Kamis 26 Jul 2018 19:00 WIB

Politik tanpa Nilai

Politik telah benar-benar dipahami hanya dalam pengertian yang pragmatis.

Ma'mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
Foto: dokumentasi pribadi
Ma'mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ma'mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ.

 

Bicara soal nilai (value) dalam politik, biasanya merujuk pada pemikiran-pemikiran politik klasik era Yunani Kuno yang direpresentasikan oleh setidaknya Plato dan muridnya Aristoteles. Politik dalam pengertian klasik dimengerti bahwa politik hadir tak lain adalah untuk mewujudkan "kebaikan bersama" (public good, al-maslahah al-ammah).

Dalam pemikiran politik Islam klasik, pemikir seperti al-Farabi sering diposisikan sebagai representasi "pemikir nilai", disamping tentu ada nama-nama lain, seperti Abi Rabi, al-Ghozali, al-Mawardi, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Taimiyah. Al-Farabi bahkan menulis buku berjudul Madinah al-Fadhilah yang kerap “dituduh” sebagai copy paste dari karya Plato: Republic. Al-Farabi hidup di era Daulah Abbasiyyah yang saat itu tengah mengalami kekacauan. Maka pemikiran-pemikiran yang ditawarkan adalah bagaimana mewujudkan negara (Daulah Abbasiyyah) yang ideal. 

Konteks Indonesia, pemikiran-pemikiran yang berkembang di seputar jelang kemerdekaan (persidangan BPUPKI), yang kemudian menghasilkan rumusan Pancasila adalah produk dari politik nilai. Sila-sila dalam Pancasila sarat dengan nilai-nilai agung dan mulia, sebagaimana ditawarkan Plato mapun al-Farabi.

Saat ini, terlebih di era liberal politik, politik dalam pengertian klasik (nilai) nyaris menjadi hal yang asing (gharib). Politik telah benar-benar dipahami hanya dalam pengertian yang pragmatis, sebagai perebutan kekusaan dan kepentingan. Saya tentu sangat paham bahwa politik memang (di antaranya) bicara soal bagi-bagi kekuasaan dan kepentingan. Tak ada kawan atau lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan. Ini ungkapan yang kerap kita dengar, yang menggambarkan bahwa politik semata dimengerti sebagai kepentingan tanpa berusaha melibatkan politik nilai meskipun hanya secuil. Tentu boleh dan sah memahami politik sebagai kekuasaan dan kepentingan, tapi sertakanlah atau selipkanlah politik nilai meski hanya sedikit saja.

Coba tengok saja, praktik politik di Indonesia, terlebih pasca-Orde Baru, praktis yang tampil menjadi mainstream adalah politik tanpa nilai. Saya lebih suka menyebutya sebagai “politik comberan”, politik yang semata bicara soal kekuasaan dan kepentingan, sementara politik sebagai nilai begitu dimarjimalkan. Hasil dari praktik politik yang sebatas kekuasaan dan kepentingan, kita sekarang menyaksikan betapa bobroknya kehidupan politik saat ini. Politik nyaris berlangsung tanpa nilai. Nyaris tanpa komitmen, tak ada kepercayaan, dan tak ada integritas dalam berpolitik. Melanggar komitmen, melanggar kepercayaan, tipu-tipu, berkhianat, mengorbankan atau menikam kawan sendiri dan apalagi lawan seakan menjadi sebuah keniscayaan dalam praktik politik kita saat ini. 

Sekadar contoh dan mengingatkan memori publik, saat Pilpres 2009, Megawati memutuskan berpasangan dengan Prabowo Subyanto. Saat itu nyaris tak ada gugatan dari kubu, termasuk pengikut-pengikut setia Megawati kepada Prabowo terutama terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang pernah dilakukannya di akhir kekuasaan Orde Baru, 1998. Namun ketika Pilpres 2014, di mana Prabowo kembali maju, menjadi capres berpasangan dengan Hatta Radjasa, Prabowo mendapat hujatan hebat dari para pendukung Joko Widodo (Megawati) yang maju berpasangan dengan Jusuf Kalla. Seakan lupa peristiwa hampir lima tahun yang lalu di mana Megawati dan Prabowo berpasangan mesra. Dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Prabowo dikuliti habis. Mereka seakan lupa dengan fakta-fakta bahwa di sekeliling Megawati dan Joko Widodo juga terlalu banyak jenderal-jenderal yang tangannya berlumuran darah rakyat dan umat Islam yang tak berdosa.

