ambiguitas moral kita ini, merayakan agama sekaligus melanggarnya, adalah cerminan dari situasi bahwa kita telah masuk pada fase masyarakat materialisme yang akut. Artinya, walau mengaku beragama, diam-diam kita “menuhankan materi”.
Materi telah menjadi raison d’etre, tujuan, dan motif dalam segala tindak-tanduk, perilaku, perbuatan, dan segala apa pun yang kita lakukan. Materi telah menjadi nawaitu yang melandasi segala perbuatan.