Oleh Abdullah Sammy, Jurnalis Republika
Langit Jakarta cukup bersahabat ketika saya mulai menginjakkan kaki di pintu 8 Kompleks Gelora Bung Karno Jakarta, Kamis (30/8). Salah satu relawan Asian Games 2018 meminta saya mengikuti prosedur pemeriksaan di pintu masuk itu.
Kartu identitas peliput Asian Games 2018 yang menggantung di dada dimintanya ditempel ke mesin pemindai. Cringgg ... wajah tampan pun muncul di layar pemeriksaan begitu kartu identitas selesai dipindai.
Setelah proses verifikasi identitas rampung, saya mulai melangkah masuk ke Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno (GBK). Hampir semua relawan yang bersiaga di pintu masuk tersenyum ramah. Pemandangan yang rutin saya jumpai setiap melangkah di Kompleks GBK.
Tak jarang beberapa relawan bahkan menyapa dengan bahasa Inggris. Mungkin, saya dikiranya wartawan dari luar Indonesia. Maklum, casing luar kerap mengecoh.
Saya lebih sering dikira sebagai wartawan atau delegasi dari Timur Tengah. Beberapa kali bahkan saya terpaksa membalas teguran "welcome Sir", dengan ucapan "terima kasih". Balasan itu lebih dari cukup untuk meyakinkan bahwa mereka "salah sasaran".
Setelah melalui Pintu 8 yang terletak di samping Hotel Sultan, saya mesti berjalan kaki sekitar 200 meter hingga ke tempat perhentian Transjakarta di depan Istora GBK. Di sana, hanya ada satu orang yang mengantre.
Saat hendak memasuki bus, ponsel saya tiba-tiba berbunyi. Ada panggilan masuk dari rekan yang menginformasikan jadwal wawancara dengan salah satu narasumber dimajukan. Praktis, saya harus segera "balik kanan".
Langkah yang awalnya menuju Media Press Center (MPC) di JCC Senayan, kini berganti arah. Saya berbalik menuju bekas area golf Senayan yang kini sudah beralih bentuk dan fungsi menjadi hutan kota.
Tanpa membuang waktu, saya berjalan kaki menuju lokasi yang kini bernama Cofftea House GBK itu. Terkesima. Itu reaksi saya saat masuk ke kawasan Cofftea House yang berada di tengah hutan kota Senayan.
Bekas area driving golf itu sudah disulap menjadi hutan dan taman kota nan asri. Rumput hijau yang dilengkapi kolam terbentang di lahan sekitar 4 hektare. Susana yang bisa membuat orang lupa bahwa wilayah itu masih berada di titik tersibuk Ibu Kota.
Yang membuat pandangan saya semakin tersita adalah berdirinya delapan buah patung di tengah hamparan hijau. Delapan patung itu menujukkan sosok tujuh pemimpin Indonesia dari setiap masa dan satu ibu negara.
Ada Presiden pertama, Sukarno, yang menempati posisi di paling kanan. Berturut di samping patung Bung Karno itu ada patung Presiden Soeharto, BJ Habibie dengan Ibu Ainun Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, hingga Presiden Jokowi di posisi paling kiri.
Mungkin kedelapan tokoh itu tak pernah benar-benar bertemu dalam satu waktu. Tapi hadirnya kedelapan patung sudah cukup untuk menggambarkan tongkat estafet sejarah bangsa dari masa ke masa.
Tapi, tujuan saya bukanlah untuk menikmati suasana di hutan kota. Tujuan saya ada di sebuah bangunan dengan ornamen kayu di tengah hutan kota GBK. Inilah lokasi Cofftea House yang merupakan tempat menyambut tamu negara yang akan menyaksikan Asian Games di GBK.
Ketika pintu Cofftea House terbuka, terlihat banyak awak media bersiaga. Tujuan mereka mewawancarai pria yang memimpin hajatan Asian Games 2018, Erick Thohir. Karena banyaknya media, saya bersama empat orang rekan awak Republika Online (ROL) harus mengantre.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya waktu wawancara dengan Erick Thohir tiba. Tanpa buang waktu, obrolan langsung menuju pada inti persoalan, yakni penyelenggaraan Asian Games.
Erick tampak antusias dan rileks dalam menjelaskan perkembangan penyelenggaraan Asian Games hingga hari-hari terakhir. Menurut Erick, penyelenggaraan sejauh ini sesuai target sasaran. Target sasarannya, yakni menjamin segala tugas dan fungsi kepanitiaan Asian Games berjalan lancar. Segala detail diperhatikan. Mulai dari keamanan, kebersihan, informasi, tiket pertandingan, hiburan, hingga teknis di lapangan.
Erick lantas menceritakan testimoni negara peserta Asian Games yang mampir ke telinganya. "Apa yang kita berikan kepada mereka, transportasi, penginapan, makanan kebersihan, semua itu di luar ekspektasi. Volunter banyak dipuji, panitia banyak dipuji. TNI Polri pun banyak dipuji," ujar Erick yang siang hari itu mengenakan jas setelan hitam dengan logo Komite Olimpiade Indonesia (KOI).
Kurang lebih 20 menit, saya dan keempat rekan berbincang dengan Erick Thohir. Obrolan tak hanya soal Asian Games, tapi menyerempet pula pada isu copras-capres maupun tim suksas-sukses. Tapi, detail dari wawancara tersebut tak akan saya jelaskan dalam tulisan ini. Detailnya bisa Anda saksikan nanti di laporan ROL.
Singkat cerita, perbincangan itu usai karena Erick harus kembali menjalani kesibukannya di sejumlah arena laga. Sementara, saya mesti menuju arena pengetikan berita.