Bukan hanya soal pelanggaran HAM yang dituduhkan kepada Prabowo, ada satu hal mendasar yang menjadi ciri khas dari “politik comberan”, yaitu melanggar komitmen (janji) seakan menjadi hal biasa dan tanpa merasa dosa. Menjelang Pilpres 2009 Megawati dan Prabowo menandatangani (di atas materai) apa yang disebut “Perjanjian Batu Tulis”, tanggal 16 Mei 2009. Isi perjanjian ini beredar luas di masyarakat. Salah satu isi perjanjian ini (poin 7) disebutkan: “7. Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014.” 

Ketika tiba waktunya (jelang Pilpres 2014), di mana komitmen terebut seharusnya dijalankan, dengan entengnya Megawati mengkhianati sebuah komitmen bersama. Megawati justru mendukung calon presiden lain bernama Joko Widodo, yang dengan berbagai polesan, termasuk dugaan kecurangan yang terjadi saat Pilpres 2014, akhirnya terpilih menjadi Presiden. Inilah gambaran nyata dari “politik comberan” tanpa nilai. Melanggar komitmen dianggap hal biasa dan bahkan mungkin suatu keharusan. Kalau mendasarkan pada politik nilai, pengingkaran atas komitmen yang dibuat bersama adalah hal yang sangat prinsip.

Begitu pun yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjadi “pembantu” (Menkopolkam) Presiden Megawati. Dengan gayanya yang sok santun, juga melakukan “pengkhianatan” terhadap Megawati. Memanfaatkan kelebihan fisiknya, tutur katanya yang bagus, dan ditambah tampilannya yang terkesan didhalimi seiring dengan pernyataan Taufiq Kiemas yang menyebut dirinya sebagai “jenderal kekanak-kanakan”, SBY memanfaatkan pernyataan Taufiq Kiemas tersebut dan juga pengunduran dirinya dari Kabinet Gotong Royong untuk membangun citra sebagai orang yang didzalimi Megawati. Cara-cara politik seperti ini juga gambaran nyata dari berpolitik yang miskin nilai. 

Akibat peristiwa ini, hingga saat ini hubungan Megawati dengan SBY berlangsung tidak mesra. Megawati masih merasa tersakiti oleh “pengkhianatan” yang dilakukan SBY. Saya tidak tahu, apakah pengkhiatan yang dilakukan SBY ini juga mengingatkan Megawati atas “pengkhianatan” yang pernah dilakukannya terhadap Prabowo?

Selanjutnya dalam kasus yang tentu saja saya sangat paham adalah penghancuran secara sistematis dan terencana terhadap karir politik Anas Urbaningrum. Saya tentu paham betul dengan kasus Anas. Penghancuran atas karir politik Anas dimulai sejak menjelang Kongres Bandung 2010. Sebagaimana tertuang dalam buku yang saya tulis: “Anas Urbaningrum Tumbal Politik Cikeas”, terang bahwa SBY memang tidak merestui Anas maju sebagai calon Ketua Umum pada Kongres Bandung. Namun citra yang dibangun, seolah SBY merestui semua calon ketua umum: Anas Urbaningrum, Marzuki Alie. dan Andi Alfian Mallarangeng. 

Dengan rekayasa sedemikian rupa, tentu dengan memanfaatkan kuasa yang ada di tagannya, SBY akhirnya berhasil “mengandangkan” Anas dari hiruk pikuk politik dengan memenjarakannya sebagai koruptor. Kejam banget bukan? Inilah contoh dari politik comberan tanpa nilai. 

Sebelum kasus Anas, SBY juga telah tega “membiarkan” besannya Aulia Pohan masuk penjara 2009. Mungkin SBY terilhami oleh hadits, “demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku akan memotong tangannya.” Sayangnya, hadis tersebut justru hanya sebatas pencitraan. SBY hanya mencoba membangun citra bahwa dirinya mempunyai komitmen untuk menegakkan hukum. Buktinya, besannya pun bisa masuk penjara. Kalau memang komitmen menegakakan hukum, kenapa sikapnya terhadap Aulia Pohan ini tidak diberlakukan juga kepada misalnya putranya Edhy Baskoro Yudhoyono (Mas Ibas) yang namanya terlalu kerap disebut dalam beberapa persidangan Tipikor?

