Oleh:Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Bila dulu pada tahun 1970-an, sebutan dangdut disebut bermakna sebagai istilah untuk merendahkan (pejoratif). Bukah hanya itu, bahkan ada musikus asal Bandung yang tega sampai mengatakan musik dangdut sebagai kotoran anjing. Maka dangdut dianggap identik dengan nama kampungan sebagai musik yang digemari orang miskin, tak berpendidikan, musik bising kelas toa masjid, anak kampung, atau orang tersisih alias musik kelas comberan.
Maka tak lain dan tak bukan, istilah dangdut sebagai kata ganti merendahkan dari dari kata yang tadianya mulia, yakni musik Melayu (musik puak orang yang tinggal di tanah Melayu). Musik ini punya cengkok yang khas karena ada warna India, Barat, India, Arab, hingga genre khas cara orang Melayu bernyanyi dan bersyair itu sendiri.
Meski begitu, seiring masuknya modernisasi barat dan seiring datangnya genre musik yang dihardik dan disebut penguasa Sukarno sebagai 'ngak-ngik-ngok' yang kala itu baru saja turun dari panggung kekuasaan, di Jakarta dimaknai bila sebutan dangdut pejoratif. Maksudnya adalah untuk mengolok para penggemar dan pemain musik Melayu bahwa cara musik mereka tak bermutu hanya sekedar menirukan irama suling dan gendang saja: ‘dang’ dan ‘dut’. Pemain musiknya yang kala itu dianggap salah satu biangnya yakni Oma Irama.
Namun, karena terlanjur sebutan itu meluas, maka sepertinya sebutan dangdut malah naik kelas. Sebutan yang tadinya kampungan dianggap barang baru yang malah bernilai komersial tinggi. Ada sebutan keren, 'Raja dangdut' sebagai imbangan dengan sebutan 'King of Pop' atau King of Rock'. Malahan, saking terkenalnya para produser rekaman sampai perlu mengharuskan grup kondang yang menjadi anggota labelnya ikut membuat lagu berbeat dangdut. Publik, khususnya para seniman, ingin kondang dan kaya seperti Oma Irama yang kala itu memang bertabur ketenaran dan materi, seperti misalnya mampu naik mobil Mercy.
Alhasil kemudian muncul sikap baru pada grup musik papan atas kala itu seperti Koes Plus, Panbers, bahkan hingga kugiran grup rock God Bless (Ahmad Albar), atau penyanyi anak yang kala itu mulai menginjak remaja, semacam Chica Koesswoyo. Mereka mencoba mengeruk uang dengan menyanyian lagu yang sebelum ini dimaknai pejoratif, yakni musik 'dangdut'.
’’Wah penjualan album kamu tak bagus nak. Sekarang nyanyi lagu dangdut saja,’’ begitu ucapan Chica Koeswoyo pada sebuah ‘talks show’ di televisi ketika mengenangkan kepututusan ayahnya ketika meminta harus merekam lagu dangdut. Album rekaman genre musik pop-nya kala menjadi tak laris lagi dipasaran. Maka musik dangdut yang tengah 'naik daun' diliriknya,
Memang zaman saat itu menghendaki, sebutan dangdut eksis dan naik kelas. Sebutannya tak lagi mengandung sisi merendahkan menjadi dan sebuah sebutan layaknya sebagai sebuah jenis irama baru, seperti irama musik Rastra di Amerika Latin, Klasik (Eropa), Qawali (India/Pakistan), dan lainnya.
Kesaktian dangdut kini terbukti nyata. Setiap musim pilkada yang kayak musim duren tiba, tiba-tiba musik dangdut laris manis. Musik ini menjadi pengundang masa. Pidato politik ternyata bagi rakyat awam tetap masih tak menarik. Mereka asyik dengarkan dangdut dan berjoget meski dengan sound system yang menghasilkan suara bikin pekak telinga. Dangdut sudah naik kelas! Berbeda dengan genre musik ini, musik rock atau pop misalnya, pada ajang kamanye kali ini terlihat 'mejen'. Geriap musik ini kalah jauh dengan musik dangdut. Musik ini kesepian di panggung terbuka rakyat yang sibuk jadi ajang perebutan politik.
Dan hari ini pun ada sebutan lain yang bernasib sama dengan dangdut, yakni emak-emak. Sebutan ini juga bernasib sama. Awalnya dianggap kampungan, pinggiran, dan sebutan keluarga miskin, dari kalangan orang ‘udik’ alias kampungan.
Sama hal hanya dangdut, sebutan ‘emak-emak’ yang dulu dianggap pejoratif dan terkesan kunpungan, seiring ada suasana baru dan seiring adanya soal pegantian kekuasaan, serta arus zaman yang tengah berubah, sebutan ‘emak-emak’ juga meluas ke publik. Kata ini seolah mampu terus menerobos lapisan sosoial sehingga menjadi sebutan bergengsi. Publik berdebat pada kampanye Pemilu 2019 membahas frase 'emak' yang dipopulerkan bakal calon presiden, Salahudin Uno.
