REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Sahara, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin menunjukkan pelemahan, sejak April 2018 dan berlanjut hingga kini. Faktor eksternal berupa gejolak ketidakpastian global, terutama perang dagang antara AS dan Cina, ditengarai merupakan penyebab utama melemahnya rupiah.
Pelemahan rupiah perlu diwaspadai karena berdampak pada kenaikan harga barang (inflasi). Di samping itu, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS terkait erat dengan defisit neraca perdagangan, mengingat besarnya cadangan devisa yang dikeluarkan untuk membiayai impor.
Secara sederhana, neraca perdagangan suatu negara didefinisikan sebagai selisih antara nilai ekspor dan impor. Jika nilai ekspor suatu negara melebihi nilai impornya, neraca perdagangan negara tersebut surplus.
Jika nilai ekspor sama dengan nilai impor, neraca perdagangan akan berimbang dan jika nilai ekspor lebih kecil daripada nilai impor, neraca perdagangan akan defisit.
Badan Pusat Statistik melaporkan, neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2018 mengalami defisit 2,03 miliar dolar AS. Defisit berasal dari sektor migas 1,18 miliar dolar AS dan sektor nonmigas sebesar 845 juta dolar AS.
Pada Agustus 2018, neraca perdagangan Indonesia tetap mengalami defisit sebesar 1,02 miliar dolar AS. Dari sisi migas, defisit neraca perdagangan terutama karena meningkatnya harga minyak di pasar dunia sehingga mendorong naiknya nilai impor migas.
Melemahnya rupiah menyebabkan biaya impor migas membengkak. Dari sektor nonmigas, defisit dipicu proteksi perdagangan dari Eropa, terutama untuk produk kelapa sawit serta perang dagang AS-Cina yang membuat beberapa negara tujuan ekspor menahan permintaan.
Kondisi tersebut menyebabkan menurunnya nilai ekspor Indonesia. Diperkirakan, defisit neraca perdagangan akan terus berlanjut hingga semester dua tahun 2018 dan memperlebar defisit transaksi berjalan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi defisit. Dari sisi moneter, Bank Indonesia berupaya menaikkan suku bunga acuan. Dari sektor riil, upaya penurunan defisit transaksi berjalan dilakukan dengan mengendalikan impor, terutama untuk barang-barang modal yang mempunyai kandungan impor tinggi.
Sedangkan dari sisi ekspor, pemerintah mendorong pengembangan sektor pariwisata dan peningkatan ekspor. Terkait ekspor, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebenarnya dapat dijadikan momentum peningkatan ekspor.
Penurunan nilai tukar bisa membawa berkah bagi sektor perekonomian berorientasi ekspor. Mengingat, harga barang yang dihasilkan sektor tersebut menjadi relatif lebih murah di pasar dunia yang pada gilirannya meningkatkan keunggulan kompetitif produk itu.
Namun, meski nilai tukar rupiah mengalami penurunan, kinerja ekspor Indonesia belum meningkat seperti yang diharapkan. Bagaimana dengan sektor pertanian? Dapatkah sektor pertanian berperan menurunkan defisit transaksi perdagangan?
Untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, produk pertanian apa yang sebaiknya didorong peningkatan ekspornya dan diturunkan impornya? Guna menjawab pertanyaan ini, data historis ekspor dan impor di subsektor pertanian menjadi penting untuk ditinjau.
Dengan demikian, bisa terlihat subsektor pertanian yang berkontribusi terhadap ekspor dan tingginya impor. Pada 2012, sebesar 19,76 persen ekspor Indonesia berasal dari sektor pertanian. Pada 2016, kontribusi ekspor sektor pertanian meningkat menjadi 21,28 persen.
Data 2012-2016 menunjukkan, kontribusi impor pertanian terhadap total impor Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan nilai ekspor pertanian. Dengan kata lain, pada 2012-2016, sektor pertanian berkontribusi positif terhadap neraca perdagangan atau surplus.
Terkait pertanyaan selanjutnya, komoditas apa saja yang menjadi andalan ekspor di sektor pertanian dan yang impornya tinggi? Untuk menjawab pertanyaan ini, sektor pertanian harus kita break down menjadi lebih perinci.
Secara umum, sektor pertanian terbagi menjadi lima subsektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan hasil perikanan. Selama periode 2012-2017, subsektor perkebunan memiliki kontribusi tertinggi terhadap total ekspor sektor pertanian.
Rata-rata kontribusinya terhadap total ekspor sektor pertanian sebesar 94,3 persen. Pada periode sama, sebesar 3,2 persen dan 1,1 persen total volume ekspor pertanian Indonesia disumbang subsektor perikanan dan hortikultura.
Subsektor tanaman pangan dan peternakan, berkontribusi kecil bagi total volume ekspor pertanian, rata-rata selama 2012-2017 hanya 0,9 persen dan 0,6 persen. Dari sisi impor, secara umum volume impor dari setiap subsektor pertanian juga meningkat selama 2012-2017.