Saat Pilpres 2014, terlihat SBY yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden mencoba memposisikan diri sebagai King Maker, namun peran ini gagal dimainkan dengan baik. Karena gagal, SBY akhirnya memilih untuk bersikap “netral”. SBY mengambil posisi untuk tidak mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla maupun Prabowo-Hatta Radjasa. Sikap SBY ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa yang ada dalam pikirannya itu hanya yang terkait dengan kepentingan diri dan keluarganya. Padahal tengok saja, pada Pilpres 2014 itu, besannya Hatta Radjasa menjadi kontestan cawapres dari Prabowo. Dengan segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki Hatta Radjasa, sepatutnya SBY mendukung pasangan Prabowo – Hatta Radjasa. Namun hal ini tidak (bisa) dilakukan oleh SBY.

Belakangan, dari informasi terbatas yang saya terima, tidak didukungnya pasangan Prabowo – Hatta Radjasa karena SBY memang merasa lebih nyaman dengan pasangan Jokowi – Jusuf Kalla. Bahkan dari informasi terbatas yang saya terima tersebut, SBY sebenarnya yang menjadi “penentu” kemenangan Jokowi – Jusuf Kalla. 

Kemudian sikap SBY pada saat Pilkada Jakarta 2017. SBY mempunyai calon bernama Agus Harimurti Yudhoyono (Sang Putra Mahkota). Wajar kalau SBY mendukungnya. SBY tentu saja juga menikmati pertarungan “politik identitas” yang berbau SARA selama berlangsungnya Pilkada, sesuatu yang sah saja dalam politik. Tak ada yang salah dari politik identitas. SBY ikut memainkan sentimen-sentimen keagamaan umat Islam yang anti Ahok. Beberapa kali SBY membuat pernyataan yang menyudutkan Ahok. Ketika Sang Putra Mahkota dinyatakan kalah di putaran pertama, sekali lagi, info terbatas yang saya terima, SBY sebenarnya lebih mendukung pasangan Ahok – Djarot. Konon SBY tidak yakin kalau Anies – Sandi akan berhasil mengalahkan Ahok – Djarot yang modal pendanaannya nyaris tak terhingga. Pilihan dukungan SBY kepada Ahok – Djarot rasanya sulit menyebut sebagai pilihan penuh nilai. 

Dengan rentetan sikap SBY yang demikian, menjelang akhir-akhir masa penetapan pasangan capres dan cawapres untuk Pilpres 2019, saya dibikin kaget (tentu dengan pendekatan politik nilai) ketika SBY mendekat ke Prabowo. Apa SBY tidak ingat hampir lima tahun lalu ketika dirinya lebih memilih bersikap netral meski di akhirnya justru menjadi “penentu” kemenangan Jokowi – Jusuf Kalla daripada mendukung Prabowo yang berpasangan dengan besannya Hatta Radjasa? Kalau konsisten dengan sikapnya, mestinya SBY memilih lagi sikap netral pada Pilpres 2019. Capresnya hampir pasti tidak berubah, yaitu Jokowi dan Prabowo (masih memungkinkan Prabowo mendorong Gatot Nurmantyo). Dan kalaulah tidak suka dengan besannya, sekarang Hatta Radjasa tidak mencalonkan lagi.

Saya menggunakan sebutan “mendekat”, karena sejatinya SBY yang lebih membutuhkan Prabowo ketimbang Prabowo membutuhkan SBY. Untuk mendekat ke kubu Jokowi (Megawati) hampir mustahil akan terwujud. Penyebabnya lebih karena belum membaiknya komunkasi SBY dengan Megawati. Sementara mengambil posisi netral jelas secara politik (kekuasaan) tidak menguntungkan SBY. Maka pilihannya –meski harus menabrak nilai-nilai politik yang selama ini sudah dinafikan SBY– adalah mendekat ke kubu Prabowo. 

Politik tanpa nilai bukan hanya dilakukan para “tetua” bangsa ini, di kalangan politisi muda pun tak jauh berbeda. Kalangan politisi muda saat ini lebih sibuk menawarkan (menjual) dirinya untuk sebatas menjadi wakil presiden. Wajah sebagai negarawan yang semestinya sibuk dan prihatin memikirkan nasib bangsa dan negaranya, sama sekali tak terlihat pada diri wajah-wajah politisi muda yang menonjol saat ini, tak terlihat ada politik nilai yang ditawarkan, kecuali hanya sebatas perebutan kekuasaan dan kepentingan itu. Sekian.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement