REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar, Pemerhati Sosial Keagamaan
Apa yang ada di benak kita akan tahun 1928 itu? Semua dari kita yang mengenal sedikit saja sejarah Nusantara modern, pastilah menjawab, bahwa di tahun 1928 terjadi peristiwa Sumpah Pemuda...
Bertanah Air Satu - Tanah Air Indonesia,
Berbangsa Satu - Bangsa Indonesia,
Berbahasa Satu - Bahasa Indonesia...
Jawaban itu tidaklah salah...
Namun demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan mengungkap peristiwa Sumpah Pemuda sebagaimana dimaksud.
Tahun 1928, hanya sebatas kesesuaian tahun semata. Bahasan yang akan diungkap di sini adalah tentang sosok perempuan bernama Margaret Smith (1884-1970)...
Siapakah dia, hingga begitu perlunya sosoknya dibicarakan? Dan apa kaitannya perempuan itu dengan tahun 1928?
Adalah Margaret Smith, perempuan Inggris, di tahun 1928, meraih gelar Doktor tentang Filsafat, pada University of London.
Tulisan ini merupakan persembahan singkat, bentuk apresiasi dan kekaguman pada bahasan disertasi yang diangkatnya. Dan, itu tentang Rabi’ah...
Disertasi tentang Kehidupan dan Ajaran Spiritual Rabi’ah al-Adawiyah. Dan sampai sekarang, kajiannya itu dianggap paling komprehensif.
Di tahun 1928 itu juga, Cambridge University Press menerbitkannya dalam sebuah buku, dengan judul Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam.
Margaret Smith, menulis disertasinya itu dengan “membongkar” buku-buku yang membicarakan atau berkaitan dengan Rabi’ah, langsung atau tidak langsung, baik dari buku-buku berbahasa Arab, Persia, maupun Urdu.
Kemampuan berbagai bahasa asingnya itu, dengan setidaknya penguasaan atas tiga bahasa penunjang untuk penulisannya, menjadikannya mampu “berpetualang” mengarungi samudera literatur, khususnya buku-buku klasik...
Karenanya, dia mampu memotret Kehidupan Perempuan Asketik itu dengan amat baik. Bicara tentang Rabi’ah al-Adawiyah adalah bicara tentang Mahabbatullah...
Lewat prestasi mahabbatullah, keteladanannya telah mencapai “wilayah ruhani” yang tinggi...
Antara cinta dan Kekasihnya
Tak ada antara
Ia bicara dari rindu
Ia mendamba dari rasa
Rabi’ah telah memenangkan cinta yang paling sublim dan universal, hingga dengan demikian sekaligus dia telah pula meraih cinta-cinta lainnya yang sekunder dan parsial.
Itulah Rabi’ah, yang menghijabi dirinya dengan keikhlasan agama, seorang yang selalu membara oleh api cinta dan kerinduan pada Tuhannya.
Pandangan-pandangannya yang langsung berhubungan dengan dimensi Uluhiyah dan Rububiyah, terasa lebih universal, karena menukik pada akar-akar ontologis-eksistensi.
Terlepas suka atau bahkan sebaliknya pada kajian-kajian tasawuf, itu tidak dalam wilayah untuk diperdebatkan. Semua punya pendekatan dan alasannya masing-masing. Dan itu wajar.
Tulisan ini, sebagaimana saya nukil di atas, lebih sebagai bentuk apresiasi dan kekaguman semata, bahwa di tahun 1928, seorang perempuan Barat menulis disertasinya begitu mengagumkan...
Sedang di tahun yang sama pula, di bumi Nusantara ini, tepatnya di Batavia, para pemuda yang mewakili daerahnya masing-masing tengah berkongres, mencari bentuk “pengikat” eksistensi nasional-bangsa (nation state), yang dikenal sebagai Soempah Pemoeda...
Sama-sama di tahun 1928, namun dalam dimensi yang berbeda.