REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Bagong Suyanto, Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
Di tengah masih banyaknya jumlah pengangguran atau pencari kerja di Tanah Air, isu membanjirnya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia tentu sangat memprihatinkan. Di Indonesia, saat ini dilaporkan angka pengangguran masih ada 7,04 juta jiwa, belum termasuk para pekerja di sektor informal yang secara ekonomi sangat rentan terjerumus menjadi orang miskin baru yang papa.
Arus investasi memang dibutuhkan dan menjadi salah satu prioritas pemerintah untuk memperkuat fondasi perekonomian nasional, sekaligus menjadi pendorong pertumbuhan lapangan kerja baru. Namun, ketika kepentingan menarik investasi kemudian diikuti dengan makin longgarnya persyaratan perizinan bagi tenaga kerja asing, maka bisa dipahami jika banyak pihak resah.
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang diberlakukan mulai 29 Maret 2018 adalah kebijakan politik pemerintah yang dikhawatirkan berdampak kontraproduktif. Perpres baru yang menggantikan Perpres Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang dibuat era Presiden ke enam Susilo Bambang Yudhoyono ini, dinilai memberi berbagai kelonggaran kepada TKA.
Kelonggaran ini berisiko mengancam eksistensi dan peluang tenaga kerja lokal. Kalau berbicara di atas kertas, memang dalam ketentuan yang berlaku, TKA tidak diperkenankan masuk ke dalam pekerjaan yang tergolong kasar.
TKA hanya diperkenankan masuk dalam pekerjaan berkeahlian dan dituntut pula melakukan transfer teknologi serta kemampuan mereka kepada tenaga kerja lokal. Namun dalam kenyataannya, sering terjadi aturan itu hanya menjadi macan di atas kertas.
Sinyalemen tentang banyaknya TKA yang menyerbu Indonesia harus diakui bukan sekadar isapan jempol. Di sejumlah daerah, diketahui tidak sedikit TKA yang merebut kesempatan kerja yang sebetulnya tergolong pekerjaan kasaran --menyisihkan peluang tenaga kerja lokal yang membutuhkannya.
Di sejumlah industri, tidak sekali dua kali ditemukan keberadaan TKA yang menjadi buruh kasar, tidur di barak-barak yang disediakan pabrik atau tinggal di sekitar lokasi pabrik.
Pemerintah mengklaim bahwa menurut data resmi jumlah TKA tidak lebih dari 80 ribu-90 ribu jiwa, tetapi di lapangan banyak TKA yang masuk ke Indonesia tanpa melalui jalur resmi yang ditentukan. Berbagai bentuk pelanggaran izin tinggal dan lain sebagainya, ditengarai kerap dimanfaatkan sejumlah TKA untuk menyiasati aturan dan pembatasan yang berlaku.
Terlepas seberapa banyak sebetulnya jumlah TKA yang ada di Indonesia dan bagaimana modus yang mereka kembangkan untuk menyiasati pengawasan pemerintah, yang jelas ketika persyaratan tentang TKA ini diperlonggar, sejumlah risiko dikhawatirkan timbul.
Pertama, berisiko memicu tumbuhnya kecemburuan sosial di kalangan pekerja lokal kepada TKA karena perbedaan fasilitas dan gaji yang mereka terima.
Seperti diketahui, hasil investigasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di tujuh provinsi menemukan bahwa tidak sedikit TKA ternyata bekerja sebagai tenaga kasar dengan bayaran yang tiga kali lipat lebih tinggi daripada pekerja lokal (Republika, 27 April 2018).
Kedua, berisiko menyebabkan terjadinya proses marginalisasi pencari kerja domestik karena mempersempit peluang tenaga kerja lokal untuk dapat terserap di berbagai kesempatan kerja yang tersedia.
Selama ini, sudah bukan rahasia lagi ketika industrialisasi masuk ke sebuah wilayah, maka yang terjadi biasanya tidak hanya proses infiltrasi dan invasi para pendatang dari luar, tetapi juga proses suksesi kepemilikan aset dan peluang kerja yang seharusnya disedikan untuk pekerja lokal.
Dengan dalih atau pertimbangan kompetensi TKA dianggap lebih mumpuni, sering terjadi pabrik-pabrik tertentu lebih memilih mempekerjakan TKA daripada tenaga kerja lokal.
Selain dinilai berpotensi mengganggu aktivitas produksi karena senang demonstrasi atau terlibat dalam aksi unjuk rasa, keberadaan pekerja lokal dinilai berisiko merongrong kinerja perusahaan. Dalam konteks seperti ini, oleh sebab itu sebagian perusahaan lebih memilih mempekerjakan TKA daripada pekerja lokal yang dinilai sering rewel.