REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Smith Alhadar, Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Hilangnya Jamal Khashoggi, wartawan senior Arab Saudi, setelah memasuki Konsulat Arab Saudi di Istanbul--assessment awal aparat keamanan Turki yakin ia telah dibunuh di dalam Konsulat--akan kian merusak hubungan Riyadh-Ankara. Pasalnya, kalau benar Khashoggi dibunuh di sana, hal itu merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Turki.
Pada 2 Oktober lalu, Khashoggi bersama tunangannya Hatice Cengiz, warga Turki, pergi ke Konsulat Saudi untuk melengkapi surat-surat yang diperlukan bagi pernikahannya dua pekan lagi. Karena tak diperkenankan masuk, Hatice menunggu di luar.
Namun, hingga konsulat tutup, Khashoggi tidak muncul kembali. Bagaimanapun, tuduhan serius Turki telah membuat Saudi kecewa. Konsulat Saudi di Istanbul memang mengaku Khashoggi datang pada hari itu, tapi hanya sebentar, setelah itu ia keluar.
Untuk meyakinkan bahwa Khashoggi tidak berada di konsulat dan tidak ada pembunuhan di sana, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) mempersilakan aparat Turki masuk menggeledah konsulat walaupun tempat itu kedaulatan Saudi.
Saudi berkepentingan menjaga muruahnya. Toh, walaupun konsulat merupakan wilayah yurisdiksinya, pembunuhan di tempat itu akan merupakan eksekusi ekstrayudisial.
Saudi menjadi pusat perhatian saat ini mungkin karena Khashoggi dalam setahun terakhir sangat kritis terhadap kebijakan internal dan eksternal yang diambil MBS melalui tulisan-tulisannya di the Washington Post.
Agar leluasa mengkritik MBS, Khashoggi mengasingkan diri ke AS sejak September tahun lalu. Khashoggi mengarahkan kritik, di antaranya terkait keterlibatan Saudi dalam perang di Yaman, blokade atas Qatar, dan konflik dengan Kanada terkait masalah hak asasi manusia.
Sebelum ke AS, sebenarnya Khashoggi bermasalah dengan pemerintah atas pandangan-pandangannya. Itu terlihat dari seringnya Khashoggi berpindah media selama 30 tahun kariernya sebagai wartawan akibat sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah.
Bahkan, ia pernah mengkritik elite ulama konservatif, yang merupakan isu yang sensitif di negara itu. Terkait hubungan Turki dan Saudi, paling tidak, sejak Arab Spring pada 2011, hubungan Saudi-Turki mulai bermasalah.
Turki mendukung Ikhwanul Muslimin (IM) yang menjadi elemen penting dalam gerakan untuk perubahan di negara-negara Arab. Sementara itu, Saudi berjuang keras membasmi IM yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris.
Dengan kata lain, Turki mendukung kekuatan revolusioner, sedangkan Saudi mendukung status quo. Khashoggi menentang penetapan IM sebagai teroris. Kekhawatiran Saudi itu bisa dimaklumi karena Arab Spring pun menjalar hingga Saudi.
Kalau bukan karena kebijakan tepat dan cepat yang ditempuh Raja Abdullah untuk meredam demonstrasi, mungkin Saudi juga akan mengalami chaos seperti di Yaman, tetangganya.