Padahal sebelum ‘emak-emak’, ada sebutan yang sudah lama eksis yakni 'ibu' (misalnya Ibu Kita Kartini, ibu Dharmawanita, atau pun ibukota, red). Bahkan dulu pun juga ada sebutan yang sama, yang kondang pada zaman 80-an hingga akhir zaman Orde Baru, yakni sebutan 'perempuan'. Maka emak, menjadi sebutan terkini yang kondang dipublik setelah ada sebutan ibu dan perempuan.
Dan sama juga dengan sebutan dangdut sebutan perempuan pun pada awalnya sempat mempunyai muatan makna pejoratif. Istilah 'perempuan' dianggap buruk. Kala itu lazim kata 'perempuan' untuk menunjuk sosok gender manusia dengan makna negatif, misalnya perempuan malam.
Namun kata ini mendadak dipilih untuk mengantikan kata ‘ibu’ yang kadung kala itu dianggap sudah menjadi kata feodal dan kata kaum birokrat. Kata perempuan berkonotasi mulia karena berasal dari kata ‘empu’, yakni seseorang yang menjadi pembuat senjata (atau sebuah karya) yang pada masa kini dianggap sakti. Ini misalnya empu Gandring pada pembuat keris dan Empu Tantular bagi penulis negara 'Kretagama' di masa kerajaan Majapahit.
Salah satu pelopornya pembaruan sebutan 'perempuan' ada pada Iwan Fals hingga pengajar filsafat Universitas Gajah Mada, mendiang DR Damardjati Supajar. Iwan Falas mengeksiskan sebutan 'Perempuan' itu dalam nyanyian dan rekaman. Damardjati getol memperkenalkannya dalam berbagai forum diskusi mahasiswa. Kala itu, suasananya kata tersebut sebagai bentuk perlawanan atas arus kekuasaan atau rezim. Kata perempuan melawan kata 'ibu' yang terkesan hegemino, feodal dan berbau birokrat. Misalnya ada kata 'kanjeng ibu', 'ibu Dewi Sri' (sebutan untuk dewi kesuburan pada masa kerajaan. Atau juga ada kata 'ibu-ibu PKK', 'ibu-ibu Dasa Wisma' yang berbau istilah progam kekuasaan.
Hal itu juga sama terkait hadirnya istilah, juga muncul ketika ada pembaruan titi laras slendro sebagai adopsi kazanah musik titi laras Cina di zaman dinasti Syalindra, di Jawa Timur. Sebutan slendro kala itu sebagai pembaharuan atas titi laras asli atau pribumi itu yang bernama titi laras Pelog. Ini kemudian menjadi tanda dengan munculnya kebiasan baru yang mengiringi perubahan zaman, sosial, bahkan hingga kekuasaan.
Maka, adanya titir laras slendro kemudian lahirlah berbagai kreasi tembang
baru di kazanah Jawa yang pada zaman para wali. Ini ditandai kemudian degan munculnya istilah tembang ‘alit’ dan ‘ageng’ hingga sejumlah nama tembang yang kita kenal seperti Maskumambang, Durma, Pucung, Sinom, Kinanti, Megatruh, dan sejenisnya.
Jadi sebuah istilah dalam berbahasa hadir, hilang, atau berubah, itu menjadi ‘cermin benggala’ seiring dengan eksis dan hilangnya sebuah era atau zaman. Contoh lainya ada pada penggunaan nama untuk menyebut bulan Juli dan Agustus. Sebelum masa kekaisaran Yunani (misalnya era zaman Mesopotamia) sebutan nama itu tak ada. Tapi kemudian nama bulan seperti itu eksis karena ada dua nama kaisar Julius dan Agustinus yang ikut ditabalkan.
Bukti lain juga bisa berkaca pada hilangnya bahasa Latin, Yunani, Aramik, Ibrani, Sansekerta dan lainnya. Berbagai bahasa yang semula eksis pada sebuah era dan menjadi sistem sosial kekuasaan terutama untuk menyampaikan sebuah pikiran, menjadi lenyap. Bahkan, hadir dan hilangnya bahasa juga menjadi jejak dari konflik sosial misalnya ada pada kisah ambruknya menara Bibel di Taurat dan Injil. Pengerjaan proyek bangunan tinngi di masa Babilonia ini hancur hanya karena munculnya soal perbedaan bahasa. Sayangnya kekuasaan yang eksis di era itu tidak bisa menghentikan perbedaan atau kisruh tersebut.
Untuk itulah, hadirnya mengacu pada kisah itu semua, pemaknaan kata baru dangdut, perempuan, hingga kini emak-emak, tak bisa diremehkan. Tak cuma itu saja, kehadiran makna baru dari kata itu bisa teraba atau terjejak adanya kazanah baru pada perkembangan suasana di zaman yang disebut milenial ini. Dan jangan lupa secara tersamar ada pula hubungannya persoalan sosial dan kekuasaan.
Sekali lagi, disini menjadi bukti sahih yang kesekian kalinya, bila sebuah bahasa tak bisa eksis bila tanpa terkait dengan sistem sosial kekuasaan. Dan ini juga hikmah baik dari adanya Pemilu 2019 sebab harapannya ajang pergantian kekuasaan ini harus memberikan harapan baru, bukan terus mendemdam pada soal usang.