Rabu 26 Dec 2018 09:58 WIB

Dangdut dan Emak: Telinga Publik di Musim Pemilu 2019

Berkat pemilu sosok dangdut dan sebutan 'emak' kini kokok di telinga piblik.

Red: Muhammad Subarkah
Achmad Albar menyanyikan Lagu Begadang dan Rhomra Irama menyanyikan lagu 'Neraka Jahanam' pada pagelaran panggung perdamaian antara musik Rock dan dandgut pada tahun 1977, di Stadion Senayana.
Foto: wikipedia
Achmad Albar menyanyikan Lagu Begadang dan Rhomra Irama menyanyikan lagu 'Neraka Jahanam' pada pagelaran panggung perdamaian antara musik Rock dan dandgut pada tahun 1977, di Stadion Senayana.

Oleh:Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Bila dulu pada tahun 1970-an, sebutan dangdut disebut bermakna sebagai istilah untuk merendahkan (pejoratif). Bukah hanya itu, bahkan ada musikus asal Bandung yang tega sampai mengatakan musik dangdut sebagai kotoran anjing.  Maka dangdut dianggap identik dengan nama kampungan sebagai musik yang digemari orang miskin, tak berpendidikan, musik bising kelas toa masjid, anak kampung, atau orang tersisih alias musik kelas comberan.

Maka tak lain dan tak bukan, istilah dangdut sebagai kata ganti merendahkan dari dari kata yang tadianya mulia, yakni musik Melayu (musik puak orang yang tinggal di tanah Melayu). Musik ini punya cengkok yang khas karena ada warna India, Barat, India, Arab, hingga genre khas cara orang Melayu bernyanyi dan bersyair itu sendiri.

Meski begitu, seiring masuknya modernisasi barat dan seiring datangnya genre musik yang dihardik dan disebut penguasa Sukarno sebagai 'ngak-ngik-ngok' yang kala itu baru saja turun dari panggung kekuasaan, di Jakarta dimaknai bila sebutan dangdut pejoratif. Maksudnya adalah untuk mengolok para penggemar dan pemain musik Melayu bahwa cara musik mereka tak bermutu hanya sekedar menirukan irama suling dan gendang saja: ‘dang’ dan ‘dut’. Pemain musiknya yang kala itu dianggap salah satu biangnya yakni Oma Irama.