REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irfan Syauqi Beik*
Salah satu permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masih rendahnya penguasaan aset ekonomi dan kemampuan pengelolaannya. Padahal, kalau menilik pada sejarah, sesungguhnya umat ini dahulu pernah menguasai aset-aset strategis dalam jumlah yang signifikan.
Namun seiring perkembangan zaman dan perubahan waktu, perlahan tapi pasti, aset-aset tersebut kemudian diambil alih oleh pihak lain dan digunakan untuk penguatan penguasaan ekonomi mereka. Mulai dari penjajah sebelum masa kemerdekaan, hingga penguasaan oleh konglomerasi bisnis di era saat ini.
Dulu kita sering mendengar cerita kakek kita bahwa mereka menguasai lahan sekian puluh bahkan ratus hektar tanah. Namun hari ini, kisah tersebut hanya tinggal cerita dan kenangan saja karena faktanya tanah-tanah tersebut sudah dimiliki pihak lain.
Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Dalam salah satu diskusi, Miqdam Awwali Hashri (2019), salah seorang manajer pada lembaga Muallaf Center BAZNAS (MCB) menyebutkan dari hasil pengamatannya, di antara penyebab terjadinya konversi aset dan kekayaan umat kepada pihak lain adalah akibat rendahnya literasi ekonomi dan bisnis generasi penerus umat. Dengan kata lain, keturunan pemilik aset, baik anak-anak maupun cucu-cucunya, tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan memadai untuk mengelola aset bisnis yang dimiliki generasi pendahulu mereka. Justru banyak di antara mereka yang lebih memilih untuk menjual aset-aset tersebut kepada pihak lain dibandingkan dengan mengelolanya sendiri. Akibatnya, banyak diantara mereka yang kemudian hidup dalam kubangan kemiskinan.
Kalau kita telaah lebih dalam, boleh jadi penjualan aset-aset tersebut adalah karena kebutuhan ekonomi yang bersifat jangka pendek, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut, cara paling mudah adalah dengan menjual aset tersebut daripada memberdayakannya. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan biaya pernikahan anaknya, seseorang rela menjual sawah yang ia miliki kepada pengembang (developer).
Yang terjadi kemudian adalah konversi lahan produktif sawah menjadi lahan untuk perumahan. Efek dominonya tentu akan menurunkan kemampuan produksi pangan nasional sehingga ini berpotensi mengancam kedaulatan pangan negara ini.
Penyebab lainnya adalah terkait dengan cara pandang masyarakat. Banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi ASN, sementara ia masih memiliki lahan pertanian yang luas. Menjadi ASN ada jaminan pensiun di hari tua, sementara menjadi petani tidak ada jaminan apa pun.
Tingkat ketidakpastiannya tinggi, sehingga jangankan untuk pensiun di hari tua, untuk kelangsungan hidup di keesokan harinya juga masih diliputi ketidakjelasan. Akibatnya, mereka lebih mendorong anak-anaknya untuk menjadi aparat birokrasi dibandingkan dengan melanjutkan pekerjaan mereka untuk bertani. Kalau hal ini dibiarkan terus menerus, maka sektor pertanian akan ditinggalkan generasi terbaik bangsa ini. Ini hanya sekedar contoh saja.
Penyebab lainnya adalah gaya hidup materialistis dan hedonis yang memicu orang untuk cepat menjadi kaya, dengan cara apa pun. Dengan aset yang ada, maka banyak di antara warga masyarakat yang lebih memilih menjual aset untuk memenuhi gaya hidup modern, dibandingkan dengan meningkatkan kualitas pengelolaan aset yang ada. Mereka lebih senang menjual, daripada berinovasi untuk meningkatkan produksinya.
Tentu kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya masyarakat. Bagaimanapun juga, adalah hak mereka untuk menahan atau menjual aset-aset yang mereka miliki. Apalagi masih banyak PR kebijakan pemerintah yang dianggap belum sepenuhnya berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Karena itu, diperlukan adanya solusi yang bersifat komprehensif, bukan hanya pada level masyarakat, tetapi juga pada level kebijakan negara. Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan literasi bisnis syariah pada level keluarga. Ini sangat penting karena keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang menjadi ujung tombak penguasaan aset selama ini.
Dipilihnya literasi bisnis syariah karena bisnis syariah memiliki filosofi yang berbeda dengan bisnis konvensional. Ia sarat dengan nilai, mulai dari komitmen mengembangkan bisnis yang halal dan thayyib, hingga pada komitmen untuk senantiasa berbagi melalui pelaksanaan zakat, infak, sedekah dan wakaf serta menjaga keseimbangan alam.
Semangat giving dan kolaborasi lebih dominan dibandingkan dengan taking dan menguasai. Bisnis syariah pada dasarnya adalah kombinasi dari entrepreneurship, sociopreneurship dan celestialpreneurship (berbasis nilai tauhid dan keimanan).