Segera saya harus meninggalkan area hutan kota itu. Sebelum meninggalkan GBK, saya memutuskan berkeliling sambil mencari ide berita.
Saat berkeliling itu, saya menyaksikan sebuah Transjakarta yang sedang hendak memuat penumpang. Ada pemandangan menarik yang terlihat. Saat itu, ada sekitar 20 sampai 30 penumpang yang mengantre secara tertib.
Mereka tampak sabar menunggu satu per satu giliran. Sebuah budaya yang jarang kita saksikan di halte Transjakarta. Sebab di sana, penumpang masuk secara acak tanpa menggilir mana penumpang yang datang lebih dahulu.
Melihat pemandangan ini, saya jadi teringat salah satu tujuan Asian Games 2018 yang selalu didengungkan Presiden Jokowi. Asian Games 2018 diharapkan tak hanya menumbuhkan fasilitas nomor satu, tapi membangun kualitas dan budaya manusia Indonesia yang lebih maju.
Salah satu tolok ukur budaya maju adalah antre. Budaya yang jamak di negara maju, seperti Jepang dan Korea. Di Asian Games 2018, budaya maju itu tampak mulai menular ke Indonesia.
Pandangan antrean yang teratur itu kemudian sirna ketika hanya kurang dari tiga menit seluruh penumpang masuk dalam Transjakarta. Bus itu pun berlalu meninggalkan saya.
Karena terlalu asik memoto dan mengamati antrean, saya jadi tertinggal Transjakarta. Tapi tak mengapa, setidaknya saya mendapat ide cerita sehingga bisa menulis hingga sejauh ini.
Selepas Transjakarta berlalu, pandangan saya tersita pada belasan orang yang sedang menenteng plastik hitam. Belasan orang itu tampak memunguti sampah daun kering di tengah jalan. Mereka inilah merupakan salah satu aktor utama di balik layar kesuksesan Asian Games 2018.
Di tengah pesta yang semarak, mereka berkerja minus sorotan. Tangan-tangan mereka yang menciptakan keasrian di seputaran GBK. Dengan kantong yang dipikul, mereka mampu mengumpulkan lebih dari satu ton sampah dari seluruh arena Asian Games.
Saya mendekati belasan pria yang memikul plastik hitam besar di tangan kanan. Saat didekati belasan pria itu seperti ketakutan. Mereka enggan diwawancara. "Jangan saya, Pak," kata salah satu pria sambil mempercepat langkahnya.
Beruntung seorang pria yang jadi bagian dari rombongan itu bersedia untuk diwawancara. Dia berhenti, melepas sarung tangan, dan kemudian berjabat tangan.
Dia memperkenalkan diri. "Saya Aep Saefullah," ucap pria itu.
Aep adalah relawan yang selama dua pekan menjaga kebersihan arena Asian Games 2018. Dia merupakan petugas yang berasal dari Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan. Menurut Aep, ada sekitar 300 relawan kebersihan yang bergabung bersama timnya dalam membersihkan GBK.
Mereka berkeliling ke tiap venue untuk mengambil sampah-sampah yang ada di tempat penampungan. Dari berbagai venue di GBK, ternyata venue bulu tangkis yang volume sampahnya paling tinggi. Maklum, cabang olahraga itulah yang paling diserbu penonton.
Lantas, sampah apa saja yang paling mendominasi? Aep menjawab, "Sampah botol minuman sangat banyak."
Selama sekitar dua pekan bekerja, apa kesan Aep terhadap Asian Games 2018? Jawabannya dua "bangga dan bangga." Kebanggaaan pertamanya karena kepedulian penonton Indonesia terhadap kebersihan tergolong tinggi. Standar tinggi itu tentu dengan 'standar nasional Indonesia'. Penonton, kata dia, sangat tertib dalam membuang sampah pada tempatnya.
Kebanggaan Aep yang paling besar adalah dia bisa berkontribusi menyukseskan kegiatan yang bersejarah bagi Indonesia, Asian Games 2018.
Sebelum berpisah, Aep sempat bertanya kepada saya mengenai asal media. "Dari media mana, Mas? tanya dia.
Setelah mengetahui saya berasal dari Republika, Aep tampak antusias. "Saya senang baca ROL, saya ini pembaca setia, Mas. Ini, saya ada aplikasi ROL di ponsel saya," kata Aep sambil menunjukkan aplikasi ROL di ponselnya.
Perjumpaan dengan Aep membuat saya bangga sekaligus terharu. Bangga karena berjumpa Aep Saefullah, sosok yang punya dedikasi besar pada kesuksesan Asian Games 2018. Semakin bangga karena dia ternyata merupakan pembaca setia ROL. Kisah tentang Aep terasa pas dengan semangat ROL yang tepat pada Jumat (31/8) sedang merayakan hari jadinya yang ke-23. Kebetulan semangat dari HUT ROL ke-23 ini mengambil tajuk "Care Energy, Care Nation, Be Green".
Namun, saya pun terharu karena lewat Aep, saya akhirnya menemukan ide untuk menutup artikel yang semakin melebar ini. Karena itu, saya segera pulang ke kantor untuk mengetik artikel ini sebelum idenya berlalu dari kepala. Namun, masih ada satu ide yang belum saya temukan hingga mengetik bagian ini. Apa judul tulisannya?
Ah, ini adalah eranya berpikir out of the box. Jadi, membuat tulisan yang terstruktur dan tematik adalah hal yang terlalu biasa. Sebab, tematik tempatnya di Jakarta Utara, bukan di tulisan.
Silakan Anda semua menyimpulkan sendiri. Karena, tak selamanya pembaca perlu didikte dengan judul, makna, atau tema. Jadi, terima kasih banyak sudah membuang waktu Anda.